Zaida melemparkan wortel dan kentang yang dikupasnya ke keranjang pencuci sayur. Sebagian wortel dan kentang terlempar keluar dari keranjang. Zaida memungutnya kembali dengan raut wajah menyimpan kekesalan. Setelah wortel dan kentang dicucinya, diambilnya pisau dan dipotong-potongnya tumpukan sayuran buah itu dengan ukuran sembarangan. Ini tugas rutin Zaida setiap hari mulai siang hingga sore hari.
Bundanya yang sedang menuangkan minyak ke wajan menghentikan pekerjaannya.
“Jangan melakukan pekerjaan ketika sedang kesal. Letakkan saja di situ. Nanti bunda yang akan menyelesaikannya,” kata bunda.
Zaida meletakkan pisau di atas meja. Ia melangkah menjauh ke ruang depan. Bunda meneruskan pekerjaannya di dapur. Zaida menarik kursi di teras dan ia duduk. Ia ingat pembicaraannya bersama bunda tiga hari yang lalu.
“Bunda, minggu depan aku harus mengenakan pakaian dan sepatu yang sama warna dan modelnya dengan teman-temanku. Ini kan untuk pesta perpisahan dengan teman-teman sekelas.,” ujar Zaida yang baru saja tamat sekolah Madrasah Aliyah.
“Zaida, bunda sedang tidak memiliki banyak uang. Pakai saja pakaianmu yang ada. Pakaian dan sepatumu kan masih bagus,” kata bunda.
“Tapi aku kan malu bunda kalau berbeda warna pakaian dan model sepatu,” keluh Zaida.
“Sekarang ini bunda harus menyimpan uang. Sebentar lagi Kamu akan kuliah. Perlu banyak biaya,” ujar bunda.
“Pesanan katering bunda kan semakin banyak. Bunda pasti punya uang,” rayu Zaida.
“Alhamdulillah pesanan katering kita semakin banyak. Namun, bunda tidak dapat memenuhi permintaanmu. Adikmu juga perlu biaya masuk sekolah di madrasah tsanawiyah. Bunda sayang kepada kalian, tetapi tidak semua permintaan kalian dapat bunda penuhi,” kata bunda.
Sejak percakapan itu Zaida merasa kesal hatinya kepada bunda. Apalagi ketika ia diajak oleh teman-temannya ke toko sepatu untuk mencari sepatu yang cocok untuk mereka kenakan ketika pesta perpisahan nanti. Mereka mencoba sepatu yang pas di kaki mereka.
“Bagus ya sepatunya,” ujar Zaida bersama kata teman-temannya setelah mereka menemukan sepatu yang pas di kaki mereka.
“Kami memesan sepatu seperti ini lima belas ya, Kak,” kata seorang teman Zaida sambil menunjukkan sepasang sepatu kepada pramuniaga.
Seorang teman Zaida membayar panjar untuk sepatu yang mereka pesan. “Pesanan kalian minggu depan dapat kalian ambil,” ujar Pramuniaga.
Zaida pulang dari toko sepatu dengan hati senang. Ditambah lagi seharian ini ia berjalan-jalan bersama temannya di pusat perbelanjaan. Makan-makan dan membeli berbagai macam barang. Apalagi mereka ditraktir makan bakso dan jus jeruk oleh Qia yang ayah dan ibunya baru saja pulang dari perjalanan bisnis. Bahkan Zaida dan teman-temannya masing-masing dibekali satu kotak pizza untuk dimakan di rumah.
Ketika jalan-jalan di pusat perbelanjaan, Zaida menghabiskan tabungannya untuk membeli jam tangan baru. Menurut Zaida, jam tangan itu cantik sekali. Ada batu-batu mutiara kecil di sekitarnya meskipun hanya mutiara artifisial. Untuk urusan membayar uang sepatu dan membeli pakaian untuk pesta perpisahan tentu ia dapat meminta kepada bunda. Begitu pikirnya.
Sudah dua hari ini Zaida tidak mau membantu bunda untuk memasak makanan katering. Bunda hanya bekerja berdua bersama Kak Ika, tetangga di samping rumah yang selalu membantu bunda untuk memasak setiap kali ada pesanan katering. Biasanya Zaida yang menangani urusan kue seperti membuat risol, timphan, puding, pastel, dan bakwan. Untuk memasak makanan yang lebih rumit, bunda dan Kak Ika yang menangani.
“Auw, aduh, astaghfirullah,” terdengar jerit suara bunda dari arah dapur di suatu sore ketika Zaida pulang dari berjalan-jalan di taman kota bersama teman-temannya.
Zaida membuka sepatunya dengan cepat dan ia bergegas ke dapur. Ia melihat ada minyak panas tumpah di lantai dari wajan besar yang penuh berisi minyak. Wajan itu jatuh dari kompor. Wajah bunda tampak pucat. Ia mengibas-ngibaskan tangannya di sekitar bajunya yang terkena tumpahan minyak.
“Bunda, bunda tidak apa-apa?” tanya Zaida cemas.
Bunda menarik nafasnya sejenak. Ia memegangi bahu Zaida.
“Alhamdulillah, cipratan minyak panas tidak mengenai bunda.
Alhamdulillah, Allah menjauhkan segala hal buruk dari kehidupan kita,” ujar bunda. “Hanya saja kepala bunda pusing sedikit. Tolong bantu bunda menuju ke kamar ya!” pinta Bunda.
Zaida membantu bunda masuk ke dalam kamar setelah ia mematikan api kompor. Setelah bunda berbaring di tempat tidur, Zaida mengambilkan segelas air dan memberikan kepada bunda.
Zaida memandangi wajah bunda. Bunda terlihat lelah. Semenjak ayah meninggal beberapa tahun yang lalu, bunda yang harus bekerja untuk membiayai sekolah Zaida dan dua adiknya. Pasti bunda capek sekali harus bekerja sendiri apalagi Kak Ika sedang pulang kampung sehingga tidak dapat membantu bunda. Ditambah lagi Zaida pun tidak mau membantu bunda.
Zaida menarik tangan bunda dan menciumnya. Air mata mulai menggenang di matanya.
“Maafkan Zaida ya Bunda,” ujar Zaida sambil mencium tangan bunda.
“Begitu kerasnya bunda bekerja agar Zaida dan adik-adik dapat bersekolah. Bunda selalu berusaha mencukupi kebutuhan makan minum dan pakaian kami. Zaida malah tidak berterima kasih kepada bunda,” ucap zaida di antara linangan air matanya.
as ke dapur. Ia melihat ada minyak panas tumpah di lantai dari wajan besar yang penuh berisi minyak. Wajan itu jatuh dari kompor. Wajah bunda tampak pucat. Ia mengibas-ngibaskan tangannya di sekitar bajunya yang terkena tumpahan minyak.
“Bunda, bunda tidak apa-apa?” tanya Zaida cemas.
Bunda menarik nafasnya sejenak. Ia memegangi bahu Zaida.
“Alhamdulillah, cipratan minyak panas tidak mengenai bunda. Alhamdulillah, Allah menjauhkan segala hal buruk dari kehidupan kita,” ujar bunda.
“Hanya saja kepala bunda pusing sedikit. Tolong bantu bunda menuju ke kamar ya!” pinta Bunda.
Zaida membantu bunda masuk ke dalam kamar setelah ia mematikan api kompor. Setelah bunda berbaring di tempat tidur, Zaida mengambilkan segelas air dan memberikan kepada bunda. Zaida memandangi wajah bunda. Bunda terlihat lelah. Semenjak ayah meninggal beberapa tahun yang lalu, bunda yang harus bekerja untuk membiayai sekolah Zaida dan dua adiknya. Pasti bunda capek sekali harus bekerja sendiri apalagi Kak Ika sedang pulang kampung sehingga tidak dapat membantu bunda. Ditambah lagi Zaida pun tidak mau membantu bunda.
Zaida menarik tangan bunda dan menciumnya. Air mata mulai menggenang di matanya.
“Maafkan Zaida ya Bunda,” ujar Zaida sambil mencium tangan bunda.
“Begitu kerasnya bunda bekerja agar Zaida dan adik-adik dapat bersekolah. Bunda selalu berusaha mencukupi kebutuhan makan minum dan pakaian kami. Zaida malah tidak berterima kasih kepada bunda,” ucap zaida di antara linangan air matanya.
“Zaida, bunda sayang kepadamu. Makanya bunda dan ayahmu memberikanmu nama Zaida. Nama yang berasal dari bahasa Arab yang artinya beruntung. Bunda selalu berharap agar hidupmu beruntung dan banyak kebaikan yang dapat Kau lakukan dalam hidupmu,” ujar bunda sambil membelai kepala Zaida.
Zaida tersenyum mendengar kata-kata bunda. Begitu sayangnya bunda kepadanya.
“Bunda, Zaida pun sayang kepada bunda,” ucap Zaida sambil kembali mencium tangan bundanya. Balai Bahasa Aceh, Selasa, 23 Juli 2019.
“Tapi aku kan malu bunda kalau berbeda warna pakaian dan model sepatu,” keluh Zaida.
“Sekarang ini bunda harus menyimpan uang. Sebentar lagi Kamu akan kuliah. Perlu banyak biaya,” ujar bunda.
“Pesanan katering bunda kan semakin banyak. Bunda pasti punya uang,” rayu Zaida.
“Alhamdulillah pesanan katering kita semakin banyak. Namun, bunda tidak dapat memenuhi permintaanmu. Adikmu juga perlu biaya masuk sekolah di madrasah tsanawiyah. Bunda sayang kepada kalian, tetapi tidak semua permintaan kalian dapat bunda penuhi,” kata bunda.
Sejak percakapan itu Zaida merasa kesal hatinya kepada bunda. Apalagi ketika ia diajak oleh teman-temannya ke toko sepatu untuk mencari sepatu yang cocok untuk mereka kenakan ketika pesta perpisahan nanti. Mereka mencoba sepatu yang pas di kaki mereka.
“Bagus ya sepatunya,” ujar Zaida bersama kata teman-temannya setelah mereka menemukan sepatu yang pas di kaki mereka.
“Kami memesan sepatu seperti ini lima belas ya, Kak,” kata seorang teman Zaida sambil menunjukkan sepasang sepatu kepada pramuniaga. Seorang teman Zaida membayar panjar untuk sepatu yang mereka pesan.
“Pesanan kalian minggu depan dapat kalian ambil,” ujar Pramuniaga.
Zaida pulang dari toko sepatu dengan hati senang. Ditambah lagi seharian ini ia berjalan-jalan bersama temannya di pusat perbelanjaan. Makan-makan dan membeli berbagai macam barang. Apalagi mereka ditraktir makan bakso dan jus jeruk oleh Qia yang ayah dan ibunya baru saja pulang dari perjalanan bisnis. Bahkan Zaida dan teman-temannya masing-masing dibekali satu kotak pizza untuk dimakan di rumah.
Ketika jalan-jalan di pusat perbelanjaan, Zaida menghabiskan tabungannya untuk membeli jam tangan baru. Menurut Zaida, jam tangan itu cantik sekali. Ada batu-batu mutiara kecil di sekitarnya meskipun hanya mutiara artifisial. Untuk urusan membayar uang sepatu dan membeli pakaian untuk pesta perpisahan tentu ia dapat meminta kepada bunda. Begitu pikirnya.
Sudah dua hari ini Zaida tidak mau membantu bunda untuk memasak makanan katering. Bunda hanya bekerja berdua bersama Kak Ika, tetangga di samping rumah yang selalu membantu bunda untuk memasak setiap kali ada pesanan katering. Biasanya Zaida yang menangani urusan kue seperti membuat risol, timphan, puding, pastel, dan bakwan. Untuk memasak makanan yang lebih rumit, bunda dan Kak Ika yang menangani.
“Auw, aduh, astaghfirullah,” terdengar jerit suara bunda dari arah dapur di suatu sore ketika Zaida pulang dari berjalan-jalan di taman kota bersama teman-temannya.
Zaida membuka sepatunya dengan cepat dan ia bergegas ke dapur. Ia melihat ada minyak panas tumpah di lantai dari wajan besar yang penuh berisi minyak. Wajan itu jatuh dari kompor. Wajah bunda tampak pucat. Ia mengibas-ngibaskan tangannya di sekitar bajunya yang terkena tumpahan minyak.
“Bunda, bunda tidak apa-apa?” tanya Zaida cemas.
Bunda menarik nafasnya sejenak. Ia memegangi bahu Zaida.
“Alhamdulillah, cipratan minyak panas tidak mengenai bunda.
Alhamdulillah, Allah menjauhkan segala hal buruk dari kehidupan kita,” ujar bunda.
“Hanya saja kepala bunda pusing sedikit. Tolong bantu bunda menuju ke kamar ya!” pinta Bunda.
Zaida membantu bunda masuk ke dalam kamar setelah ia mematikan api kompor. Setelah bunda berbaring di tempat tidur, Zaida mengambilkan segelas air dan memberikan kepada bunda. Zaida memandangi wajah bunda. Bunda terlihat lelah.
Semenjak ayah meninggal beberapa tahun yang lalu, bunda yang harus bekerja untuk membiayai sekolah Zaida dan dua adiknya. Pasti bunda capek sekali harus bekerja sendiri apalagi Kak Ika sedang pulang kampung sehingga tidak dapat membantu bunda. Ditambah lagi Zaida pun tidak mau membantu bunda.
Zaida menarik tangan bunda dan menciumnya. Air mata mulai menggenang di matanya.
“Maafkan Zaida ya Bunda,” ujar Zaida sambil mencium tangan bunda.
“Begitu kerasnya bunda bekerja agar Zaida dan adik-adik dapat bersekolah. Bunda selalu berusaha mencukupi kebutuhan makan minum dan pakaian kami. Zaida malah tidak berterima kasih kepada bunda,” ucap zaida di antara linangan air matanya.
“Zaida, bunda sayang kepadamu. Makanya bunda dan ayahmu memberikanmu nama Zaida. Nama yang berasal dari bahasa Arab yang artinya beruntung. Bunda selalu berharap agar hidupmu beruntung dan banyak kebaikan yang dapat Kau lakukan dalam hidupmu,” ujar bunda sambil membelai kepala Zaida.
Zaida tersenyum mendengar kata-kata bunda. Begitu sayangnya bunda kepadanya.
“Bunda, Zaida pun sayang kepada bunda,” ucap Zaida sambil kembali mencium tangan bundanya.
Balai Bahasa Aceh, Selasa, 23 Juli 2019.