Balada Retorika

Tidak ada yang memungkiri bahwa peradaban Barat hari ini sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Ahli-ahli dari berbagai macam bidang ilmu berserakan dalam sejarah.

Mereka semua bahu membahu menciptakan sejumlah kecanggihan guna kehidupan yang lebih baik. Alhasil, ilmu-ilmu pasti seperti matematika, fisika, atau kimia menjadi primadona di mata dunia. Ilmu-ilmu pasti mendapat prestise tinggi. Tidak ada yang memungkiri.

Salah seorang budayawan ternama Indonesia, Y.B. Mangunwijaya, pernah mengungkapkan secara tegas bahwa kemajuan peradaban Barat berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa yang berakar pada filsafat Yunani, dan filsafat Yunani bertumpu pada retorika.

Sejarah telah mencatat bahwa retorika merupakan keahlian yang populer di kalangan intelektual barat pada zaman dahulu–terutama pada abad keempat sebelum Masehi yang kemudian dikenal sebagai abad retorika. Jago-jago pidato bertanding di atas podium seperti petinju-petinju yang berduel di atas ring.

Gagasan-gagasan yang dibungkus kata-kata pilihan dan tekanan suara meyakinkan menjadi senjata perlawanan. Perang gagasan seperti ini tentu saja mencerdaskan dan selalu menarik untuk disimak.

Julius Caesar (100-44 SM), penguasa Romawi yang kondang, pernah memuji salah seorang orator ulung bernama Cicero (106-43 SM) dengan pernyataan yang menggambarkan betapa istimewanya retorika, “Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan.”

Jadi, tradisi retorika yang populer di dunia barat pada masa lalu telah memberi pengaruh besar terhadap kemajuan peradaban masa kini. Retorika telah membantu pemberdayaan akal manusia dalam menghasilkan gagasan-gagasan kritis, logis, dan filosofis.

Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian Charles Hurst, seorang ahli ilmu sosial, yang menyimpulkan bahwa pelajaran retorika memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.

George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rethoric, juga menyatakan bahwa retorika pada hakikatnya mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan.

Berbicara soal retorika tentu tidak lengkap tanpa menyebut kaum sophis yang menjadi ikon retorika pada abad keempat sebelum Masehi alias abad retorika.

Pada masa kejayaannya, retorika begitu fenomenal dan membuat nama-nama orator ulung seperti Gorgias, Protagoras, Demosthenes, dan Isocrates jadi terkenal di mana-mana.

Namun, ironisnya, pada masa ini pulalah wajah retorika mulai mendapat coreng akibat kontroversi kaum shopis yang menjadikan ilmu retorika sebagai komoditas dan memanfaatkan kata-kata untuk memanipulasi kebenaran.

Kelak, Socrates mengkritik kaum sophis sebagai para prostitut yang menjual kebijaksanaan, dan Plato menjadikan Gorgias sebagai contoh retorika yang palsu.

Jika retorika diumpamakan sebagai pisau, maka kaum sophis telah menggunakan retorika untuk mengupas kulit kebijaksanaan di satu sisi dan menikam tubuh kebenaran di sisi lainnya. Sebagaimana fenomena retorika pada masa kejayaan kaum sophis, pada masa sekarang pisau juga dijual di pasar-pasar dengan aneka rupa dan aneka harga.

Kisah retorika berlanjut pada abad kedua puluh, ketika Perang Dunia II akhirnya pecah akibat ulah seorang orator notorious bernama Adolf Hitler. Dengan sihir bahasanya, Hitler segera menjadi pemimpin Jerman yang sukses mengacaukan dunia dengan teror-teror yang lebih buruk dari bencana terburuk yang pernah diramalkan.

Gagasan-gagasannya yang gila, kata-katanya yang provokatif, dan nada suaranya yang meledak-ledak seperti dinamit, membuat serdadu-serdadu Jerman terhipnotis untuk mengangkat senjata dan menjadi bangga bertumpah darah mengahadapi kematian.

Sebagai sedikit gambaran tentang bagaimana Hitler menggunakan retorika sebagai sarana propagandanya, mungkin dapat dihubungkan beberapa pernyataan fenomenalnya tentang kebohongan.

Hitler berkata, “Jika kamu menyampaikan sebuah kebohongan besar dan menyampaikannya berkali-kali, kebohongan itu akan dipercaya.”

Hitler juga berkata, “Tidak masalah seberapa banyak kebohongan yang kamu ucapkan, yang penting adalah bagaimana kamu membuat kebohongan itu menjadi kenyataan.” Seolah-olah bicara tentang dirinya sendiri, akhirnya Hitler menegaskan, “Pembohong besar adalah juga penyihir besar.”

Ya, Hitler sangat sadar bahwa retorika begitu berpengaruh guna menggerakkan massa demi meraih suatu tujuan besar–tidak peduli baik atau buruk.

Pada buku yang ditulisnya sendiri, Mein Kampf atau Perjuanganku (1925), Hitler menyatakan bahwa setiap gerakan besar di dunia selalu dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan oleh ahli-ahli tulisan.

Dia juga mengakui secara tegas bahwa sejumlah keberhasilan yang telah dicapainya utamanya disebabkan oleh kemampuannya dalam beretorika.

Seorang sejarawan Inggris, Allan Bullock, juga mengakui kehebatan retorika Hitler dengan tanpa ragu menyatakan bahwa Hitler merupakan seorang demagog terbesar dalam sejarah peradaban manusia.

Jadi, tak heran; untuk menghadang kekuatan retorika Hitler dalam kekacauan Perang Dunia II yang juga bisa disebut sebagai panggung akbar sang Fuhrer, sejumlah orator ulung dari tiap-tiap negera yang terlibat sebagai pemeran utama harus angkat bicara.

Satu yang paling menonjol berasal dari Kerajaan Inggris Raya, yaitu Winston Churchill. Selama masa perang, pidato-pidato Churchill banyak berperan dalam upaya diplomasi dan pengerahan kekuatan-kekuatan militer.

Churchill merupakan lawan sepadan Hitler. Keduanya sama-sama pendekar retorika yang ahli dalam mengendalikan massa. Bedanya pada motivasi retorika mereka. Hitler menggunakan retorika untuk ‘membunuh’, sedangkan Churchill menggunakan retorika untuk ‘menyelamatkan’.

Kehebatan Churchill dalam menyampaikan orasi diakui dunia lewat Penghargaan Nobel Kesusastraan 1953 dengan testimoni, “… for brilliant oratory in defending exalted human values.”

Salah satu pidato terbaik Churchill terjadi pada 13 Mei 1940, ketika ia diangkat menjadi perdana menteri oleh pemerintah koalisi Inggris. Saat itu Churchill langsung menjawab tantangan Perang Dunia II dengan sepenggal kalimatnya yang begitu terkenal, “Saya tidak bisa memberikan apa-apa, kecuali darah, perjuangan, air mata, dan keringat.”

Begitulah retorika, ia memiliki peran penting dalam perjalanan panjang sejarah peradaban manusia. Kata-kata telah banyak mengubah dunia. Sebagaimana politik (sebagai saudara kandung), retorika kemudian juga akrab dengan sentimen negatif.

Namun demikian, retorika tetaplah pisau. Baik-buruknya bergantung pada siapa yang memegang dan siapa yang menggunakan: ‘iblis’ atau ‘malaikat’. [rikifernando]

Artikel ini telah mengalami penyuntingan minor. Versi aslinya terbit di Padang Ekspres, 6 Agustus 2017.

Tinggalkan balasan!