Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Konon, dahulu pujangga adalah pengkhayal yang diperintahkan raja untuk mengarang cerita tentang kehebatan (atau mungkin tak berlebihan pula jika disebut keajaiban) kehidupan di istana. Misalnya raja adalah titisan dewa. Pujangga dijadikan alat pengukuh kesakralan kuasa raja (baca: feodalisme) dalam pikiran masyarakat. Atas kinerja brilian itu, sang pujangga beserta keluarganya mendapat perlindungan dan jaminan kesejahteraan dari istana, selain juga status sosial yang terpandang di masyarakat.

Tulisan ini tak berbicara soal sastra yang semacam itu, sastra yang mesra dengan kekuasaan, tapi sebaliknya, sastra yang oposan, sastra yang berani mengkritik kekuasaan, baik secara halus, semacam menyuguhkan kopi beracun di tengah pesta, maupun secara kasar, semacam terang-terangan memamerkan botol molotov di depan lawan.

Tidak aneh jika penulis sastra semacam ini kemudian identik dengan cap pemberontak atau pembangkang berbahaya oleh penguasa zalim dalam sejarah. Pemberontak dalam artian pendamba keadilan adalah sebutan yang bisa diterima. Tetapi, dalam artian perusuh yang oportunis, itu jelas salah dan kita harus bersepakat dulu dalam pemaknaan ini.

Pemberontak yang disebut di sini bukanlah penjahat cerdas yang memanfaatkan kata-kata untuk meresahkan masyarakat, mengacaukan dunia, apalagi meneror keselamatan jiwa umat manusia yang tak berdosa. Bukan. Malah sebaliknya: mereka adalah para pahlawan yang mempertaruhkan keselamatan jiwanya sendiri demi mengharapkan terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih baik dan kehidupan dunia yang lebih indah.

Mereka memang sering memprovokasi emosi pembaca, tetapi itu semata-mata untuk merangsang sikap penolakan masyarakat terhadap mental tercela orang-orang yang berkuasa, sekaligus mengajak pembaca untuk mantap mengangkat kepala, memperbaiki kerah baju, dan menyingsingkan lengan baju di hadapan moral culas orang-orang yang punya kuasa. Meskipun demikian, mereka juga bukan orang-orang yang melawan penguasa untuk memperoleh kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang suka memosisikan diri di luar kekuasaan; orang-orang yang berpolitik tanpa pamrih kekuasaan.

Kekuasaan itu melenakan. Mereka sadar betul hal ini. Karena itu kritik harus selalu ada sebagai alarm. “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan penuh korup sepenuhnya,” kata John Acton. Dalam sastra, cerminan paling terkenal tentang fenomena ini dapat dibaca dalam novel Animal Farm (Peternakan Hewan) George Orwell yang menggambarkan sirkulasi otoritarianisme dalam dinamika sosial.

Bahwa kaum tertindas yang berontak hari ini, setelah berhasil melakukan revolusi dan menggenggam kekuasaan, cenderung menjadi tirani baru di kemudian hari. Dalam kehidupan nyata kita bisa mengenang Presiden Sukarno yang kontroversial itu sebagai contoh paling dekat.

Pada masa penghujung Orde Lama, banyak tokoh nasional yang dipenjara lantaran mengalami konflik dengan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu. Salah seorang pesakitan tersebut adalah sastrawan sekaligus jurnalis ternama Indonesia, Mochtar Lubis. Ia dipenjara selama sembilan tahun tanpa pengadilan gara-gara terlalu nyinyir mengkritik Bung Karno yang mulai bikin dongkol sebagai presiden.

Dalam masa penahanannya, bukannya berubah inferior, Mochtar Lubis justru tetap melancarkan perlawanan lewat catatan harian yang pada 1980 terbit menjadi buku berjudul Catatan Subversif. Lihat, betapa gagah beraninya judul itu!

Saat rezim Orde Baru berkuasa, Mochtar Lubis kembali masuk penjara setelah kembali mengusik orang-orang dekat Soeharto. Ia dipenjara selama dua setengah bulan dan seperti sebelumnya: melawan lagi lewat penulisan catatan harian. Buku itu terbit pada 2008 dengan judul Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru.

Orde Baru yang terkenal korup dan kelewat lama berkuasa memang mengundang munculnya pemberontak-pemberontak berpedang kata. Dalam periode itu, kita bisa menyebut tiga nama yang terkenal: Rendra, Iwan Fals, dan Wiji Thukul. Rendra kondang dengan puisi-puisi pamfletnya dalam mengkritik kumuhnya kepemimpinan Soeharto yang militeristik. Puisi-puisi itu kerap dibacakan di hadapan keramaian, semacam agitasi yang menjadi bensin bagi hati orang-orang yang memendam api, sehingga dianggap berbahaya oleh penguasa, dan akhirnya berimbas pada penangkapan Rendra dan pembuiannya.

Iwan Fals, sahabat Rendra, juga tak kalah rajin mengkritik Orde Baru lewat lagu-lagu yang dinyanyikannya di hadapan kerumunan massa. Bahkan, lagu-lagu Iwan Fals teramat populer di Indonesia, dan kita sampai sekarang masih akrab dengan lagu-lagu kritik sosial semacam Bongkar dan Bento yang “asyik” itu.

Ada pun Wiji Thukul, ia adalah cerita yang sadis. Penyair yang juga terkenal lewat puisi-puisi pamflet itu secara misterius hilang dalam bayang-bayang penculikan aktivis oleh aparat pada 1998. Sejak saat itu, raganya hilang entah ke mana, tak pernah tampak lagi, tapi puisi-puisinya terus hidup, sebagaimana kita akan selalu mengingat sepenggal baris puisinya yang bergelora terhadap kezaliman: “maka hanya ada satu kata: lawan!”

Itu cerita-cerita sekelabat dari Indonesia. Bergeser sedikit ke negeri tetangga, pada penghujung abad kesembilan belas, ada kisah yang tak kalah heroik juga, yaitu ketika tokoh besar Melayu, Jose Rizal, dieksekusi mati di Manila akibat tuduhan menghasut revolusi di tanah airnya tercinta, Filipina.

Ia memang seorang jenius yang gigih menulis guna menawarkan ide-ide perubahan bagi kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Ia seorang multitalenta yang pernah menulis dua novel perlawanan berjudul Noli Me Tangere (1887) dan Filibusterismo (1891)–kedua buku ini terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Jangan Sentuh Aku dan Merajalelanya Keserakahan–yang membuat penguasa kolonial Spanyol benar-benar naik pitam, dan karena itulah Jose Rizal berurusan dengan pengadilan lalu dihukum mati pada 1896 ketika ia berusia 35 tahun.

Sebelum menghadapi regu tembak ia masih sempat pula menulis sebuah puisi perpisahan yang terkenal dengan judul Mi Ultimo Adios, atau bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia dapat menjadi Selamat Tinggalku yang Terakhir. Puisi itu punya semangat perlawanan yang abadi. Ia masih membakar semangat nasionalisme bumiputra Filipina bahkan setelah kematian penulisnya (yang belakangan diakui sebagai Bapak Bangsa Filipina. Lebih dari itu, pengaruhnya juga menginspirasi perjuangan bumiputra di Nusantara!

Kini mari kita beranjak semakin jauh. Di Perancis abad kesembilan belas yang pernah jatuh ke tangan monarki otoriter, ada pula seorang penulis yang begitu dielu-elukan kaum marjinal penuntut revolusi. Namanya Victor Hugo.

Penulis yang terkenal lewat novel Les Miserables (Orang-Orang Sengsara) dan Notre-Dame de Paris (Bunda Maria dari Paris) itu memiliki pengaruh politik yang besar untuk mengkritik pemerintahan yang sewenang-wenang di negerinya. Ia berani berdiri di barisan para pemberontak sehingga tak jarang ia harus mengungsi ke berbagai tempat untuk menghindari penangkapan penguasa yang mengancam nyawanya.

Konon, ketika Hugo wafat, lebih dari dua juta orang menghadiri pemakamannya di Paris; jumlah yang melampaui populasi Paris kala itu. Ini merupakan bukti bahwa ia begitu dicintai rakyat Prancis dan karena itu pula ia tetap dikenang hingga sekarang sebagai penulis legendaris.

Di Uni Soviet abad kedua puluh ketika hegemoni totalitarianisme pimpinan Stalin begitu kuat, pahlawan lain juga muncul dengan kisah yang tak kalah dramatis: Aleksander Solzhenitsyn. Ia berusaha menelanjangi bobrok negara yang tertutup itu lewat tulisan-tulisan yang mencengangkan dunia, terutama tentang penderitaan rakyat akibat komunisme yang sebagian besar tak manusiawi, sehingga memicu kemarahan penguasa yang membuatnya hidup tidak aman.

Sampai-sampai ketika meraih Nobel Sastra 1970, tokoh ini tak berani bepergian ke luar negeri untuk menerima langsung penghargaan tersebut karena takut dicekal oleh pemerintah. Begitulah, perjalanan hidupnya dihiasi kisah pembuangan, hukuman penjara, pencabutan status kewarganegaraan. Namun secara tak terduga, ketika wafat, ia diakui oleh Presiden Rusia saat itu, Medvedev, sebagai pembela rakyat yang “mendedikasikan seluruh karya dan hidupnya untuk menentang tirani dan segala bentuknya”.

Soal hubungan sastra dan politik ini Solzhenitsyn pun pernah berkata, “Bagi sebuah negara, memiliki seorang penulis hebat seperti memiliki pemerintahan kedua. Itulah kenapa tak ada rezim yang pernah menyukai penulis besar, hanya yang kecil.”

Di belahan dunia lain, Amerika Selatan misalnya ketika despotisme abad kedua puluh begitu kental, sejumlah penulis latin juga berperang melawan pemerintah yang berkuasa. Lewat pena lahirlah karya-karya subversif yang tak jarang membuat si penulis terpaksa eksil ke luar negeri. El Otono del Patriarca (Tumbangnya Seorang Diktator) karya Gabriel Garcia Marquez, El Senor Presidente (Tuan Presiden) karya Miguel Angel Asturias, dan Conversacion en la Catedral (Percakapan di Katedral) karya Mario Vargas Llosa merupakan beberapa karya yang bisa dilihat sebagai reaksi kritis sastrawan latin terhadap pemerintah yang berkuasa di negeri mereka kala itu.

Oh ya, bicara soal Llosa, pada 2010 Akademi Swedia memberinya Hadiah Nobel Sastra dengan testimoni “untuk kartografinya tentang struktur kekuasaan dan gambarannya yang tajam tentang perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan individu”.

Nah, semua contoh yang diangkat dalam tulisan ini tentu hanya beberapa kasus saja di antara banyaknya kasus kezaliman penguasa kepada rakyatnya. Pada dasarnya, kasus-kasus tersebut merupakan cerita lama yang diperankan oleh aktor-aktor baru saja. Seorang atau sekelompok penguasa versus seorang atau beberapa penulis yang berani melakukan kritik terhadap praktik ketidakadilan. Intinya, sejarah mengajarkan satu hal: yang berpihak kepada keadilan selalu harum, dan yang berdiri pongah di seberangnya selalu busuk.

Editor: Baun TSS

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!