Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Oleh Baun Thoib Soaloon SGR (Pengkaji Kebahasaan Balai Bahasa Aceh)

Penyebaran berita-berita bohong (hoaks) akhir-akhir ini cukup menyita perhatian. Bahkan ada yang menyimpulkan bahwa bangsa kita sedang mengalami darurat hoaks. Kekhawatiran ini tentu saja beralasan, mengingat informasi palsu, kebohongan, dan kabar burung yang beredar tak terkendali dapat memicu fitnah, kesalahpahaman, dan kecurigaan antar sesama warga. Jika berlanjut, bukan tidak mungkin permusuhan akan bergejolak, konflik sosial akan meningkat, dan pada akhirnya mengancam stabilitas sosial politik nasional. Jadi, meskipun pada awalnya mungkin sederhana, informasi hoaks ibarat api  yang ketika membesar dan menjalar semakin berbahaya dan sulit ditaklukkan.

Ilustrasi ajakan menghindari hoaks

Mungkin itu sebabnya pemerintah semakin  gencar melakukan berbagai upaya dalam menangkal penyebarluasan berita negatif dan informasi hoaks. Hanya saja, langkah yang ditempuh akhir-akhir ini tampaknya lebih menonjolkan cara-cara tegas dan cenderung represif (misalnya pemblokiran dan pemidanaan), tetapi kurang memaksimalkan pendekatan lunak (sosialisasi dan edukasi persuasif). Padahal, di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berbarengan dengan euforia keterbukaan dan kebebasan yang sedang melanda bangsa ini, upaya-upaya semacam itu relatif sulit dan berisiko, alih-alih gagal. Di negara yang paling otoriter sekalipun, hampir tidak ada mekanisme yang benar-benar dapat mengontrol setiap prilaku warga dalam berkomunikasi dan bertukar informasi di era global ini.

diskusi GLN
Penulis menyampaikan materi membaca kritis dalam Diseminasi GLN di Lhokseumawe (8/3/2019)

 

Daripada memperketat pengawasan dan menggunakan cara-cara paksa yang cenderung memperburuk citra pemerintah, pendekatan yang lebih persuasif melalui edukasi literasi kritis dapat menjadi alternatif yang lebih elegan dan efektif. Alternatif ini didasarkan pada asumsi bahwa pembuatan, penyebaran, dan pemaknaan informasi oleh publik mustahil dikendalikan sepenuhnya. Siapa pun, termasuk mereka yang mengklaim memiliki otoritas dalam pengendalian komunikasi dan informasi, jauh dari kemampuan untuk mengontrol informasi apa saja yang akan diproduksi, direproduksi, diakses, dan disebarluaskan oleh setiap orang, terutama di dunia maya. Tidak jarang, informasi terlarang justru semakin mengundang penasaran dan rasa ingin tahu.

Memang tidak sulit memblokir media maupun konten berita yang dianggap berbahaya, namun sulit memastikan bahwa besok lusa, beberapa media lain dan berita serupa akan muncul sebagai gantinya. Di sisi lain, pendekatan regulasi dan hukum untuk meningkatkan kontrol terhadap media, informasi, dan penyiaran kerap kali memicu resistensi dan merusak reputasi pemerintah karena dipandang sebagai ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan.

Literasi kritis mengedepankan keterlibatan aktif warga masyarakat dan lebih menekankan swa-kendali individu daripada  otoritas luar (pemerintah, orangtua, guru, tokoh, figur, dan siapa pun) dalam memaknai informasi (teks). Beberapa konsep kunci literasi kritis menegaskan bahwa teks dalam pengertian luas selalu memuat sudut pandang dan kepentingan, baik secara terbuka maupun terselubung. Teks apapun dibangun oleh berbagai keputusan, sikap, interpretasi, dan kesimpulan pembuatnya untuk tujuan tertentu (komersial, politis, ideologis, dan lainnya). Oleh karena itu, tidak ada teks yang netral, tetapi selalu mengusung kepercayaan dan nilai tertentu, disengaja atau tidak, serta kepentingan yang tidak selamanya terbaca dengan gamblang. Tidak jarang pula, teks sengaja dibuat untuk tujuan yang berada di luar bangunan teks itu sendiri sehingga harus dimaknai dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Bahkan, lebih jauh, absennya teks juga memiliki makna dan tujuan. Dengan kata lain, teks-teks berpotensi dan nyatanya telah sering dipakai sebagai wahana peminggiran maupun pengutamaan.

Berbeda dengan pembaca pemula, tugas pembaca kritis adalah menyibak topeng pencipta teks lalu menyingkap selubung ideologi dan kepentingan di baliknya sebelum menentukan makna yang paling tepat. Pembaca kritis tidak akan mudah terpengaruh oleh media dan wacana yang cenderung dimonopoli oleh para pemilik modal dan kuasa politik, serta acapkali dimanipulasi oleh berbagai kelompok kepentingan, karena dengan cepat, mereka telah mampu menentukan mana yang perlu dibaca dan mana yang tidak.

Seiring dengan bertambahnya usia, setiap orang akan semakin banyak menerima kucuran ide dan informasi, baik secara daring (online),  cetak, maupun antarmuka, serta melalui permainan elektronik dan media massa. Oleh karena itu, penting sekali membekali generasi muda dengan kecakapan menentukan arah pikiran dan perhatian serta kemahiran menafsirkan dan menggunakan beragam pesan informasi dan wacana secara tepat. Mereka perlu dididik untuk menjadi pemain aktif, bukan sekadar pembaca, pendengar, dan penonton yang menerima begitu saja pesan dan makna beragam informasi teks (tulisan, lisan, gambar, suara, video, permainan,  dan sebagainya) bagaimanapun bentuk dan dari mana pun sumbernya. Agar selamat melayari lautan teks dan media yang membanjiri dunia kita saat ini, setiap orang memerlukan kecakapan literasi lanjutan dengan cara misalnya mempertanyakan siapa di balik teks, menguji sudut pandang dan kepentingannya, serta berhenti sejenak untuk mengklarifikasi beragam isu dan konteks sebelum berkesimpulan dan bertindak.

Ada pihak yang mengkhawatirkan bahwa literasi kritis cenderung berdampak negatif karena programnya tidak berjalan lancar, barang dagangannya tidak laku, kampanye politiknya tidak bersambut, atau perintahnya tidak lagi dilaksanakan. Memang, karena sudah cerdas dan terdidik, masyarakat kritis tidak lagi mudah terjebak hoaks, iklan, dan wacana yang mengelabui, merayu, mengiming-imingi, apalagi yang menghasut, membodohi, dan memperbudak. Literasi kritis mengajarkan kepekaan terhadap bahaya dominasi politik, ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan motif-motif kepentingan yang senantiasa dibangun melalui informasi dan wacana, serta menanamkan kesadaran tentang pentingnya perubahan sosial yang dapat menjamin hak-hak dan kepentingan mereka. Selama para pembuat teks (produsen, pemilik media, korporasi, aktor politik, pembuat kebijakan, pendidik, dan siapa pun) sadar dan mengutamakan kepentingan tersebut, tidak ada yang perlu ditakutkan dari literasi kritis.  

Artikel ini telah dimuat pada kolom kerja sama Balai Bahasa Aceh dengan harian Serambi Indonesia, Minggu 27 Agustus 2017.

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!