Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Sekilas, pada bagian (1) saya telah menggambarkan fenomena maraknya pemakaian bahasa Indonesia, khususnya oleh para pedagang di kawasan Madinah dan Mekah. Kesannya tentu cukup menggembirakan.

Sebagai tambahan, di Masjid Nabawi, bahasa Indonesia juga telah dipakai secara terbatas sebagai penyampai informasi umum (selain bahasa Arab, Inggris, Urdu, dan Turki) melalui papan informasi elektronik di bagian dalam dan luar Masjid Nabawi. Di dalam masjid, tertulis larangan untuk tidak membawa pulang Al-Qur’an, sementara di bagian luar berupa imbauan untuk menjaga kebersihan dan ketertiban.

Berbeda dengan Masjid Nabawi, Masjidil Haram sama sekali tidak memiliki papan informasi atau penunjuk jalan berbahasa Indonesia. Padahal, masjid ini menjadi pusat aktivitas pelaksanaan haji dan umrah. Apakah pada musim haji situasinya berbeda? Saya belum tahu.

Yang lebih disayangkan lagi, di area kedua masjid tersebut, penunjuk arah dan nama tempat yang sebenarnya sangat diperlukan oleh pengunjung dari Indonesia belum ada yang memakai bahasa Indonesia. Di kawasan Masjidil Haram, selain bahasa Arab, papan informasi, penunjuk arah dan tempat lebih banyak disertai dengan bahasa Urdu dan Inggris, sementara di Masjid Nabawi lebih dominan disertai bahasa Inggris. Mungkin hal ini yang menyebabkan orang-orang Indonesia sering tersesat, terutama di kawasan Masjidil Haram. Beberapa kali saya sempat mendengar informasi muktamir yang tersesat karena terpisah dari rombongan dan tidak kembali ke hotel pada waktunya. Berita tentang jemaah haji yang tersesat tentu lebih banyak lagi.

Apakah bahasa Indonesia akan berkembang di Saudi Arabia atau di Tanah Haram secara khusus? Bagaimana peluang dan tantangan penyebarannya?

Ini pertanyaan sulit terutama karena keterbatasan informasi. Ketika saya mengatakan (pada bagian pertama) bahwa dengan bahasa Indonesia saja kita bisa membeli apa pun, Anda mungkin akan beranggapan bahwa bahasa ini sudah menyebar sedemikian rupa terutama di Mekah dan Madinah. Tetapi kesimpulan demikian agaknya masih terlalu dini.

Adopsi bahasa baru untuk menjalankan fungsi komunikasi tertentu merupakan kata kunci penyebaran bahasa. Robert L. Cooper dalam Language Spread: Study in Diffusion and Social Change (1982: 6) mendefinisikan penyebaran bahasa sebagai “peningkatan secara terus-menerus proporsi jaringan komunikasi yang mengadopsi bahasa atau variasi bahasa tertentu untuk menjalankan fungsi-fungsi komunikatif”. Jadi, jika mengacu pada pendapat Cooper, setidaknya kita harus memiliki data periodik peningkatan pemakaian bahasa Indonesia baik dari segi jumlah penutur dan ranah komunikasinya oleh masyarakat setempat sebelum kita berani menyimpulkan tersebar atau tidaknya bahasa ini di sana.

Memang, gambaran situasi saat ini paling tidak mengindikasikan potensi perkembangan bahasa Indonesia di sana. Kemungkinan pemakaian bahasa Indonesia di Saudi akan terus meningkat juga cukup masuk akal seiring dengan peningkatan jumlah dan frekuensi kunjungan masyarakat Indonesia ke sana. Namun demikian, masih sulit memperkirakan masa depan penyebarannya di sana karena beberapa alasan berikut.

Pertama, kontak terbatas. Kehadiran penutur bahasa Indonesia di sana berlangsung secara bergantian dalam waktu singkat. Akibatnya, hubungan sosial dengan masyarakat setempat hanya berlangsung dalam situasi tertentu (transaksi jual beli) sehingga kontak bahasa yang terjadi pun lebih banyak berlangsung dalam konteks tersebut, belum pada ranah lain. Dengan demikian, potensi pemakaian bahasa Indonesia sangat sulit menjangkau domain komunikasi lainnya baik dari aspek tempat, penutur, maupun topik.

Pada sisi lain, karena kontak sosial budaya yang terjadi terbatas pada situasi pasar, maka ragam bahasa yang terpakai pun relatif hanya bahasa pasaran atau sebut saja bahasa cakapan. Beda halnya apabila diaspora Indonesia berkembang pesat di sana sebagai komunitas dengan sistem sosial dan budayanya sehingga kontak budaya dan bahasa dengan masyarakat setempat berlangsung secara intens. Intensitas dan kualitas kontak sosial dengan masyarakat setempat paling tidak akan membuka ruang pemakaian bahasa yang lebih luas baik secara informal maupun formal, lisan maupun tulisan. Syaratnya, masyarakat penutur bahasa Indonesia harus secara konsisten memelihara bahasa dan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, gengsi bahasa. Faktor ini cukup berpengaruh. Penyebaran bahasa atau juga disebut ekspansi bahasa hampir selalu ditopang oleh gengsi bahasa (language prestise). Bahasa-bahasa yang dipersepsikan memiliki nilai sosial dan ekonomi yang tinggi atau memiliki penutur yang dianggap lebih maju cenderung lebih mudah menyebar.

Meskipun secara historis kelompok yang lebih berkuasa sering kali (dapat) menyebarkan bahasa mereka secara paksa sebagaimana terjadi pada masa kolonial di berbagai belahan dunia, namun secara tidak langsung status mereka sebagai pihak yang lebih berkuasa baik secara politik, ekonomi, sosial, dan militer sebenarnya turut mengerek gengsi bahasa mereka di mata masyarakat jajahan (suka atau tidak suka).

Konon pada masa penjajahan, bahasa Belanda tidak pernah benar-benar disebarkan secara sistematis, baik melalui birokrasi maupun pendidikan. Namun faktanya bahasa itu tetap memiliki prestise yang jauh lebih tinggi. Itulah sebabnya, ketika itu, kemampuan berbahasa Belanda relatif berkorelasi positif dengan status dan kedudukan seseorang. Tokoh-tokoh yang kita kenal sebagai pejuang pergerakan kemerdekaan pada umumnya mahir berbahasa Belanda sehingga mereka mimiliki kedudukan penting dan memiliki akses kepada pendidikan dan pekerjaan bonafide.

Bahasa Inggris dari zaman kolonial sampai detik ini menyebar ke seluruh penjuru dunia selain melalui cara-cara kasar (penjajahan) pada masa-masa awal terus berlanjut melalui cara-cara yang lebih lembut (diplomasi) pada era modern. Kini persepsi tentang manfaat sosial, ekonomi, dan karir yang dijanjikan oleh bahasa Inggris tanpa disadari telah memaksa orang-orang di seluruh dunia baik secara individual maupun kelembagaan untuk mengerahkan sumber daya yang tidak sedikit untuk belajar bahasa ini.

Sejauh ini, di mata orang Arab, bahasa Indonesia hanya dikenal sebagai bahasa pemeluk Islam terbesar di seluruh dunia. Di luar itu, bagi mereka bahasa ini relatif bukanlah bahasa yang bergengsi dan berpengaruh. Selain sebagai saudara muslim, tampaknya mereka tidak melihat alasan lebih untuk menempatkan bangsa dan negara Indonesia pada posisi penting. Begitu pula bahasanya.

Dalam “Foreign Language Planning in Saudi Arabi: Beyond English” yang dimuat Jurnal Current Issues in Language Planning volume 15 (2014), Mark Payne dan Maram Almansor menemukan bahwa selain bahasa Inggris yang secara formal merupakan bahasa asing terpenting dalam dunia birokrasi dan pendidikan di Saudi Arabia, pada akar rumput, terutama di kalangan generasi muda, muncul kecenderungan baru yang memfavoritkan bahasa Jepang dan Korea. Jadi, setakat ini, baik dari sisi kebijakan maupun kecenderungan sosial, bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang diperhitungkan di Saudi Arabia.

Dalam pengamatan saya yang amat terbatas, sangat sedikit orang Arab yang mau sekadar berbasa-basi bertegur sapa menggunakan bahasa Indonesia. Mereka yang mahir bercakap-cakap dengan para pembeli dari Indonesia di pusat-pusat perbelanjaan dan pasar merupakan pekerja migran (penjaga toko atau pedagang), bukan orang Arab asli. Mereka ini tidak saja memakai bahasa Indonesia, tetapi juga cakap berbahasa Turki, Hindi, bahkan Inggris ketika melayani para penutur bahasa-bahasa tersebut. Sementara itu, para pemilik toko yang orang Arab asli sangat jarang yang mau beralih ke bahasa lain (hanya bahasa Arab).

Bersambung ke bagian ketiga: Bahasa Indonesia di Tanah Haram (3) Kebijakan Bahasa

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!