Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Cek Ri memandang dengan sudut matanya ketika ia berpapasan dengan Cek Er di sudut jalan kampung.  Bibirnya mencibir kesal. Cek Er sedang menjinjing dua plastik besar di kedua tangannya. Ia baru saja turun dari angkutan kota yang berujung di sudut jalan kampung. Sepertinya Cek Er kepayahan membawa barang belanjaannya yang banyak itu. Ketika itu Cek Ri sedang berjalan bersama Cek Ni sepulang dari pelatihan membuat bros yang diadakan di balai desa.

            “Itu coba lihat! Pasti dia baru pulang dari belanja. Sebentar-sebentar belanja. Apalagi sih yang dibelinya? Sok kaya, padahal pekerjaannya cuma dari bertani di sawah sepetak kecil,” gerutu Cek Ri.

            “Biar sajalah, dia belanja dengan uangnya,” ujar Cek Ni.

            “Aku tidak suka melihat orang yang terlalu banyak gaya. Gorden dan tirai rumahnya selalu berganti-ganti.  Padahal rumah semi permanen saja pun yang ia punya. Rumah seperti itu pun ditata-tatanya,” terdengar lagi gerutu Cek Ri.

“Ada lagi yang membuatku kesal. Anak-anaknya itu, setiap ada perlombaan di kampung selalu jadi juara. Pidato menjadi juara, pembawa acara juara, karya tulis ilmiah juara, lomba mengaji pun jadi juara,”

            “Itu kan memang rezeki keluarga mereka,” ujar Cek Ni.

            “Tapi kan anak-anak kita jadi kalah,” Cek  Ri masih meneruskan omelannya. Raut wajahnya dan sudut bibirnya bentuknya sudah tidak karuan ketika ia mengucapkan kata-kata omelan. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan berjalan kaki, Cek Ni mengajak Cek Ri mampir di kedai rujak yang berada tepat di hadapan rumah Cek Er.       

            Ketika pesanan mereka tiba. Sebenarnya di dalam hatinya Cek Ri sedang pening memikirkan tumpukan utang yang harus diangsurnya bulan ini. Cicilan panci dua ratus ribu, cicilan oven listrik tiga ratus ribu, cicilan baju seratus lima puluh ribu, dan cicilan sepeda motor tujuh ratus ribu. Penghasilannya dari usaha laundri hampir setengahnya habis untuk membayar cicilan utang

            “Hei itu, dia keluar lagi dari rumahnya. Mau kemana lagi? Kita saja belum sampai ke rumah, dia sudah mau pergi lagi.  Hmmm, dia memakai kerudung baru, norak sekali warnanya. Baju merah, kerudung hijau, tidak sesuai paduannya,” Cek Ri kembali mengomel ketika melihat Cek Er keluar lagi dari rumahnya.

            Ketika itu Cek Er dari kejauhan melihat Cek Ni dan Cek Ri yang sedang makan rujak di kedai depan rumahnya yang berseberangan dengan jalan kecil.

            “Sedang makan rujak rupanya kalian. Panas-panas begini enak sepertinya makan rujak,” ucap Cek Er menghampiri mereka.

            “Ya enaklah, mau makan ya beli saja,” ucap Cek Ri ketus dengan tatapan mata melotot ke arah Cek Er.      

            “Aku sudah sering makan rujak di sini. Tempatnya kan di depan rumahku. Aku mau ke pasar , mau mengobras jahitan,” ujar Cek Er.

            “Apa sedang banyak jahitan ya?” tanya Cek Ni.

            “Alhamdulillah, ya. Ini sedang ada pesanan gorden dan tirai untuk beberapa rumah. Makanya aku sering memasang terlebih dahulu di jendela rumah sebagai contoh bagi mereka yang hendak memesan,” jawab Cek Er.

            “Ini tadi ketika aku mau pergi lagi, aku terburu-buru. Paduan baju dan kerudung tidak serasi,” ucap Cik Er sambil menatap ke arah Cik Ri.

            “Tidak ada yang bertanya,” ujar Cek Ri ketus.

            Setelah Cik Er berangkat ke pasar. Kekesalan Cek Ri semakin menumpuk.

            “Oh, sekarang dia sudah membuka usaha jahitan. Patutlah beberapa hari lalu dia membeli semen, batubata, dan granit. Sepertinya dia hendak merenovasi rumah. Akan semakin bertambah gayanya kalau sudah mempunyai rumah bagus,” ujar Cik Ri.

            Kekesalan Cek Ri semakin bertambah ketika ia harus membayar rujak dan minuman yang dipesannya. Awalnya ia mengira Cek Ni mengajaknya makan rujak dan mentraktirnya.

                                                         Balai Bahasa Aceh, Rabu, 10 Juli 2019

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!