Sanskerta yang Amat Berjasa

Saya sedang menulis artikel tentang hubungan ideologi bahasa dengan praktik bahasa, khususnya dalam pemilihan kosakata dan istilah (diksi) dalam tindak tutur.

Tidak mendalam. Tulisan itu sebenarnya hanya menyoroti gejala anti-Sanskerta karena dipandang berbau Hinduisme-Buddhisme.

Tulisan berjudul “Santri” itu tidak bertujuan membenarkan maupun menyalahkan sikap anti-Sanskerta. Penekanannya lebih pada potensi kerancuan sikap/ideologi bahasa yang tidak selalu berhubungan simetris dengan praktik bahasa.

Saya menunjukkan bahwa tanpa sadar, di balik ideologi itu, mereka juga kerap kali memakai berbagai kosakata/istilah Sanskerta dalam berbagai konteks tutur yang lain. Ideologi dan praktik seringkali paradoks.

Tampaknya, berbagai asumsi, nilai, dan pandangan terkait bahasa dibentuk oleh kebiasaan. Pengaruh budaya dan lingkungan berbahasa terhadap ideologi tampaknya muncul lebih lebih cepat dan membentuk praktik bahasa (tindak tutur dalam komunikasi) sebelum pertimbangan-pertimbangan rasional hadir.

Karena harus membuktikan bahwa hubungan antara ideologi anti-Sanskerta dengan praktik bahasa tidak selalu sinkron, mau tidak mau, saya harus menelusuri khazanah kosakata/istilah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa yang masuk dalam rumpun Indo-Eropa ini.

Bahwa bahasa Sanskerta merupakan salah satu penyumbang terbesar korpus bahasa Indonesia selain Portugis, Belanda, Arab, dan Inggris tentunya, saya tahu itu sejak lama. Namun tingginya tingkat kekerapan dan fungsionalitas kosakata/istilah tersebut dalam komunikasi kita, sangat mengejutkan saya. Karena itulah saya menulis artikel ini. Mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, Anda tidak ikut-ikutan terkejut.

Baca juga:   Tantangan Konservasi Meurukon

Sebagai gambarannya, beberapa contoh ungkapan/kalimat yang saya kutip di bawah ini akan menunjukkan kepada pembaca bahwa kosakata/istilah pungutan dari bahasa Sanskerta bukanlah kosakata/istilah khusus bidang tertentu, melainkan kosakata/istilah yang sangat umum yang mewarnai beragam ujaran dan kalimat tentang hal-hal sederhana. Jadi, memang sangat akrab dengan keseharian kita.

Perhatikan kata-kata yang bercetak miring di bawah ini!

(1) Siapa nama gurumu, ayahmu, isterimu (suamimu)?

(2) Ada acara apa, ya?

(3) Karena keluarga adalah karunia, maka jagalah sebaik-baiknya!

(4) Orang beragama tidak berdusta agar hidupnya bahagia dan sejahtera.

(5) Sebagai bangsa, kita harus bahu-membahu membangun negeri ini.

(6) Berita tentang bidan yang mengabdi di pelosok itu telah tersebar di jagat maya.

Masih perlu contoh tambahan? Cukup, ya! Saya berharap kiranya pembaca sudah dapat membayangkan betapa tingginya ketergantungan kita pada pasokan kosakata/istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta dalam bertutur bahasa Indonesia.

Mulai dari agama, harta, tahta, wanita, sampai angkasa, itu semua kosakata Sanskerta. Dari neraka, dosa, sabda, pahala, dan bahagia sampai surga semua itu juga dari Sanskerta. Belia, remaja, sampai binasa pun Sanskerta. Begitu pula taruna dan laksamana.

Bagaimana dengan cinta, percaya, dan setia atau durhaka, durjana, dan penjara? Ah, lagi-lagi itu warisan Sanskerta. Saya sampai berpikir, jangan-jangan, tanpa sadar, sebenarnya setiap kali kita berbicara, kita sudah mengucapkan satu atau dua jenis unsur serapan ini.

Baca juga:   Mengapa Bahasa Jawa Tidak Menjadi Bahasa Persatuan Negara Republik Indonesia?

Beberapa sumber (lihat misalnya kajian Arif Budi Wurianto berjudul “Kata Serapan Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Indonesia” yang dimuat pada Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Oktober 2015, Volume 1, Nomor 2, hlm 125-134) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia dan Melayu menyerap 412 kosakata Sanskerta.

Berbeda dengan bahasa-bahasa lain, pungutan bahasa Sanskerta, sebagaimana saya singgung di atas, telah merasuki kosakata dasar bahasa Indonesia sehingga dalam banyak kasus tidak lagi dianggap sebagai pungutan.

Menurut saya, tak ada gunanya menghindari pemakaian kelompok kosakata serapan ini, apalagi sampai membencinya. Selain menyulitkan, tindakan seperti itu mengingkari fakta sosio-historis perkembangan bahasa Indonesia.

Jauh sebelum kita mengenal bahasa Indonesia modern, bahasa Sanskerta telah lebih dahulu memengaruhi bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia) baik secara langsung maupun melalui bahasa Jawa Kuno sejak kontak bahasa masyarakat Nusantara dengan para pendatang India berlangsung sebelum abad pertama Masehi.

Jadi, Pengaruh itu sudah tertancap begitu dalam, bahkan sebelum kita mengenal bahasa Indonesia. Oleh karena itu, rasanya tak perlulah saya mengamati dan menghitung seberapa banyak kosakata serapan Sanskerta dalam artikel ringan ini.

Sebagai penutup, pembaca yang berminat menelusuri secara daring kosakata Sankserta dalam bahasa Indonesia/Melayu, silakan kunjungi tautan di bawah ini!

http://sealang.net/indonesia/lwim/

https://id.wiktionary.org/wiki/Lampiran:Kamus_bahasa_Sanskerta_%E2%80%93_bahasa_Indonesia

Tinggalkan balasan!