PIZZA KERJA SAMA

Sumber foto: pixabay
Hari ini pukul setengah empat sore. Udara sangat sejuk. Langit menumpahkan hujan deras sejak pukul tiga tadi. Hal tersebut menyebabkan Faiz bersama saudara kembarnya Fikri dan dua saudara kandung mereka yang lain, Khadijah dan Fahmi tidak dapat bermain di luar rumah. Ayah dan ibu sedang berkunjung ke rumah adik ibu. Cek Alita baru saja panen rambutan dari lima batang rambutan yang ditanam di halaman rumahnya. Cek Alita menjanjikan kepada empat keponakannya itu akan ada banyak rambutan yang dapat dibawa pulang untuk mereka. Tentu saja mereka sangat senang. Apalagi rambutan dari kebun Cek Alita buahnya besar-besar dan rasanya manis sekali.

Masalahnya berada di rumah tanpa dapat pergi bermain di luar rumah, terasa membosankan bagi mereka. Faiz dan Fikri biasanya bersepeda berkeliling kompleks bersama teman-teman mereka yang lain. Khadijah bermain bersama teman-temannya yang perempuan. Fahmi, adik mereka yang paling kecil terkecil sering ikut kemana pun Faiz dan Fikri pergi. Meskipun ia hanya menjadi penonton saja ketika abang-abangnya bermain bola atau bermain kelereng.

“Kak Khadijah, aku lapar,” ujar Fahmi pada Khadijah yang sedang menonton film kartun. Faiz dan Fikri sedang memperbaiki remote mobil-mobilan mereka.

“Di stoples ada biskuit. Ambil saja sendiri,” kata Khadijah yang masih asik menonton film kesukaannya.

Fahmi mengambil stoples yang berada di atas meja yang berada di sudut ruang tengah.

Ia mencoba membuka tutup stoples. Akan tetapi, tutup stoples itu melekat begitu kuat.

“Kak Khadijah, Fahmi tidak dapat membuka tutup stoles ini,” lapor Fahmi kepada kakaknya.

“Itu saja tidak bisa. Kakak sedang asik menonton film. Filmnya sedang seru. Kamu menganggu saja,” kata Khadijah sambil menarik stoples yang dipegang oleh adiknya. Diputarnya tutup stople itu dengan kuat. Lalu ia menarik bungkusan biskuit dari dalam stoples.

“Maaf ya, Dik. Biskuitnya sudah habis. Ini tinggal bungkusnya saja,” kata Khadijah kepada Fahmi, adiknya yang berumur tiga tahun itu.

“Kak, buatkan makanan,” rengek Fahmi sambil memegangi lengan kakaknya.

“Aku lapar, Kak,”

Ketika mendengar rengekan adiknya, Khadijah melihat iklan pizza yang ditayangkan di televisi. Tampilan pizza itu yang dimakan oleh model iklan tampak meyakinkan sekali. Suapan pizza yang masuk ke dalam mulut para model iklan dapat menimbulkan sensasi lapar kepada penonton.

“Kakak mempunyai ide,” ujar khadijah sambil menarik tangan adiknya menuju ke dapur. Fahmi mengikuti langkah kaki kakaknya. Mungkin kakaknya akan memberikan makanan yang enak untuknya. Begitu pikir Fahmi.

“Bang Faiz, Bang Fikri, apa kalian mau makan pizza?” tanya Khadijah ketika ia melewati tempat Faiz dan Fikri berada.

“Mau dong. Apa pesan pizza online? Apa uang jajanmu minggu ini masih banyak sisa ya?” tanya Faiz.

“Pizza harganya kan mahal. Kalau pesan pizza menggunakan uangmu boleh juga. Uang jajanku minggu ini sudah habis,” kata Fikri kepada Khadijah.

“Ya sama. Uang jajanku juga sudah habis,” kata khadijah.

“Tidak jadi kita makan pizza dong kalau uangnya tidak ada,” kata Faiz.

“Supaya kita jadi makan pizza, pizzanya kita buat sendiri,” kata Khadijah.

“Apa bahan-bahan untuk membuat pizza ada di rumah?” tanya Fikri.

“Sepertinya ada. Biasanya bahan-bahan memasak di rumah sudah lengkap disediakan oleh ibu. Ayo kita ke dapur!” ajak Khadijah.

Keempat anak itu bersama-sama menuju ke dapur. Fikri menarik kursi untuk mengambil bahan makanan kering yang disimpan ibu di kitchen set.

“Tepung terigu, ragi, dan keju mozzarella,” kata Khadijah sambil menyebutkan sebagian bahan-bahan yang diperlukan.

Fikri menunjukkan satu bungkusan tepung kepada Khadijah. Khadijah menggelengkan kepalanya.

“Bukan, itu tepung beras. Itu dia tepung terigu ada di sudut sebelah kanan. Itu ada tertulis namanya,” ujar Khadijah.

Sementara itu, Faiz dibantu oleh Fahmi menyiapkan bahan-bahan lainnya. Bawang bombay, sosis, paprika, dan saus tomat.

“Sekarang cara membuatnya bagaimana?” tanya Fikri.

“Ini ada resepnya,” kata Faiz sambil memegang selembar kertas berisi resep cara membuat pizza. Resep itu resep milik ibu mereka yang diambil oleh Khadijah dari kumpulan resep masakan yang dikoleksi oleh ibu.

“Ragi dicampur dengan air hangat agar kita dapat mengetahui apakah raginya masih aktif atau tidak,” Khadijah yang merupakan siswa kelas empat MIN itu begitu bersemangat membaca resep cara membuat pizza. Tangannya pun bergerak mencampur ragi, sedikit gula pasir, dan air hangat.

“Lalu kita tunggu hingga lima belas menit. Selanjutnya nanti yang mengaduk adonan tepung, Bang Faiz dan Bang Fikri,” Khadijah mulai membagi-bagi tugas kepada saudara-saudaranya.

“Siap,” sahut Faiz dan Fikri serentak.

Setelah lima belas menit, ragi pun siap digunakan. Faiz dan Fikri yang bersekolah di MIN kelas lima mulai mengaduk tepung terigu, campuran ragi beserta air hangat, garam beserta sedikit minyak sayur.

“Pegal tangan,” teriak Faiz ketika ia menguleni adonan tepung.

“Kita bergantian mengaduknya ,” Fikri bersiap mengaduk adonan tepung di atas meja yang biasa digunakan ibu untuk membuat adonan roti.

“Mengapa kita tidak menggunakan alat pengaduk saja?” tanya Faiz.

“Kita tidak memiliki alat pengaduk. Kata ibu alat pengaduk adonan roti harganya mahal. Kita belum mempunyai uang yang cukup untuk membelinya,” kata Khadijah menjawab pertanyaan abangnya.
Setelah Faiz dan Fikri mengaduk adonan tepung, mereka membiarkan adonan tersebut selama satu jam.

Khadijah menutup adonan tersebut dengan serbet basah agar adonan mengembang dengan baik. Fahmi memperhatikan kakak dan abang-abangnya membuat pizza sambil makan semangkuk sereal dicampur dengan susu. Untunglah di rumah masih ada beberapa kotak sereal. Kalau Fahmi harus menunggu hingga pizza matang, ia bisa kelaparan.

“Sambil menunggu, adonan pizza ini. Kita salat Asar terlebih dahulu. Itu azan sudah terdengar dari masjid,” seru Faiz.

“Kita salat di masjid saja yuk!” ajak Fikri.

“Fahmi ikut pergi ke masjid ya Bang!” kata Fahmi kepada abang-abangnya.

“Ayolah, kita pergi bersama-sama,” ajak Fikri.

Ketiga anak laki-laki itu bergegas mengambil peci. Fahmi ditertawakan oleh abang-abang dan kakaknya karena pecinya kebesaran. Fahmi tidak marah. Ia ikut tertawa bersama abang-abang dan kakaknya. Khadijah tak ikut pergi ke masjid. Ia salat di rumah.

Sambil menunggu ketiga saudaranya pulang dari masjid, Khadijah menyiapkan bahan toping yang akan ditaburkan di atas pizza nanti. Ia mengiris bawang bombay, paprika, dan sosis. Setelah itu ia membagi adonan pizza menjadi dua bagian. Lalu adonan itu diletakkannya di dalam dua loyang. Dibentuknya adonan itu dengan jari-jarinya hingga memenuhi loyang. Kemudian adonan itu ditusuk-tusuknya dengan garpu agar udara yang terdapat di dalam adonan dapat keluar. Selanjutnya di atas adonan, diolesinya dengan saus tomat, diletakkannya bawang bombay, paprika hijau dan paprika merah, dan sosis. Terakhir sekali ia menaburi adonan pizza dengan keju mozzarella.

“Insya Allah ini rasanya enak sekali,” gumam Khadijah.

Khadijah meletakkan adonan di dalam oven yang sudah dipanaskan di atas kompor. Khadijah berhati-hati ketika menggunakan kompor. Ibu sering mengingatkannya mengenai hal itu. Setelah sekitar dua puluh menit adonan pizza berada di dalam oven, Khadijah menarik pizza dari dalam oven dengan menggunakan kain tebal.

Bertepatan dengan saat itu, Fikri, Faiz, dan Fahmi sudah kembali dari masjid. Mereka segera menuju ke dapur tempat Khadijah berada. Ketika membuka pintu depan, aroma pizza menguar hingga ke arah mereka.

“Hmmmmh…pizzanya sudah matang ya? Baunya membuat perut lapar,” ucap Faiz.

Fikri membantu Khadijah untuk mengeluarkan pizza dari dalam oven. Ada dua loyang pizza yang diletakkan di atas meja makan. Pizza itu terlihat enak sekali. Keju mozarellanya meleleh. Toppingnya pun terlihat bagus meskipun hanya menggunakan topping sederhana.

“Kakak, abang, cepat potong pizzanya. Fahmi ingin makan pizza,” kata Fahmi kepada kakaknya.

“Pizzanya mau dipotong menjadi berapa bagian?” tanya Fikri ketika ia bersiap hendak memotong pizza.

“Setiap Loyang dipotong menjadi enam. Kita kan ada enam. Ayah, ibu, dan juga kita berempat. Jadi, setiap orang mendapat bagian dua potong pizza,” ujar Faiz memberi saran.

“Setuju,” seru ketiga saudaranya.

Sore itu, keempat anak itu menikmati pizza. Rasanya tentu enak sekali karena mereka yang membuatnya bersama-sama.

Nurhaida
Balai Bahasa Aceh, 10 s.d. 12 Februari 2020

Tinggalkan balasan!