Dania buru-buru mengikat tali sepatunya. Kemudian diambilnya tas yang tadi diletakkannya di atas meja makan. Ibu keluar dari arah dapur dengan membawa satu kotak bekal dan satu botol minuman. Dania sudah berada di teras rumah. Dania mengambil kotak bekal dan botol minuman yang disodorkan oleh ibu kepadanya.
“Dania yakin tidak ingin pergi ke sekolah diantar oleh ayah saja?” tanya ibu.
Dania cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Wajahnya merengut. Ia memalingkan pandangannya ke arah sepeda motor ayahnya yang diparkir di halaman rumah. Sepeda motor berwarna merah itu tampak kusam. Catnya sudah mengelupas di sana-sini. Belum lagi bunyinya yang ribut sekali ‘kreok, kreok,kreok’.
“Sepeda motor ayah sudah butut. Dania malu, Bu. Teman-teman Dania ada yang diantar oleh orang tuanya dengan mobil. Mobil orang tua mereka bagus-bagus. Ada juga sih yang diantar dengan sepeda motor, sepeda motornya juga bagus-bagus dan model terbaru,” Dania menyampaikan keluhannya kepada ibu. Malah bukan itu saja yang membuat Dania malu. Ada beberapa teman sekelasnya yang mengejeknya karena ia diantar oleh ayahnya dengan menggunakan sepeda motor butut.
“Itu coba lihat si Dania. Ia diantar oleh ayahnya dengan menggunakan sepeda motor butut. Bunyi sepeda motornya pun ribut sekali,” Satu orang teman sekelas Dania mengatakan hal tersebut dan disambut tawa beberapa orang temannya yang lain.
Wajah Dania memerah. Ia bertekad tidak ingin diantar ke sekolah oleh ayahnya lagi apalagi menggunakan sepeda motor butut milik ayahnya. Lebih baik ia berjalan kaki saja. Seperti pagi ini, Dania memilih untuk berjalan kaki menuju ke sekolahnya. Jarak dari rumah menuju ke sekolahnya sekitar empat puluh lima menit apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Baru lima belas menit Dania berjalan kaki, keringat mulai menetes di dahinya. Seragam sekolahnya pun basah dengan keringat.
Dania membetulkan letak ranselnya. Ransel yang disandang di bahunya terasa berat. Banyak buku yang dibawanya hari ini ke sekolah. Bahu dan kaki Dania terasa pegal. Belum lagi perutnya juga terasa perih. Dania merasa capek dan lapar. Tadi ia belum sempat minum dan makan apa pun di rumah. Kalau sudah begini, sifat cengeng Dania mulai muncul. Air mata mulai jatuh satu per satu dari mata menuju ke pipinya.
Biasanya setiap pagi ayah selalu mengantarkannya ke sekolah. Perjalanan ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor milik ayah, hanya sekitar sepuluh menit. Masalahnya berada pada sepeda motor ayah yang butut itu.
“Mengapa ayah tidak membeli sepeda motor baru? Kalau ayah mempunyai sepeda motor yang bagus, Dania mau diantar oleh ayah ke sekolah,” kata Dania beberapa hari lalu kepada ayah.
“Ayah mau saja membeli sepeda motor yang bagus, tetapi uang ayah belum cukup untuk membeli sepeda motor baru,” ujar ayah.
“Kalau begitu Dania berjalan kaki saja ke sekolah. Dania tidak mau lagi diantar oleh ayah dengan menggunakan sepeda motot butut,” ujar Dania kesal.
“Jarak dari rumah kita ke sekolah Dania cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Ayah tidak mau Dania nanti kelelahan di perjalanan,” kata ayah memberikan saran.
“Dania yakin Dania kuat untuk berjalan kaki sejauh itu,” ujar Dania menanggapi saran dari ayahnya.
“Kalau begitu terserah Dania saja. Jika Dania ingin diantar oleh ayah, sepeda motor ayah selalu siap mengantarkanmu,”ujar ayah sambil tersenyum.
“Maaf ya ayah, bukannya Dania tidak mau diantar oleh ayah ke sekolah. Akan tetapi, sepeda motor ayah itu lho yang nggak banget,” kata Dania sambil menahan senyum geli.
Kemarin Dania masih dapat tersenyum dan tertawa ketika ia membicarakan bersama ayahnya mengenai sepeda motor butut milik ayahnya. Dania yakin dengan tekadnya untuk berangkat dan pulang ke sekolah dengan berjalan kaki. Bukannya Dania tidak mau naik angkutan umum, tetapi kawasan rumah tempat tinggal Dania tidak dilewati kendaraan angkutan umum. Jadi, pilihan yang tersedia untuk Dania, ia naik sepeda motor ayah atau ia berjalan kaki. Namun, pagi ini Dania merasa sedih. Jarak menuju ke sekolahnya masih jauh dan ia belum menempuh setengah perjalanan menuju ke sekolahnya.
Dania memandang ke langit. Pagi ini cuaca tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Awan hitam mulai mengubah warna awan dari biru cerah menjadi pekat. Titit-titik air hujan mulai berjatuhan. Dania melihat ke sekelilingnya untuk melihat tempat berteduh. Tidak ada tempat berteduh. Rumah-rumah penduduk pun tidak terlihat. Sepanjang jalan hanya ada kebun-kebun kosong. Belum ada petani yang datang ke kebun-kebun mereka.
Dania meneruskan langkah kakinya. Hujan mulai turun dengan deras. Air hujan mulai merembes ke seragam ke sekolah dan tas yang disandangnya. Air mata Dania pun semakin deras membasahi pipinya.
“Ayah, Dania mau berangkat ke sekolah diantar ayah saja,” teriak Dania di antara derasnya hujan yang turun. Petir menggelegar beberapa kali. Dania merasa ketakutan. Dania menangis sejadi-jadinya.
‘Tit tit tit tit tit’ terdengar klakson sepeda motor dari arah belakang Dania. Dania memalingkan wajahnya ke arah belakang. Ketika si pengendara sepeda motor menarik kaca helmnya, Dania dapat melihat wajah orang tersebut dengan jelas. Dania berlari ke arah pengendara sepeda motor.
“Ayah,” Dania berlari menghambur ke pelukan ayahnya.
“Maafkan Dania ya Ayah,” ujar Dania sambil menghapus air matanya dengan telapak tangan kanannya.
“Ya, sekarang pakailah mantel ini,” ujar ayah sambil menyerahkan satu mantel berukuran kecil kepada Dania.
Dania naik di boncengan ayahnya. Ia merasa lega bertemu dengan ayahnya. Ayah mengantarkan Dania pulang ke rumah. Rupanya sepanjang perjalanan tadi ayah mengikutinya dari belakang dengan mengendarai sepeda motornya pelan-pelan. Dania sudah basah kuyup terkena hujan. Jadi ia harus berganti pakaian terlebih dahulu di rumah. Sesampainya di rumah, ibu menyiapkan pakaian ganti untuknya. Ibu juga membuatkan segelas susu hangat.
“Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Ibu. Dania sayang kepada kalian berdua,” ucap Dania sambil bergantian memeluk ayah dan ibunya.
“Sekarang bagaimana? Apa besok Dania mau naik sepeda motor ayah atau berjalan kaki saja ke sekolah?” tanya ayah.
“Dania mau naik sepeda motor ayah saja. Jika masih ada teman-teman yang mengejek. Dania akan menanggapinya dengan tersenyum,” sahut Dania.
“Nah, begitu kan bagus. Anak ayah dan ibu harus menjadi anak yang kuat mentalnya,” kata ayah yang disambut senyum Dania yang merupakan siswa kelas tiga tingkat sekolah dasar itu.
Nurhaida
Balai Bahasa Aceh, Senin, 9 Maret 2020.