Hampir dua bulan saya bertugas di Universiti Fatoni, Thailand Selatan. Kampus ini terletak di sebuah Desa “Serong” dalam Kecamatan Khoutoom Provinsi Pattani, berjarak sekitar 5 Km dari Ibukota Provinsi Yala, dan sekitar 50 Km dari ibukota Provinsi Pattani.
Rasa bosan dengan suasana kampus dan jenuh dengan rutinitas mengajar mulai mengganggu pikiran saya. Saya mulai berpikir untuk berekreasi atau paling tidak jalan-jalan ke luar kampus demi mencari suasana lain agar pikiran tidak semakin membeku.
Masalahnya, Patani bukanlah daerah yang “bebas merdeka” sepenuhnya karena masih dikontrol oleh militer Thailand. Kehadiran pos-pos militer di sepanjang jalan serta aktivitas razia dadakan membuat masyarakat Patani tidak dapat beraktivitas dengan bebas.
Pemerintah wilayah Patani memberlakukan jam malam hingga pukul 22.00. Setiap masyarakat diharuskan untuk tidak lagi beraktifitas di luar rumah di atas waktu tersebut. Namun karena sudah lama dikungkung oleh keadaan demikian, masyarakat seolah tidak memperdulikan lagi aturan tersebut. Kini lalu lalang kendaraan di jalan-jalan di Patani relatif masih mudah ditemui hingga pukul 24.00.
Untuk menghilangkan kejenuhan rutinitas dan menikmati suasana kota pada akhir pekan disela-sela hari libur umum kampus, Jumat dan Sabtu, saya sering diajak oleh mahasiswa dan beberapa dosen untuk sekedar ”makan angin” (istilah melayu, dalam bahasa Indonesia jalan-jalan) pada sore hari sambil makan-makan bersama.
Situasi inilah yang membuat para mahasiswa dan saya beberapa kali balik ke kampus dari jalan-jalan sambil kumpul makan bersama di Kota Yala hingga pukul 20.00 malam. Dan bahkan saya pernah diminta mengawani seorang dosen menggunakan sepeda motor untuk mentransfer uang malam itu juga untuk keluarganya di Indonesia melalui ATM di kota Yala.
Alhamdulillah, saya tidak pernah diberhentikan dan diperiksa saat melewati pos-pos askar (tentara) di sepanjang jalan menuju kota Yala. Sebetulnya kalau sudah malam setiap pos polisi dan askar akan sangat ketat pemeriksaannya apalagi bagi orang yang dicurigai.
Keadaan wilayah Patani dengan jam malam dan pos polisi dan tentara di sepanjang jalan bagi saya yang berasal dari Aceh sudah terbiasa dan pernah mengalami kondisi seperti ini saat Aceh dulu dilanda konflik. Namun demikian, disini saya juga selalu waspada dan selalu membawa paspor kemanapun saya pergi, baik siang ataupun sore hari jika keluar dari kawasan kampus.
Saya masih sangat ingat hari itu adalah hari Kamis sore. Saya dan seorang dosen dari Indonesia mengajak empat orang mahasiswa untuk pergi jalan-jalan ke Yala untuk makan di restoran “Ayam Bang”, seperti KFC kalau di Indonesia. Oh ya, di Patani Anda tidak akan pernah bisa menjumpai KFC. Sekitar pukul 5 sore kami berangkat ke Kota Yala. Kami tidak langsung ke “Ayam Bang” tetapi berjalan-jalan dulu menikmati sore hari kota Yala.
Setelah salat Magrib di Masjid Kota Yala kami pergi makan di “Ayam Bang”. Kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam di restoran tersebut . Sekitar pukul 7.30 kami bergegas pulang ke kampus. Kami semuanya berjumlah 6 orang dengan 3 sepeda motor. Kebetulan saat itu saya dan seorang dosen berjalan di urutan kedua dengan jarak sekitar 30 meter dengan sepeda motor mahasiswa saya yang ada ada didepan dan belakang.
Keempat mahasiswa saya tersebut berbadan ceking dan semuanya memakai baju kaos biasa. Sementara kami betubuh agak besar, tinggi dan masing-masing kami juga memakai jaket. Sehingga tubuh kami seakan kekar dan berisi tatkala dilihat menaiki sepeda motor matik. Sudah menjadi kebiasaan saat akan melewati pos tentara yang jalannya sengaja dibuat zigzag dengan drum dan kawan berduri yang diatur rapi, semua harus berjalan pelan-pelan.
Saat melewati pos askar tersebut terlihat semua tentara yang ada disitu sigap dan bersenjata lengkap mempelototi semua yang melintas. Saat kami mendekati pos salah seorang tentara dengan bahasa Thai dan isyarat tangannya menyuruh kami menepi.
Melihat kami diberhentikan, mahasiswa saya yang sudah duluan di depan melewati pos, kembali datang ke pos itu dan iapun siap diperiksa. Dibawah remang-remang lampu dan dengan bahasa Thai yang tidak kami mengerti, tentara itu meminta kawan saya yang mengenderai sepeda motor untuk menunjukkan surat dan STNK. Kemudian tentara itu bertanya lagi, dan total kali ini kami tidak mengerti, sehingga mahasiswa saya yang juga diperiksa menerjemahkan kepada kami bahwa kami harus menunjukkan surat identitas. Kami pun menunjukkan pasport.
Lama sekali tentara pemeriksa tersebut melihat pasport kami. Sementara tentara lainnya mengabadikan moment itu dengan memotret kami dari beberapa sudut (angle). Lama melihat paspor kami, tentara itu memanggil komandan regunya. Rupanya tentara yang memeriksa kami itu tidak bisa membaca huruf latin/tulisan yang ada dalam paspor. Setelah melihat- lihat dengan disenter dalam gelap, paspor saya dikembalikan. Namun paspor dosen kawan saya di bawa ketempat terang sambil dia berujar “ Indonesia,… Indonesia.. ..” kemudian saya jawab “khap”. Ternyata paspor kawan saya tersebut di bawa ketempat yang terang kemudian difoto dengan kamera handphone lalu dikembalikan. Dan kami dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampai di rumah kos, salah seorang mahasiswa kami itu berkata bahwa, pemeriksaan itu dilakukan secara acak kepada pengendara baik mobil ataupun sepeda motor sebagai laporan mereka. Mahasiswa lainnya juga mengatakan bahwa kenapa kami yang diberhentikan sementara mereka tidak, adalah karena tentara itu curiga kami berbadan besar dan juga memakai jaket. kemudian saya berpikir lebih baik jika hendak berpergian lagi ke Yala hendaknya berpakaian biasa dan tidak memakai jaket karena biasa dicurigai. Maka setelah kejadian itu saya selalu memakai baju kaos dan sandal biasa saat pergi ke Yala walaupun saat malam hari dan udara dingin sehabis hujan.