Berburu Takjil? (Penulisan Serapan dari Bahasa Arab)

“Ramad(h)an identik dengan berburu takjil…. dan wisata kuliner Ramad(h)an. …, jangan lewatkan untuk berburu menu buka puasa….” Demikian penggalan artikel yang saya kutip dari phinemo.com bertajuk “Wisata Kuliner Ramad(h)an di Jakarta? Yuk, Berburu Takjil di Sini!” Ah, apa sebenarnya makna takjil?

Berburu Takjil
Berburu Takjil

Meskipun terkesan mubazir, tetapi kehadiran kalimat kedua memudahkan pembaca menangkap makna takjil. Tampaknya si penulis (melalui kalimat itu) memang ingin memperjelas istilah tersebut terutama lewat ungkapan berburu menu buka puasa yang secara semantis dapat kita padankan dengan ungkapan berburu takjil pada kalimat pertama.

Jadi, takjil adalah makanan berbuka puasa. Diksi menu memang kurang tepat karena arti kata tersebut adalah daftar makanan, alih-alih makanan atau penganan. Yang mau diburu untuk dimakan kan makanannya, bukan daftarnya? Namun demikian, kita anggap saja keduanya masih dalam satu lingkup makna. Lalu dari mana sebenarnya istilah takjil itu? Sudah tepatkah kita memakainya?

Istilah takjil merupakan istilah asing (Arab) yang telah diserap oleh bahasa Indonesia dengan penyesuai ejaan dan lafal. Saya kurang tahu sejak kapan istilah ini dimasukkan ke dalam entri KBBI. Namun yang pasti pemakaiannya sudah akrab di telinga kita paling tidak dalam dekade terakhir, terutama saat Ramadan tiba.

KBBI Daring merekam istilah ini dengan dua arti: (1) mempercepat (dalam berbuka puasa); dan (2) makanan untuk berbuka puasa. Lihat tangkapan layar pencarian entri ini pada gambar berikut!

Baca juga:   Soal Penulisan Isra Mikraj
Entri Takjil di KBBI
Entri Takjil di KBBI

Jadi, bahasa Indonesia menyerap istilah ini sebagai verba dan nomina sekaligus. Ia dapat dipakai untuk menunjukkan perbuataan menyegerakan berbuka puasa dan juga objek atau bahan makanan yang disantap saat berbuka puasa itu. Saya ingin menyoroti perubahan bentuk dan makna dalam penyerapan ini.

Pertama, bentuk. Tidak ada persoalan terkait pengindonesiaan istilah ini. Artinya, bentuk takjil sudah sesuai dengan kaidah penyerapan kosakata dan istilah asing (Arab). ِِAnda salah jika menuliskannya ta’jil misalnya, karena baik hamzah (ء Arab) maupun ‘ain (ﻉ Arab) di akhir suku kata diserap bahasa Indonesia menjadi k. Contoh ini sama belaka dengan bentuk takmir, takziah, takwil, dakwah, dan laknat. Perhatikan perubahannya pada tabel di bawah ini.

Kedua, makna. Secara etimologis, takjil dalam bahasa Arab berarti umum menyegerakan; tidak terikat dengan puasa. Seharusnya, kalau yang dimaksud adalah penyegeraan berbuka puasa, maka kata tersebut harus digabungkan dengan kata berbuka (ta’jīl al-fitri). Namun bahasa Indonesia tidak menyerap frasa tersebut secara utuh, melainkan hanya mengambil intinya, sementara maknanya diserap utuh.

Tidak perlu dipersoalkan, karena memang dalam dunia pinjam-meminjam kosakata dan istilah antar bahasa, hal seperti ini lumrah terjadi. Pemakai bahasa peminjam tidak selalu mempertahankan makna asli, tetapi sering pula mempersempit atau memperluasnya, bahkan mengubahnya.

Mengingat bahasa Indonesia juga memberikan makna baru bagi istilah ini sebagai makanan berbuka puasa, maka tidak ada salahnya apabila istilah takjil diperlakukan sebagai istilah umum; tidak hanya penyegeraan berbuka puasa secara khusus, namun juga penyegeraan segala hal sebagaimana makna asalnya dalam bahasa Arab. Dengan begitu, kita dapat membentuk beragam ungkapan lain, misalnya takjil bangun tidur, takjil kerja, takjil pindah, takjil nikah, takjil maaf, dan sebagainya.

Baca juga:   Tentang Kata "Demo": Bentuk Singkat dalam Bahasa Indonesia

Seturut dengan perluasan itu, kita dapat pula membentuk beragam bentuk kata lain dari takji melalui proses afiksasi. Saya membayangkan suatu saat kita akan memakai menakjilkan, penakjilan, takjil-menakjilkan misalnya dalam berbagai bentuk ungkapan. Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada yang mustahil dalam bahasa selama kita masih percaya bahwa bahasa bersifat dinamis, arbitrer dan sangat bergantung pada konsensus masyarakat pemakainya. Apalagi kalau kita menakjilkan pemopuleran pemakaian derivasi kata takjil dalam komunikasi praktis.

Satu hal lain sebelum saya tutup. Saya masih bingung kalau suatu saat misalnya bahasa Indonesai berniat juga menyerap antonim dari takjil, yaitu ta’jīl ( تَأْجِيْـــل ) yang berarti memperlambat atau menunda, karena itu artinya kita harus menuliskannya dengan bentuk yang persis sama (takjil), jika masih berpegang pada kaidah penyerapan yang telah saya kutip diatas:
hamzah (ء Arab) maupun ‘ain (ﻉ Arab) di akhir suku kata diserap bahasa Indonesia menjadi k.

Tinggalkan balasan!