Balai Bahasa Aceh menghadirkan Mahdi Idris sebagai salah satu narasumber dalam Bengkel Sastra yang berlangsung di Lhokseumawe pada tanggal 26-28 Februari 2019 bertempat di Aula SDN 1 Kuta Blang. Acara ini secara resmi dibuka oleh Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, Ibrahim A. Rahman M.Pd. dan turut dihadiri oleh kepala Balai Bahasa Aceh, Drs. Muhammad Muis, M.Hum. yang sekaligus menjadi narasumber pada hari pertama.
Dalam pelatihan ini, sastrawan asli Aceh Utara ini tampil pada hari kedua untuk membimbing para peserta dalam proses penulisan cerpen. Lima puluh orang peserta yang merupakan siswa SMP/sederajat di Kota Lhokseumawe cukup antusias dan berpartisipasi penuh dalam setiap tahap pelatihan yang dipenuhi dengan diskusi dan tanya jawab, kerja sama kelompok, dan tugas individu sejak pagi hingga sore hari. Menurutnya, meskipun relatif masih anak-anak, namun sebagian besar peserta menunjukkan bakat dan minat yang cukup tinggi dalam penulisan fiksi. Penilaian ini didasarkannnya pada hasil karya peserta yang berhasil didiskusikan bersama pada sesi terakhir pelatihan. “Mereka memiliki beragam ide cerita yang unik dan menarik. Hanya saja barangkali pengemasan alur, plot, dan teknik penokohannya masih memerlukan banyak latihan dan bimbingan”, ujarnya ketika kami menanyakan kesannya tentang bengkel sastra ini.
Mahdi Idris merupakan penyair Aceh yang cukup popular dalam beberapa tahun terakhir. Lahir di Aceh Utara, 40 tahun lalu, penyair ini cukup aktif menulis dan mengajar. Karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai dimuat berbagai media lokal dan nasional. Buku puisinya yang telah terbit: Lagu di Persimpangan Jalan (2014), Kidung Setangkai Sunyi (2016), Kutukan Rencong (2018) dan Sebatang Pena di Meja Penyair (2018). Selain itu, karyanya juga terhimpun dalam antologi cerpen Kerdam Cinta Palestina (2010), Munajat Sesayat Doa (2011), Bingkai Kata; Sajak September (Leutika Prio, 2012), Narasi Tembuni (KSI Awards, 2012), Ayat-Ayat Ramadhan (AG Publising, 2012) Epitaf Arau (Senikata, 2012) dan Secangkir Kopi (TGI, 2013).
Manuskrip puisinya Nyanyian Rimba memenangkan juara II pada sayembara naskah buku pengayaan Puskurbuk Kemendikbud 2011. Cerpennya Badee Cot Uroe Timang memenangkan juara I pada lomba menulis cerpen berbahasa Aceh Pusbada Unsyiah 2012. Novelnya Munajat dimuat bersambung di media daring radarseni.com, dan novelnya “Ketika Angsana Mekar” dimuat bersambung di majalah remaja Joe Fiksi. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit diantaranya: Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, 2011), Sang Pendoa (Yayasan Pintar, 2013), Jawai (Smart Writing, 2014) dan kumpulan puisi Lagu di Persimpangan Jalan (Yayasan Pintar, 2013).
Dalam pembinaan dan pengembangan sastra di daerah, Balai Bahasa Aceh memang secara sengaja melibatkan para sastrawan lokal untuk berperan serta dalam berbagai kegiatan kebahasaan dan kesastraan, terutama sebagai narasumber maupun juri. Hal ini merupakan apresiasi sekaligus penguatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan. Di sisi lain, kehadiran mereka diharapkan dapat memupuk kedekatan para siswa dengan duna kepenyairan sehingga meningkatkan motivasi mereka dalam berkarnya dan menekuni dunia tulis menulis.