Agaknya tak ada dalam sejarah sastra Indonesia penulis yang punya kisah hidup lebih ironis daripada Pramoedya Ananta Toer. Di masa mudanya, Pram ikut angkat senjata melawan penjajah, lalu juga berjuang pada masa revolusi, dan karena itu ia bilang bahwa sebagai orang Indonesia “kewarganegaraannya tak diperoleh secara gratis”! Meski tergolong sebagai veteran (ia berpangkat letnan dua di Tentara Keamanan Rakyat), ia kemudian lebih terkenal sebagai seorang intelektual Indonesia yang susah dicari tandingannya hingga saat ini. Ia menulis banyak buku, baik fiksi maupun nonfiksi, dan kebanyakan berkaitan dengan semangat nasionalisme yang begitu idealistis.
Dalam novel-novelnya, Pram menggambar ulang potret masyarakat Bumi Pertiwi, terutama Jawa, mulai dari zaman ketika ia hidup hingga mundur jauh ke belakang pada abad ketiga belas (Arok Dedes), abad keenam belas (Arus Balik), dan akhir abad kesembilan belas (Tetralogi Buru). Semangat nasionalisme dalam karya-karyanya ini selaras dengan apa yang pernah ia katakan dalam suatu wawancara: “Para penulis seharusnya punya tanggung jawab moral yang tinggi untuk bangsanya.” Jadi, berkarya di bidang sastra adalah bentuk pengabdian Pram kepada bangsanya, artinya ia menulis supaya karya-karyanya bisa berkontribusi dalam membuat bangsanya menjadi bangsa yang lebih baik di masa depan.
Karya-karyanya, yang Pram sebut sebagai anak-anak jiwanya, merupakan warisannya kepada generasi baru Indonesia supaya mereka bisa lebih mengenal dan menghayati jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Dan penghayatan terhadap jati diri ini merupakan aspek yang penting bagi suatu bangsa jika hendak melangkah maju dengan percaya diri di hadapan bangsa-bangsa lain yang tentu juga selalu berusaha maju dalam kancah peradaban umat manusia di dunia.
Namun, meski Pram sangat cinta kepada tanah airnya Indonesia, dan mengejawantahkan rasa cinta itu lewat kegigihan berkarya di bidang sastra dalam kurun waktu yang cukup lama, sialnya, ia malah diperlakukan kurang ajar oleh pemerintah, terutama semasa rezim orde baru pimpinan Jenderal Suharto yang korup dan otoriter. Ia menjadi tahanan politik (tanpa melalui proses pengadilan) selama empat belas tahun, dan sepuluh tahun di antaranya merupakan masa pembuangan di Pulau Buru, tempat ia diperlakukan tak manusiawi dalam kejahatan kerja paksa dan kawan-kawannya sesama tapol banyak yang tewas akibat serangan ganas penyakit malaria, atau penyakit kuning, atau kena tembak, atau tindakan aniaya lainnya dari para tentara yang bertugas mengawasi mereka sehari-hari.
Tak hanya itu, sejumlah karyanya juga dilarang terbit di Indonesia, dan delapan naskah buah pikiran Pram yang belum sempat terbit dihancurkan pihak militer tanpa perasaan, dua di antaranya lanjutan novel Gadis Pantai yang merupakan salah satu mahakaryanya yang juga sempat dicekal, tapi mendunia. Semua penderitaan tersebut bersumber dari sentimen bahwa Pram adalah seorang komunis, dan komunisme merupakan musuh besar negara sejak terjadinya Gestapu pada 1965 yang konon didalangi oleh PKI.
Faktanya, Pram memang pernah bekerja di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang akrab dengan PKI, tapi ia tak pernah mengklaim diri sebagai komunis; malah sebaliknya, dan ia juga mengaku tak pernah mempelajari marxisme yang merupakan dasar ideologi komunisme. Bagaimanapun, pada masa itu isu komunisme sangat sensitif di Indonesia; siapa saja yang punya relasi dengan PKI dicurigai sebagai komunis berjiwa iblis, sehingga serta-merta akan bernasib malang, dan Pram merupakan salah satu korban kebrutalan sikap pemerintah dalam menyikapi horor komunisme tersebut.
Meski perjalanan hidupnya banyak dirundung lara, Pram tak begitu saja hancur, malah ia terus menulis, terus bersikap kritis dan kreatif untuk menunjukkan vitalitas dan eksistensinya, serta tetap cinta tanah air, persetan pemerintah saat itu berlaku begitu jahat kepadanya. Dengan terus menulis itulah ia melancarkan perlawanan. Pemerintah yang barbar dan bersikap destruktif merupakan bentuk kerendahan budaya yang mesti diperangi, sehingga bagi Pram, perlawanan yang tepat untuk menghadapinya adalah dengan bersikap produktif dan elegan. Ia bilang, “Tulisan saya merupakan jawaban dan menunjukkan kepada mereka bahwa budaya saya lebih tinggi daripada mereka. Begitulah saya melawan mereka.”
Lebih dari sekadar sikap pembangkangan terhadap pemerintah, perlawanan yang digencarkan Pram dalam karya-karyanya merupakan ekspresi kritisnya terhadap berbagai macam ketidakberesan di bumi manusia. Ia bilang, “Ketika sesuatu menyinggung saya atau membuat saya marah, saya mendapatkan inspirasi untuk melawan. Menulis buat saya adalah perlawanan. Di semua buku saya, saya selalu mengajak untuk melawan. Saya dibesarkan untuk menjadi seorang pejuang.” Ia juga pernah berkata, “Saya mengharapkan apa yang dibaca dari tulisan saya itu memberikan kekuatan pada pembaca saya. Memberikan kekuatan untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah.”
Melawan, begitulah prinsip yang dipegangnya dalam menjalani hidup sebagai intelektual yang punya tanggung jawab terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam melawan, otomatis ia dituntut untuk berani dan menularkan keberanian kepada orang-orang yang sama berpihak kepada yang benar, adil, dan indah yang sifatnya universal. Bagi Pram, “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
Keberanian, dalam pengertian Pram, itu sifatnya mesti individual. Ia benci melihat masyarakat Indonesia yang beraninya cuma “kalau mereka berada dalam satu kelompok” saja, sehingga memicu aksi-aksi konyol seperti “tawuran desa lawan desa, kampung lawan kampung, pelajar lawan pelajar, bahkan tawuran mahasiswa lawan mahasiswa!” Keberanian semacam itu adalah palsu belaka, tak sejati.
Pram melihat hidup sebagai suatu perjalanan panjang yang sarat tanggung jawab personal, sebagaimana rangkaian pengalaman pahit telah memberinya kesimpulan yang ekstrem tentang eksistensi dirinya sebagai manusia yang mandiri. Ia bilang, “Dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri.”
Keyakinan ini integral dengan penilaian Pram terhadap kondisi sosial-politik kontemporer ketika ia menuding bahwa miskinnya “keberanian individual” dalam mental masyarakat Indonesia merupakan “kelemahan negara kita, kelemahan yang dapat membawa kita ke dalam kehancuran total!” Karena itulah ia terus menulis hingga renta. Ia menulis untuk menumbuhkan keberanian dalam jiwa pembacanya melalui karya-karyanya yang banyak dan masih hidup hingga kini. Ia menulis sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Indonesia, tanah tumpah darah tempat ia berjuang sejak belia, negara yang telah memberinya pengalaman “mabok kebebasan” dalam pesta kemerdekaan pada 1945 yang disebutnya sebagai “masa terindah” dalam hidupnya dan juga pengalaman-pengalaman pahit yang radikal, yang Pram sebut sebagai “titik dasar kehinaan” pada masa orde baru. Pendeknya, Ia menulis untuk memberi dampak positif bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa depan.
Begitulah, ia mengajari kita untuk terus melawan sebagai bentuk eksistensi kita, perjuangan demi harga diri kita di hadapan kebatilan, persetan bagaimanapun ujung perlawanan itu nantinya, apakah berhasil atau tidak. Melawan kebatilan, itulah sikap terhormat dalam mengisi kemerdekaan jiwa dalam kehidupan sosial yang sarat ketidakadilan.
Untuk melawan kebatilan yang ada di luar dirinya, seseorang mesti pula melawan kebatilan yang ada di dalam dirinya sendiri terlebih dahulu. Kebatilan dalam bentuk kepengecutan. Kepengecutan dalam arti takut untuk berpihak kepada yang benar, adil, dan indah. Takut untuk bertindak sesuai dorongan nuraninya karena itu berisiko. Takut dipandang berbeda dan dijauhi oleh kelompok yang menjadi lingkungannya. Takut, bukankah itu musuh terbesar dalam diri manusia? Takut, bukankah itu modal terbesar bagi pelaku kejahatan untuk melanggengkan, bahkan mengeskalasi kejahatannya? Sekali lagi, “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
Sekalipun kebatilan tak akan pernah lenyap dari muka bumi, sekalipun kita ujung-ujungnya mungkin takluk oleh kebatilan itu, setidaknya kita telah berusaha, melawan, berkelahi untuk menunaikan tanggung jawab kemanusiaan kita, mengikuti nurani kita. Seperti ucapan Nyai Ontosoroh kepada Minke setelah mereka kalah oleh kebengisan kolonial Belanda, yang sekaligus menjadi kalimat penutup dalam novel Bumi Manusia yang tersohor sebagai karya terbaik Pram sepanjang karir kesastraannya, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Catatan: Sebagian besar kutipan pernyataan Pram dalam tulisan ini diambil dari buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! serta tayangan Pramoedya Ananta Toer – Ikon 1992 di kanal Youtube.