Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Saya tak menduga bahasa Indonesia begitu populer di Mekah dan Madinah. Telah lama, dari berbagai cerita yang saya dengar, para pedagang di sana memang cakap berbahasa Indonesia. Tetapi yang saya bayangkan mereka hanya berbicara untuk sekadar kebutuhan transaksi jual-beli dan tawar-menawar harga. Wujudnya ya…paling penggunaan kosakata dan ungkapan singkat untuk dialog sederhana, misalnya: Ayo, Bu, Pak!; ini murah/mahal; kualitasnya bagus; model baru; ada diskon; harganya sekian riyal; Oh, tidak bisa; terima kasih; dan tentu saja nama-nama barang yang mereka jual serta angka-angka dan perhitungan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, mereka yang mampu berbicara demikian pun kemungkinan hanya di kawasan atau pasar tertentu saja.

Dugaan itu ternyata keliru. Sesaat di Madinah, ketika menuju Masjid Nabawi, saya tak mengira para penjaga toko di kiri-kanan jalan yang kami lalui akan menyapa kami dan jamaah umrah asal Indonesia lainnya dengan bahasa Indonesia yang begitu “Indonesia”. Riuh tegur sapa dan ajakan mereka untuk mampir berbelanja semakin semarak menyambut ramainya jamaah yang pulang berbarengan dari setiap gerbang Masjid.

Saat itu, meskipun ragu, saya sempat berasumsi: “Lumayan banyak juga pekerja toko asal Indonesia di sini”! Tetapi setelah melihat tampang dan perawakan mereka lebih jelas, sepertinya bukan. Bukan tampang Melayu. Meskipun ada beberapa yang mirip. Lalu saya mulai penasaran bagaimana mereka bisa “menggoda” orang-orang dari Tanah Air dengan bahasa Indonesia yang begitu akrab dan tak terasa janggal?

Fasih untuk ukuran orang asing

Mulanya saya pikir itu hanya beberapa ungkapan dan penggalan kalimat tertentu yang mereka hapal dan ulang-ulang. Jadi, sangat wajar. Bukankah kita juga bisa melakukannya? Jangankan ungkapan dan penggalan kalimat, Anda juga pasti bisa menyanyikan lagu Mandarin atau Korea misalnya dengan amat meyakinkan jika berlatih dan menghapalnya dengan baik.

Ternyata tidak. Dua tiga hari kemudian, sambil pura-pura mau membeli sesuatu, saya sengaja mengamati percakapan orang Indonesia yang berbelanja di beberapa toko dengan para pramuniaga. Hasilnya? Jauh dari prediksi saya: untuk ukuran orang asing, komunikasi bahasa Indonesia mereka harus diakui memang cukup lancar. Yang agak janggal hanya pada pengucapan huruf tertentu: d // misalnya yang kerap dieja ض /dhad/ dalam bahasa Arab atau k di akhir yang dieja agak berat seperti bunyi ق /kaf/ sepert kita sedang membaca qalqalah dalam ilmu tajwid.

Bagi saya, cara mereka berbicara yang demikian, (paling tidak, untuk pemilihan barang, proses nego dan transaksi, dan sedikit basa-basi) lumayan cair dan akrab. Kalau boleh saya bandingkan, suasananya berbeda jauh dengan praktik percakapan bahasa Inggris kami ketika kuliah semester V dulu yang begitu monoton, janggal, dan penuh jeda karena keterbatasan kosakata dan kemampuan pengucapannya. Ketika kurang pas dalam pengucapan kata tertentu, sering pula ditertawakan. Yang ini tidak, kesannya jauh lebih hidup dan alamiah.

Apakah di mana-mana begitu?

Nyaris di setiap kawasan pasar dan pertokoan Madinah (juga Mekah) terdengar bahasa Indonesia, namun kefasihan dan tingkat pemakaiannya tentu sangat beragam: mulai dari yang hanya satu dua kata dengan logat yang tidak pas sampai ujaran yang cukup kompleks dengan gaya bicara mendekati penutur asli.

Beberapa pramuniaga toko yang saya temui hanya mengerti beberapa kosakata nama barang dan harga. Beberapa yang lain mampu berkomunikasi dasar dengan menggunakan kata tanya, kata penunjuk, kata sifat, dan penjumlahan. Tetapi sebagian yang lain membuat saya tercengang karena berbicara begitu lancar. Dengan sikap ramah dan kemampuan ala sales, saya jadi mafhum jika banyak pembeli asal Indonesia yang tak akan kuasa menolak tawaran mereka. Saran saya, Anda harus lebih waspada dan lebih berani menawar harga ketika berhadapan dengan mereka.

Jadi, tampaknya kemampuan orang-orang di sana berbahasa Indonesia sangat bervariasi. Meskipun demikian, satu hal yang jelas bahwa kita tidak akan begitu kesulitan berbelanja di sana. Tidak masalah jika kita tak tahu apa pun bahasa Arab. Kita bisa membeli apa pun dengan bahasa Indonesia saja. Bahkan, banyak pula tempat yang menerima Rupiah sebaga alat tukarnya sekalian. Namun sebaiknya Anda tidak boleh kalah cepat menghitung nilai tukarnya dalam Riyal setelah memastikan barang-barang yang akan Anda belu. Seringkali mereka membolak-balik harga, bicara agak cepat dan berputar-putar, entah bercanda atau memang sengaja, sehingga tak jarang membuat kita kebingungan.

Bersambung ke bagian (2).

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!