Tampaknya penulisan kosakata dan istilah yang bersumber dari Bahasa Arab masih banyak yang salah kaprah. Salah satunya isra mikraj. Istilah ini sengaja saya pilih karena ulang tahun peristiwa ini (27 Rajab) belum lama kita rayakan; tepatnya Rabu, 3 April lalu dalam kalender Masehi.

Saya menemukan sejumlah bentuk penulisan berbeda untuk istilah keagamaan ini:
- isra’ mi’raj,
- israk mikraj,
- isra mi’raj,
- isra miraj, dan
- isra mikraj.
Selain kelima bentuk di atas, ada pula penulisan yang menggantikan vokal /a/ pada istilah tersebut dengan /o/ sehingga menjadi misalnya isro’ mikroj.
Sayang, saya tak sempat menelusuri bentuk mana yang paling dominan penggunaannya. Namun, variasi bentuk penulisan tersebut tampaknya bersaing dalam berbagai ranah pemakaian bahasa masyarakat kita; di buku, surat kabar/majalah, maupun media daring. Lalu bentuk manakah yang baku dan sesuai dengan PUEBI?
Perlu diketahui bahwa ragam penulisan yang direkam oleh KBBI Daring adalah bentuk kelima (isra mikraj). Jadi, bentuk inilah yang baku, setidaknya apabila kita masih manaruh kepercayaan pada KBBI sebagai rujukan bahasa Indonesia resmi/baku. Saya harus menyampaikannya di awal karena akan sering memakainya sebagai acuan dalam pembahasan selanjutnya.
Sampai di sini, pertanyaan di atas mungkin sudah terjawab. Namun, masalahnya: mengapa bentuk itu yang dipilih, bukan yang lain?
Mengingat isra mikraj berasal dari bahasa asing (Arab), maka mari kita lihat kaidah pembentukan istilah bahasa Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kosakata/istilah yang berasal dari bahasa Arab.
Dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Pusat Bahasa, edisi III, 2007) disebutkan bahwa pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia dilakukan lewat tiga cara: penerjemahan, penyerapan, atau gabungan penerjemahan dan penyerapan.
Melihat bentuknya, dapat dipastikan bahwa isra mikraj merupakan istilah serapan. Bentuk aslinya masih dapat dengan mudah kita kenali:
إِسْرَاء وَ مِعْرَاج [isrā’ wa mi`rāj]
Mengacu pada buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah di atas, proses penyerapan harus memperhatikan beberapa prinsip berikut:
- Istilah asing yang akan diserap meningkatkan ketersalinan bahasa asing dan bahasa Indonesia secara timbal balik (intertranslatability) mengingat keperluan masa depan.
- Istilah asing yang akan diserap mempermudah pemahaman teks asing oleh pembaca Indonesia karena dikenal lebih dahulu.
- Istilah asing yang akan diserap lebih ringkas jika dibandingkan dengan terjemahan Indonesianya.
- Istilah asing yang akan diserap mempermudah kesepakatan antarpakar jika padanan terjemahannya terlalu banyak sinonimnya.
- Istilah asing yang akan diserap lebih cocok dan tepat karena tidak mengandung konotasi buruk.
Sayang sekali, PUPI tampaknya sangat mengutamakan istilah dari bahasa-bahasa Eropa dalam pemberian contoh, khususnya bahasa Inggris. Barangkali para penyusunnya lebih mementingkan pemerkayaan bahasa Indonesia pada bidang industri dan teknologi daripada bidang-bidang lain.
Mungkin juga berbagai istilah yang berasal dari bahasa Arab (termasuk isra mikraj) dipandang telah menyatu ke dalam bahasa Indonesia sehingga tidak perlu lagi ditonjolkan dalam contoh-contoh. Itu dugaan saya. Namun bagaimanapun, kenyataannya, istilah-istilah pungutan bahasa Arab hanya akrab dalam komunikasi lisan masyarakat kita, tidak dalam tulisan. Karena pengaruh keragaman pelafalan, maka orang-orang menuliskan istilah-istilah tersebut dengan cara berbeda.
Sekadar contoh, coba perhatikan variasi penulisan untuk sejumlah istilah di bawah ini yang masih marak sampai sampai kini!
- salat ditulis shalat atau sholat
- masjid ditulis mesjid
- sedekah ditulish shadaqah atau shodaqoh
- khazanah ditulis khasanah
- ijazah ditulis ijasah
Beberapa contoh di atas dan tentu saja masih banyak yang lain memang bukan kosakata/istilah yang baru kemarin dikenal dalam bahasa Indonesia, melainkan sudah sejak ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi, sekali lagi berbagai kosakata dan istilah tersebut masih ditulis dengan cara berbeda. Jadi, soal penyerapan kosakata/istilah yang berasal dari bahasa Arab masih tetap perlu mendapat perhatian. Untunglah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), sebelumnya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), memuat acuan tentang hal ini.
Kembali ke penyerapan isra mikraj. Melalui pembandingan dengan bentuk asalnya dalam bahasa Arab, istilah ini dibentuk pelalui penyerapan dengan sedikit penyesuaian ejaan dan lafal. Di sini poin pentingnya.
Persoalan utama dalam penyerapan kosakata/istilah yang berasal dari bahasa Arab adalah keberadaan beberapa bunyi huruf bahasa Arab yang tidak memiliki tandem dalam bahasa Indonesia. Ini memaksa penggunaan fonem yang lazim dalam bahasa Indonesia untuk mewakili bunyi-bunyi huruf tersebut.
Dalam contoh pembahasaan ini , bunyi huruf tersebut adalah ‘ ayn ( ع ) dan hamzah ( ء ) terutama ketika berada pada posisi tengah dan akhir kata. Selain itu, keberadaan vokal panjang di tengah kedua kata tersebut juga memaksa penyesuaian, karena bahasa Indonesia tidak mengenal vokal panjang.
Berdasarkan PUEBI, beberapa ketentuan yang dapat kita ikuti dalam penulisan unsur serapan
إِسْرَاء وَ مِعْرَاج [isrā’ wa mi`rāj] adalah sebagai berikut.
- a (Arab, bunyi pendek atau bunyi panjang) tetap menjadi a (bukan o). Contoh: mażhab ( مذهب ) mazhab; qadr ( ﻗﺩﺭ ) kadar; ṣaḥābat ( صحابة ) sahabat.
- ‘ain (ﻉ Arab) di akhir suku kata menjadi k. Contoh: ’i‘ tiqād ( ﺇﻋﺘﻗاﺩ ) iktikad; mu‘jizat ( ﻤﻌﺠﺯﺓ ) mukjizat: ni‘mat ( ﻨﻌﻤة ) nikmat; rukū‘ ( ﺭﻜﻭﻉ ) rukuk; simā‘ ( ﺴﻤاﻉ ) simak: ta‘rīf ( ﺘﻌﺭﻴﻑ ) takrif .
- hamzah (ﺀ Arab) yang diikuti oleh konsonan menjadi a, i, u. Contoh: ’amr ( ﺃﻤﺭ ) amar; mas’alah ( ﻤﺴﺄﻟة ) masalah; ’iṣlāḥ ( ﺇﺼﻼﺡ ) islah; ’ufuq ( ﺃﻓﻕ ) ufuk.
- hamzah (ﺀ Arab) di akhir suku kata, kecuali di akhir kata, menjadi k. Contoh: ta’wīl ( ﺘﺄﻭﻴﻝ ) takwil; ma’mūm ( ﻤﺄﻤﻭﻡ ) makmum; mu’min ( ﻤﺆﻤﻦ ) mukmin.
- hamzah (ﺀ Arab) di akhir kata dihilangkan. Contoh: imlā’ ( ﺇﻤﻼﺀ ) imla; istinjā’ ( ﺇﺴﺘﻨﺠاﺀ ) istinja/tinja; munsyi’ ( ﻤﻨﺸﻰﺀ ) munsyi; wuḍū’ ( ﻭﻀﻭﺀ ) wudu.
- sin (ﺱ Arab) menjadi s. Contoh: asās ( ﺃﺴاﺱ ) asas; salām ( ﺴﻼﻢ ) salam; silsilah ( ﺳﻠﺴة ) silsilah.
Oh ya, baik jim ( ج ) mim ( م ) dan ra ( ر ) karena memang terdapat dalam bunyi bahasa Indonesia, maka tetap jadi j, m, dan r.
Dengan memperhatikan beberapa kaidah di atas, teranglah alasan pemilihan bentuk isra mikraj, bukan yang lain. Agar lebih jelas, perhatikan gambar berikut.

Masih bingung? Silakan ajukan komentar atau pertanyaan!
Sebagai tambahan, istilah ini telah mengalami penyederhanaan dengan penghilangan wa ( و ) artinya dan (lihat bentuk aslinya dalam bahasa Arab). Dalam bahasa sumbernya, kata sambung ini tidak pernah dihilangkan sampai sekarang, karena memang isra dan mikraj merupakan dua peristiwa yang berbeda. Bahasa Indonesia menyerap dengan menggabungkannya agar lebih ringkas, tetapi maknanya tetap. Ingat! salah satu kriteria istilah yang baik itu adalah ringkas.