Student Hidjo: Pendidikan dan Kedaulatan

Ketika mau membaca novel ini, saya mendapat kabar bahwa novel karya Mas Marco ini merupakan bacaan liar di masa pramerdeka (terbit pertama kali dalam bentuk cerita bersambung pada 1918, dan dalam bentuk buku pada 1919) sekaligus perintis sastra perlawanan.

Saya pun mulai membayangkan cerita yang sarat adegan dan peristiwa pemberontakan terhadap penjajah, sekaligus upaya memprovokasi pribumi untuk memperjuangkan kemerdekaan di Nusantara pada masa itu. Tapi, setelah saya membacanya, cerita novel ini ternyata tentang hubungan cinta yang rumit antara sejumlah tokoh.

Hidjo yang awalnya bertunangan dengan Biroe, setelah pergi sekolah ke Belanda, selingkuh dengan Betje. Biroe pun, sepeninggal Hidjo, ada menaruh hati pada Wardojo, seorang kerabat Hidjo yang punya saudara bernama Woengoe. Setelah Hidjo pergi ke Belanda, keluarganya berkenalan dengan keluarga Woengoe, lalu berhubungan baik. Orang tua Hidjo suka kepada Woengoe, dan mereka ingin menjadikan Woengoe sebagai istri Hidjo.

Perbincangan antara kedua keluarga pun dibuka dan kesepakatan tercapai. Sepulang dari Belanda, Hidjo menikah dengan Woengoe, Biroe dengan Wardojo, dan Betje dengan William, seorang kontrolir yang gagal mendapatkan cinta Woengoe. Cerita berakhir bahagia bagi semua pihak.

Ketika tahu bahwa novel ini adalah novel bertema cinta, saya benar-benar heran, “Apanya yang sastra perlawanan?”

Memang ada sedikit narasi yang menjelek-jelekkan Belanda dalam cerita, tapi apakah benar itu yang menjadi alasan kenapa novel ini disebut sastra perlawanan? Pada masa itu Belanda sengaja mendirikan Balai Pustaka untuk mengontrol bacaan masyarakat, sehingga bacaan-bacaan yang tak jatmika kepada Belanda pasti dicap berbahaya, sehingga hanya bisa beredar secara liar.

Baca juga:   Delisa: Senjata Pendekar Bahasa dari Tanah Rencong

Namun apakah novel itu disebut sastra perlawanan hanya sebatas karena ada sedikit narasi yang menjelek-jelekkan pihak kolonial? Awalnya saya pikir begitu. Kemudian hari saya membaca sebuah artikel kesastraan yang membahas karya sastra melalui simbol. Di sinilah saya mencoba memaknai ulang novel Student Hidjo dan hubungannya dengan sastra perlawanan.

Dalam cerita, Hidjo bisa berangkat ke Belanda karena ia adalah anak yang pintar, lalu di Belanda menjalin hubungan asmara dengan gadis Belanda totok, Betje, bahkan sampai melakukan hubungan seks di sebuah hotel. Persanggamaan ini bagi saya merupakan lambang superioritas seorang Jawa yang dijajah terhadap seorang Belanda yang menjajah, dan hal itu (dalam alur) bisa terjadi berkat adanya pendidikan yang baik dari pihak si terjajah–tidak mungkin percintaan Hidjo dan Betje terjadi jika Hidjo tidak pergi ke Belanda.

Kenyataannya Hidjo bisa pergi ke Belanda karena ia dipercaya mampu melanjutkan pendidikan ke sana berkat ketekunannya dalam belajar. Alasan itu sekaligus memberinya wibawa sebagai orang yang terpelajar di Belanda. Jadi, secara tak langsung, Mas Marco mengajukan sebuah wacana bahwa pendidikan adalah jalan terbaik bagi pribumi saat itu untuk bisa merdeka dari Belanda. Bukankah pada judul novel ini Mas Marco juga mengedepankan sebutan student yang berasosiasi erat dengan pendidikan?

Kebodohan jelas suatu penyakit yang berbahaya. Kebodohan membuat seseorang tak berdaulat terhadap akalnya sendiri. Kebodohan membuat seseorang cenderung inferior. Kebodohan adalah kegelapan; para penjahat oportunis memanfaatkan keadaan itu demi kepentingan mereka sendiri. Mereka mencuri kekayaan bangsa yang terperangkap dalam kegelapan dan melakukan praktik adu domba secara mudah.

Baca juga:   Pengumuman PPNPN

Semua bisa terjadi karena eksploitasi terhadap kebodohan. Di atas kebodohan itulah penjajahan beroperasi, dan terutama menjadi panjang umur. Sementara itu, pendidikan adalah suluh penerang, cahaya yang menunjukkan bahwa di dalam rumah bangsa itu ada gerombolan perampok yang zalim; musuh sejati yang harus dilawan bersama-sama. Keparat-keparat yang harus diusir bagaimanapun caranya.

Tak hanya menunjukkan keculasan yang tengah terjadi, pendidikan juga menerangi kekuatan yang tersembunyi dalam diri setiap individu; senjata yang tak disadari keberadaannya oleh mereka yang lena dalam kegelapan. Senjata itulah akal yang jika diasah akan menjadi semakin tajam. Senjata itulah yang jika dipegang erat-erat menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri seseorang, lalu menjelma keberanian untuk bertarung menghadapi keberengsekan yang merugikannya.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, kebangkitan nasional ditandai dengan munculnya golongan terpelajar yang sangat sadar akan keterjajahan bangsa mereka.  Pada awal abad kedua puluh, Belanda menerapkan kebijakan politik etis terhadap koloninya di Hindia Belanda, dan salah satu wujud politik etis tersebut adalah bantuan pendidikan bagi pribumi.

Saat itu, sekolah-sekolah bergaya Eropa dibuka untuk pribumi dan diperbanyak keberadaannya. Akses belajar ke Belanda bagi siswa-siswa yang pintar pun semakin terbuka. Maka, berkat kebijakan-kebijakan tersebut, mulai banyak pribumi yang menjadi golongan terpelajar kemudian. Mereka bersatu dalam bentuk organisasi-organisasi intelektual di berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa. Mereka inilah yang bergerak memperjuangkan kemerdekaan melalui usaha-usaha politis yang bertumpu pada kecerdasan akal.

Baca juga:   Tantangan Konservasi Meurukon

Jadi, pendidikan sangat berperan besar dalam proses meraih kemerdekaan. Pendidikan adalah senjata yang ampuh untuk membuat seseorang berdikari. Pendidikan membuat individu dapat melihat berbagai isu di lingkungannya secara lebih jernih, lalu menyikapinya secara lebih bijak dan berani dengan bekal akal yang merupakan anugerah tak ternilai dari Tuhan dalam diri manusia.

Sebagai penegas sekaligus penutup, saya mau mengutip pernyataan seorang intelektual Amerika yang lahir dari lingkungan perbudakan, George Washington Carver, tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan umat manusia: “Pendidikan adalah kunci untuk membuka gerbang emas kemerdekaan.”

Nah, jika pendidikan adalah modal besar untuk meraih kemerdekaan bagi sebuah bangsa, ia tentu juga merupakan aset penting untuk melanggengkan kemerdekaan tersebut, bahkan lebih dari itu, untuk mengisinya dengan usaha-usaha yang positif, demi kehidupan yang lebih baik di muka bumi, tempat bangsa-bangsa dari segala penjuru saling bergaul dan bersaing dalam sejarah, tak henti-henti.

Tinggalkan balasan!