Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Menulis fiksi adalah memotret kenyataan. Itu sebabnya sastra disebut cerminan masyarakat. Sekalipun fiksi merupakan karangan imajinatif yang subjektif, ia sejatinya berangkat dari hukum-hukum realitas universal yang menjembatani gagasan si penulis dan pengalaman para pembaca yang beragam. Cerita yang dikarang si penulis dapat dipahami para pembaca. Kecenderungan untuk patuh kepada realitas ini kemudian membayangi proses kreatif penulis dalam menarasikan beragam peristiwa dalam karangannya.

Salah satu peristiwa dalam realitas sosial adalah interaksi antara dua atau lebih orang yang bahasa ibunya tidak sama, seperti pada masyarakat yang bilingual atau multilingual. Di sini masalah muncul: bagaimanakah cara memotret peristiwa kekompleksan berbahasa semacam itu?

Tiga cara yang ruwet

Jika merujuk pada beberapa kasus yang terjadi dalam sastra Indonesia dewasa ini, dapat dilihat beberapa sikap penulis yang mirip-mirip.

Pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy pembaca tahu bahwa tokoh utamanya merupakan seorang Indonesia yang menimba ilmu ke negeri Mesir. Karena berinteraksi dengan orang-orang Mesir yang mayoritas berbahasa Arab, tentu sudah pasti ia sebagai pendatang menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi dengan masyarakat setempat.

Masalahnya, penulis cerita ini menulis karyanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, sehingga ketika menampilkan dialog yang ingin berpegang pada hukum-hukum realitas, terjadi keruwetan. Lihatlah contoh berikut ini.

“Fahri, istanna suwayya!”

Fi eh kaman?”

Aku urung melangkah.

“Uangnya.”

“Sudah, nanti saja, gampang.” (El-Shirazy, 2008:22)

Pada dialog tersebut kita bisa melihat ketidakkonsistenan penulis dalam menampilkan dialog si orang Mesir. Di sana dialog si orang Mesir ditampilkan dalam dua bahasa, dan khusus untuk dialog yang berbahasa Arab diberikan terjemahan bahasa Indonesianya di catatan kaki. Sikap menampilkan bahasa Arab seperti itu banyak dijumpai dalam dialog-dialog yang melibatkan tokoh orang Mesir lainnya (selain juga dialog-dialog berbahasa Jerman pada tokoh orang Jerman), sehingga banyak catatan kaki bertaburan di sejumlah halaman dari awal hingga akhir cerita novel tersebut.

Sementara itu, pada novel Te o Toriatte karya Akmal Nasery Basral keruwetan yang mirip juga terjadi. Di sana kita menemukan peristiwa interaksi antara orang Indonesia dan orang Jepang dalam beberapa kesempatan. Berikut salah satunya.

Shinjirarenai to wa doiu imidesu ka?” tanya Ryo. Apa maksudmu dengan tak bisa dipercaya?

“Badan Antisipasi Bencana Alam Nasional (BABAN) sudah mengumumkan Tsunami Selat Sunda setinggi tiga meter. Sementara temuan tim lapangan di beberapa titik menyimpulkan ketinggian tsunami bervariasi antara 8,5 meter, 12,8 meter bahkan sampai 13,5 meter. Jika betul sampai 13,5 meter, maka Tsunami Anak Krakatau ini malah lebih tinggi dari Tsunami Palu di bulan September lalu yang memiliki titik tertinggi 11,3 meter.”

Ryo tertegun. “Mengapa terjadi perbedaan informasi yang begitu jauh?” (Basral, 2019:62–63)

Pada novel ini, bahasa yang digunakan untuk menampilkan dialog Ryo juga tak konsisten. Awalnya ucapan Ryo, sebagai orang Jepang, ditampilkan dalam bahasa Jepang, sementara terjemahan bahasa Indonesianya disusulkan pada kalimat selanjutnya. Lalu, pada dialog Ryo berikutnya, bahasa yang digunakan langsung bahasa Indonesia.

Dua bentuk dialog di atas juga terjadi pada beberapa novel lainnya dalam sastra Indonesia. Pertama, dialog berbahasa asing tidak selamanya ditampilkan pada dialog yang melibatkan tokoh bukan orang Indonesia, lebih sering pada bagian tertentu dialog saja, dan cenderung hanya untuk mempertegas bahwa si tokoh adalah orang asing (baca: bukan orang Indonesia). Kedua, ketika menyiasati terjemahan bahasa Indonesia dialog berbahasa asing, ada penulis yang menyertakan terjemahan di catatan kaki, namun ada pula yang menyertakannya setelah kalimat berbahasa asing.

Selain dua macam sikap tersebut, sebenarnya ada pula sikap lain yang lebih ringkas, yaitu menampilkan dialog berbahasa asing saja, tanpa repot-repot memberi tahu terjemahan bahasa Indonesianya kepada pembaca. Cara ini biasanya dilakukan terhadap dialog berbahasa Inggris. Mungkin karena bahasa Inggris sudah dianggap cukup banyak dipahami oleh masyarakat Indonesia saat ini, jadi terjemahan bahasa Indonesianya tak perlu lagi disertakan dalam narasi.

Lalu, tepatkan sikap-sikap semacam itu ketika mengisahkan sebuah cerita dalam karya novel? Hal ini sebenarnya tak bisa dijawab dengan pasti, sebab tidak ada dalil-dalil khusus sebagai aturan baku dalam menulis kreatif tentang apa yang tepat dan apa yang tidak. Prinsip lisensi puitika memberikan kebebasan kepada pengarang dalam berkreasi sesuai tujuannya.

Kini pertanyaannya: apa tujuan si penulis bersikap seperti itu? Apakah murni untuk mempertegas kedekatan cerita karangannya terhadap realitas, atau malah ada niat untuk pamer kemampuan berbahasa asing agar karyanya terkesan lebih bergengsi? Atau mungkinkah niatnya untuk memberi edukasi berbahasa asing sambilan kepada pembaca di Indonesia? Atau lainnya?

Jika niatnya untuk edukasi berbahasa asing sambilan, sikap itu jelas ceroboh sebab ia tak akan efektif; fiksi dibaca bukan untuk tujuan seperti itu. Jika niatnya untuk pamer kemampuan berbahasa asing, sikap itu jelas lebih parah lagi karena ia menampilkan kesan yang kekanak-kanakan.

Jika niatnya untuk mempertegas kedekatan cerita karangannya terhadap realitas, sikap itu pasti akan mendatangkan kerepotan (terutama jika tokoh-tokoh dalam cerita memiliki latar belakang budaya yang sangat beragam). Cerita cenderung tidak konsisten (terutama jika tokoh-tokoh orang asing dalam cerita itu memiliki peran yang cukup penting dalam cerita, sehingga memiliki porsi dialog yang sangat banyak). Selain itu, narasi cerita akan penuh oleh terjemahan di sana-sini yang membuat pembaca tidak nyaman.

Universalisme bahasa

Oleh karena itu, bagi saya pribadi, menampilkan dialog berbahasa asing dalam cerita merupakan sikap yang tidak ideal. Dalam suatu bangunan narasi yang utuh, pikiran atau gagasan yang disampaikan si penulis idealnya terwujud dalam bahasa yang tunggal (bukankah bahasa itu pada dasarnya berposisi sebagai wujud pikiran/ide/makna, dan bagaimanapun macam wujudnya, pasti mengandung konsep yang sama dan universal.

Sejatinya pikiran/ide/makna bersifat tunggal; language dalam istilah de Saussure. Adapun soal kosakata atau istilah khas yang tanpa padanan dan tak bisa diterjemahkan secara tepat, lalu terpaksa ditampilkan dalam bahasa aslinya, itu perkara lain. Hal itu sama belaka dengan setiap ungkapan yang mengacu kepada identitas, seperti nama orang, tempat, judul buku, judul lagu, dan sebagainya. Ia tetap tampil dalam bahasa aslinya.

Langkah Pram

Dalam khazanah sastra Indonesia, kita bisa mengedepankan karya Pramoedya Ananta Toer, pengarang Indonesia yang paling mendunia itu, sebagai contoh. Dalam novel Bumi Manusia, tokoh-tokoh dalam ceritanya berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan, seperti Jawa, Madura, Belanda, Prancis, Cina, dan Jepang. Mereka saling berinteraksi.

Pram tidak repot-repot menyajikan ucapan para tokoh dalam bahasa asing. Ia hanya memberi keterangan sebelum atau sesudah kutipan ucapan langsung si tokoh bahwa ia berkata dalam bahasa apa. Contohnya seperti berikut.

“Jelas sewanya lebih mahal,” kataku dalam Belanda (Toer, 2011:19).

Ia berhenti di hadapanku, bertanya dalam Melayu:

“Kontrol, Nyo?”

“Ya,” kataku.

“Ya, Yu Minem,” tiba-tiba Annelies sudah ada di belakangku. “Sudah berapa ember perahanmu sehari?” Sekarang ini menggunakan Jawa.

“Tetap saja, Non,” jawab Minem dalam Jawa Kromo (Toer, 2011:47).

“Sudah berubah letaknya ini?” tanya komandan dalam Melayu.

“Sedikit. Tadi kugoyang,” jawab Darsam dalam Madura (Toer, 2011:406).

Sebenarnya, sejak awal Pram telah memberitahu pembaca bahwa latar waktu cerita dalam novelnya adalah tahun 1898, artinya saat itu belum ada bahasa Indonesia, kecuali bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia). Ia menulis novelnya dalam bahasa Indonesia, dan ia konsisten menggunakan bahasa itu dari halaman awal hingga akhir tanpa harus repot menulis dialog tokoh-tokohnya dalam bahasa asli mereka yang sesuai realitas tahun 1898 di Jawa, dan karena itu menjadi tampak elegan sebagai sebuah narasi yang utuh.

Bukankah selama ini karya-karya terjemahan bahasa Indonesia tidak mempertahankan dialog dalam bahasa asli karya tersebut? Semua unsur karya tersebut pasti ikut dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing akan dialihbahasakan juga ke bahasa sasaran seutuhnya.

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!