Banyak sahabat saya yang tak setuju menyebut santri untuk mereka yang (pernah) belajar di dayah. Karena itu pula mereka enggan menyebut pesantren untuk tempat belajar para santri yang secara umum dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia.
Dengan alasan tertentu, mereka lebih menyukai istilah dayah untuk menyebut jenis institusi pendidikan Islam yang juga dikenal dengan (pondok) pesantren (di Sumatera Barat disebut surau). Lalu peserta didiknya mereka sebut murid, alih-alih santri. Apakah itu salah? Tentu tidak.
Dalam komunikasi, setiap orang punya pilihan, termasuk memutuskan diksi yang paling tepat menurut selera dan preferensi masing-masing. Anak-anak tetangga saya memanggil orangtua mereka dengan panggilan berbeda. Sebagian memakai abi dan ummi, tetapi anak-anak yang lain memakai papa dan mama.
Di tempat lain, teman saya mengajarkan anak-anaknya untuk memakai panggilan ayah dan emak, tetapi Anda dan istri Anda mungkin lebih senang dipanggil dengan sapaan lain di rumah. Dalam pendidikan, saat ini, pemerintah menggalakkan istilah peserta didik, tetapi dulu kita lebih mengenal istilah siswa dan murid.
Selain kedua istilah tersebut, di berbagai tempat kita juga masih sering mendengar istilah pelajar, anak didik, dan penuntut ilmu. Sama halnya dengan sapaan kekerabatan kepada orangtua, istilah-istilah tersebut pada dasarnya merujuk pada hal yang sama belaka, meskipun kita melekatkan nuansa makna dan emosi tertentu ketika memilih salah satunya dengan atau tanpa pertimbangan.
Tidak hanya penyair, penulis, maupun penceramah yang memanfaatkan diksi untuk menciptakan komunikasi yang lebih efektif dan ekspresif, melainkan orang biasa pun melakukannya. Barangkali, perbedaannya hanya pada tingkat penguasaan keragaman kosakata dan istilah serta kecerdikan menentukan pilihan yang paling tepat dan selaras.
Sebagian orang sangat mumpuni dalam hal itu, tetapi yang lain tidak. Namun apakah persoalan diksi hanya terkait dengan kompetensi dan kecakapan kebahasaan? Tampaknya tidak. Dalam membuat diksi, beberapa subjek yang saya sebutkan di atas kelihatannya tidak bertumpu pada kedua faktor tersebut saja, tetapi juga dipengaruhi atau mungkin dikendalikan oleh faktor ideologi.
Ketika memilih santri, sahabat tadi jelas memiliki pilihan lain (koleksi kosakata/istilah berdekatan) dan kemampuan menempatkannya dalam beragam konteks. Tetapi ideologi bahasa menuntun keputusan mereka pada kata tersebut. Faktor ini pula yang mengarahkan keputusan pihak-pihak yang saya singgung di atas pada diksi atau satuan bahasa tertentu.
Kompleksitas nilai, persepsi, dan emosi tentang bahasa dalam sistem sosial dan kultural merupakan pembentuk ideologi atau keyakinan bahasa. Jadi, ideologi bahasa menghubungkan berbagai asumsi (implisit dan eksplisit) tentang bahasa dengan pengalaman dan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Sama seperti ideologi lain, ideologi bahasa dipengaruhi oleh berbagai kepentingan sosial, politik, maupun moral dan terbentuk pada latar budaya tertentu.
Saya kira, antipati terhadap diksi santri bertolak dari keyakinan bahwa kata tersebut—karena berasal dari bahasa Sanskerta—berbau Hindu dengan segenap asumsi historis yang mengikutinya. Memilih istilah murid dan dayah—karena dipandang bernuansa kearab-araban—diyakini lebih islami dan memiliki citra keimanan dan kesalehan yang lebih kuat.
Perilaku bahasa berlatar ideologi keagamaan seperti ini tentu saja sangat lumrah. Namun dalam banyak kasus, karena aktivitas berbahasa dalam komunikasi pada umumnya terbentuk oleh kebiasaan, berbagai asumsi dan persepsi terkait ihwal kebahasaan pada umumnya berproses secara alamiah sehingga tidak selalu didasari pertimbangan-pertimbangan rasional.
Dalam konteks pemakaian diksi keagamaan, beberapa kosakata dan istilah mungkin dianggap lebih tepat dan selaras, lebih bernilai dan agamais daripada yang lain karena kebiasaan sehingga terkesan rancu. Istilah santri dan pesantren kurang disukai karena berbau Hindu, tetapi surga dan neraka tidak. Padahal dua istilah tersebut juga warisan Sanskserta-Hindu (svarga dan naraka).
Masih banyak kosakata/istilah serapan lain dari Sanskerta-Hindu Buddha yang kerap dipakai para mubalig dan alim ulama dalam ceramah-ceramah agama sehingga kita menerimanya sebagai peristilahan yang lebih syair`i. Lalu dengan menonjolkannya mungkin kita merasa lebih saleh dan beragama. Beberapa di antaranya yang populer adalah: puasa (upavasa [Sanskerta]), pahala (phala [Sanskerta]), dosa (dosa [Sanskerta]), sembahyang (sembah hyang [Hindu-Buddha]), unta (umt [Hindi]), bidadari (vidyadhari [Sanskerta]), suci (suci [Sanskerta]), dan sabda (savda [Sanskerta]).
Kalau mau, kita sebenarnya bisa mencari dan memopulerkan istilah alternatif yang berasal dari bahasa Arab. Tetapi perlu diingat pula bahwa bahasa Arab juga tidak identik dengan Islam. Kecenderungan untuk mengutamakan bentuk dan pilihan kata/istilah tertentu dan mengabaikan yang lain sepertinya tak selalu dibatasi oleh kompetensi, melainkan juga konstruksi budaya, kebiasaan, dan nilai-nilai sosial yang justru dipengaruhi pula salah satunya oleh perilaku bahasa.
Di Indonesia, sosialisasi kosakata Sanskerta dalam bahasa Melayu telah berlangsung jauh sebelum bahasa Indonesia lahir dan didukung pula oleh kebijakan kebahasaan yang relatif ramah terhadap bahasa Sanskerta, bahkan cenderung promotif. Cobalah Anda buka daftar semboyan berbagai institusi pemerintah dan nama penghargaan kenegaraan! Hampir seluruhnya memakai bahasa Sanskerta.
Purifikasi peristilahan yang santer dalam dua dasawarsa terakhir berbarengan dengan kebijakan promosi kosakata/istilah bahasa daerah cenderung hanya menyasar bahasa Inggris dan bahasa asing lain, tidak termasuk bahasa Sanskerta.
Jadi, keinginan untuk mempromosikan kosakata, istilah, maupun ungkapan yang lebih bernilai islami (setidaknya dalam pandangan sahabat tadi) tampaknya memerlukan kerja keras yang massif dan penuh kehati-hatian, serta tentu saja peristilahan dan ungkapan yang diciptakan harus lebih menarik dan kreatif.