Kesantunan Imperatif

Dalam realitas komunikasi di ruang publik, sering ditemukan berbagai bentuk imbauan. Beragam kategorisasi sifat imbauan tersebut, ada yang ditulis dengan konstruksi perintah, ada yang berkonstruksi deklaratif, berkonstruksi pasif, dan ada yang  berbentuk interogatif. Namun, semua bentuk tersebut pada hakikatnya menghendaki dilakukannya pekerjaan yang ditujukan untuk orang yang diberikan perintah. Oleh karena itu, padanan kalimat imperatif-bukan kalimat perintah-dianggap lebih tepat mendeskripsikan kalimat perintah.

Ilustrasi "Dilarang Merokok!"
Larangan merokok. Foto: kmjurnalistik.com

Berkaitan dengan kalimat imperatif, ada fenomena kebahasaan yang menarik untuk diamati.  Dari sekian banyak bentuk imbauan yang ada di ruang publik, terdapat dua imbauan yang seakan tidak dapat dipisahkan dari rutinitas kehidupan sosial manusia. Pertama, hal yang berkaitan dengan sampah, dan kedua, yang berkaitan dengan rokok.

Pada permasalahan sampah, biasanya terdapat beberapa model imbauan, seperti:  “Jangan buang sampah di sini!, “Dilarang buang sampah di sini,” “Terima kasih Anda tidak membuang sampah di sini.” Bahkan ada yang menulis, “Yang buang sampah di sini, keparat. Sedangkan beberapa imbauan tentang rokok pun biasa ditemukan seperti: “Dilarang merokok di sini”, “Maaf, dilarang merokok di dalam ruangan ini!”, “Terima kasih Anda tidak merokok di ruangan ini”, dan lain-lain. Dalam kajian linguistik, situasi ini dikategorikan ke dalam ranah pragmatik yang mengkaji makna bahasa  berkaitan dengan situasi ujar (speech situations).

Timbul tanda tanya, bagaimana penggunaan kalimat imperatif di ruang publik yang mampu menggugah empati masyarakat untuk mematuhi imbauan? Artinya, bahasa tidak hanya dibatasi pada aspek struktural yang menafikan permasalahan di luar lingkup struktural. Jadi, ketika melakukan imbauan, sebenarnya secara implisit si penutur ikut terlibat dari reaksi imbauan yang disampaikan. Artinya, tuturan imperatif tidak identik  perintah untuk dilakukan oleh mitra tutur semata, tetapi dapat saja menuntut reaksi tindakan antara penutur dan mitra tutur secara bersama. “Ayo, mari kita bersihkan ruangan aula ini,” atau malah si penutur harus melakukan tindakan dengan persetujuan sang mitra tutur, “Khalil, coba ke sini saya perbaiki sepeda kamu.”

Agar tidak terjadi benturan komunikasi antara peserta tutur maka ada dua prinsip yang mesti diperhatikan, yaitu Prinsip Kerja Sama (Grice, dalam Leech, 1983) dan Prinsip Kesantunan (Leech:1983) yang  berorientasi pada kejelasan informasi agar dicapai kesepahaman antara penutur dan mitra tutur. Penutur dan mitra tutur wajib mematuhi empat maksim, yaitu kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan. Keempat maksim tersebut, bahwasanya ada kesepakatan tidak tertulis antara penutur dan mitra tutur untuk memiliki persamaan persepsi, kontribusi, dan kepentingan dari tindakan pekerjaan yang disampaikan.

Prinsip Kerja Sama dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi.  Oleh karena itu, Leech mengajukan Prinsip Kesantunan yang berorientasi pada hubungan interpersonal. Prinsip Kesantunan mencakup maksim kebijaksanaan; meminimalkan kerugian atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain, maksim penerimaan; meminimalkan keuntungan atau kehormatan bagi diri sendiri, maksim kemurahan; memaksimalkan kerugian diri sendiri, maksim kerendahan hati; meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri, maksim kecocokan; memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan maksim kesimpatian;  memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tuturnya.

Selain penerapan kedua prinsip di atas, dalam bahasa Indonesia terdapat empat pemarkah kesantunan linguistik tuturan imperatif: (1) panjang pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi dan isyarat kinesik, (4) ungkapan-ungkapan penanda kesantunan, seperti tolong, mohon, silakan, mari, biar, ayo, coba, harap, hendak (lah/nya), dan sudi kiranya, sudilah, mudah-mudahan, moga-moga.

Berdasarkan kesantunan imperatif di atas, maka seyogianya imbauan yang bernada melarang seperti “Dilarang merokok”, “Dilarang membuang sampah sembarangan”, imbauan yang merendahkan mitra tutur semestinya diganti dengan imbauan yang mengedepankan apresiasi terhadap mitra tutur, misalnya “Terima kasih Anda tidak merokok”, “Terima kasih Anda membuang sampah pada tempatnya.” Intinya, menegur jangan sampai menghina, mendidik jangan sampai memaki, meminta jangan sampai memaksa, memberi jangan sampai mengungkit.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kesantunan Imperatif, http://aceh.tribunnews.com/2013/11/17/kesantunan-imperatif.

Tinggalkan balasan!