Cerita dari Patani (1): “B” itu Bang

Mayoritas masyarakat Patani bisa menguasai dua bahasa; bahasa Thai sebagai bahasa negara dan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu. Kedua bahasa tersebut sering digunakan dalam interaksi sosial sesuai situasi dan kondisi.


Mahasiswa Patani menggunakan pakaian Melayu Patani berwarna warni
Sebagian mahasiswa Patani Thailand Selatan di berlebaran Idulfitri 1440 H di Jakarta menggunakan pakaian Melayu Patani. Foto: suaramuslim.net

Bila dalam  komunitas atau lawan bicaranya orang Melayu maka orang Patani lebih dominan menggunakan bahasa Melayu. Namun bila dalam situasi formal dan kegiatan umum seperti rapat, forum diskusi resmi dan  bahasa pengantar pendidikan  serta berbicara dengan masyarakat  keturunan Siam maka bahasa  Thai diutamakan.

Penggunaan bahasa Melayu sangat minim di dalam dunia pendidikan, sehingga tidak heran bila anak-anak SD lebih paham bahasa Thai daripada bahasa Melayu.  Disamping itu bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Patani merupakan bahasa Melayu dialek.

Seiring perkembangan zaman dan tekhnologi, bahasa Melayu dialek Patani pun semakin  kebablasan. Bahasa dialek Melayu Patani sejatinya merujuk kepada wilayah sepadan di Malaysia. Dulunya penduduk Provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani  menggunakan bahasa Melayu mengikut dialek wilayah Kelantan Malaysia. Sementara masyarakat Melayu di Provinsi Satun mengikut dialek Melayu warga Kedah Malaysia.

Namun kini Masyarakat Patani memiliki dialek tersendiri yang kian hari semakin banyak terjadi perubahan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya di Patani dan bahkan telah melahirkan idiolek-idiolek baru. Idiolek-idiolek ini banyak muncul di kalangan  para pelajar di Patani.

Tren Idiolek-idiolek baru berkembang cepat dan membumi dikalangan mahasiswa dan pelajar lainnya di Patani hingga berterima dan menjadi kosakata baru di seluruh lapisan masyarakat.

Salah satu tren dari idiolek tersebut adalah munculnya berbagai singkatan dan akronim-akronim. Misalnya, sering saya mendengar mahasiswa saya memanggil sopir mobil kampus dengan ucapan “be”. Kemudian kata-kata “be” tersebut juga saya dengar saat ada orang di warung memanggil penjual dengan istilah “be”.

Saya menduga bahwa “be” itu mungkin julukan atau marga bagi seseorang.  Setelah  sekian lama penasaran dengan istilah “be” tersebut saya bertanya kepada salah seorang dosen di jurusan tempat saya mengajar. Dia  mengatakan bahwa  “be”  itulah istilah untuk menyapa orang yang lebih tua dari pembicara.  Tetapi setelah sekitar tiga bulan di Fatoni saya diberitahu oleh seorang mahasiswa saya yang perempuan  bahwa “be” adalah singkatan dari “bang” dan “ be” itu adalah huruf “B”.

 Saya juga sempat bingung saat beberapa kali, mendengar istilah “gikesik”. Merasa  penasaran lalu saya bertanya apa arti “gikesik” tersebut pada mahasiswa . Mereka mengatakan bahawa  maknanya pergi makan nasi. “Gikesik” tersebut rupanya singkatan dari pergi makan nasik. Sebagai pendatang tentu saja saya selalu sedikit binggung bila berinteraksi dengan orang Melayu yang suka menyingkat kata.

Masih sangat segar dalam ingatan saya ketika saya pertama sekali menghadiri rapat besar seluruh dosen di Fakultas Sastra dan Sains Kemasyarakatan, Fakultas tempat saya mengajar. Dalam rapat itu saya diminta memperkenalkan diri di hadapan para dosen dan pejabat fakultas. Setelah tampil didepan, saya kembali ketempat duduk saya. Saat itu salah seorang dosen di belakang saya mencolek dan berkata  “dok kat no”. Saya hanya menjawab: “Indonesia.”

Pada awal-awal keberadaan saya di Fatoni sebagai orang baru, saya sering diajak jalan-jalan oleh Ku-Ares, (Ketua Jurusan Bahasa Melayu/Indonesia) untuk mengenali situasi lingkungan sekitar. Nah, saat itu setiap orang yang kami jumpai selalu bertanya sama saya “ dok no” atau “ dok kat no”.

Karena saya tak tahu apa persis maksudnya, saya cuma menjawab: “Indonesia”. Lantas Ku-Ares menimpali bahwa saya tinggal di kampus. Saat tiba di rumah, saya bertanya kepada Ku-Ares arti pertanyaan tersebut. “Masyarakat di sini suka menyingkat kata, dan yang ditanya tadi itu ‘dudok dekat mano‘ berarti tinggal di mana? Hanya saja masyarakat di sini menyingkatnya menjadi “dok kat no?”

Sejak saat saya mulai paham  bahwa Masyarakat Patani juga suka menyingkat kata. Di antara sekian singkatan yang saya pahami dan saya sukai adalah kata-kata “ geno?” yang artinya kenapa dan  “bekno?”  yang artinya bagaimana. Kata-kata tersebut sangat sering saya dengar dari mahasiswa. Ketika tak mengerti apa yang saya perintahkan, secara spontan, mereka akan mengucapkan “geno?” atau “bekno?’’.

Tinggalkan balasan!