HAMKA, LITERASI, KEMAJUAN BANGSA

Perkara Literasi

Ada banyak pemahaman umum mengenai literasi di Indonesia. Sering kita mendengar bahwa literasi sangat berkaitan dengan aktivitas membaca dan menulis, sementara pendapat lain memandangnya secara lebih luas. Pandangan yang luas mengenai literasi ini dapat dilihat di KBBI Edisi V, yang mendefinisikannya sebagai “kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup”. Dengan kata lain, literasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang erat hubungannya dengan pemberdayaan akal budi secara khusus dan pemantapan mental secara umum.

Pandangan yang menekankan atau cenderung mengutamakan kaitan literasi dengan kemantapan membaca dan menulis dapat dimaklumi karena buku merupakan unsur vital literasi sejak lama. Buku merupakan sumber pengetahuan yang punya peran luar biasa dalam dinamika kehidupan intelektual. Sulit membayangkan literasi berjalan maksimal tanpa peran buku dalam kehidupan manusia. Buku merupakan media transmisi informasi dan pengetahuan yang sangat efektif dari dulu hingga sekarang. Borges (dalam Baez, 2017: 14) bahkan mengklaim bahwa buku (dalam pengertian yang luas) merupakan instrumen manusia paling luar biasa dibandingkan intrumen-instrumen lainnya. Buku merupakan “perpanjangan ingatan dan imajinasi”, atau dengan kata lain perpanjangan pikiran, akal, dan mental manusia. Dengan kata lain pula, buku merupakan lembaga alam pikiran tempat berbagai macam ingatan dan gagasan dipermanenkan, disebarkan, dan diwariskan dari individu ke individu lainnya.

Kenapa buku dalam kaitannya dengan literasi sangat penting? Lewat sejarah kita tahu bahwa banyak peradaban-peradaban unggul di berbagai belahan dunia berawal dari kemantapan literasi masyarakatnya. Peradaban Islam mengalami masa kejayaan pada masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya sejak khalifah Harun Ar-Rasyid mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad pada abad kesembilan Masehi. Bermula sebagai perpustakaan, Baitul Hikmah pada masa-masa selanjutnya bertransformasi menjadi lembaga penerjemahan, penelitian, dan singkatnya pusat kegiatan intelektual, tidak hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi umat-umat agama lain. Geliat kegiatan-kegiatan intelektual inilah indikasi mantapnya literasi umat Islam masa itu.

Kemajuan peradaban Eropa, terutama sejak Renaisans juga tidak bisa lepas dari peran buku yang luar biasa. Setelah Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak di Jerman pada sekitar 1440, revolusi percetakan dimulai di Eropa Barat. Ongkos bikin buku yang semakin murah membuat produksi buku melonjak, dan pada gilirannya membuat tingkat literasi di Eropa Barat juga meningkat drastis (Kuru, 2020: 357). Kondisi inilah, yang berbarengan dengan kondisi-kondisi penting lain, yang “mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menambah mutu sumber daya manusia dan membentuk kondisi untuk berinovasi” (Kuru, 2020: 342). Sejak itu, peradaban Eropa (Barat) semakin maju, semakin di depan, dan mendominasi dunia hingga sekarang.

Ketika peradaban Eropa semakin maju sejak terjadinya revolusi percetakan, dunia Islam perlahan-lahan malah mulai mundur, dan akhirnya mengalami ketertinggalan hingga sekarang. Kondisi ini menurut Kuru (2020: xii) tak terlepas dari “keterlambatan hadirnya mesin cetak selama tiga abad di masyarakat-masyarakat tersebut [Islam]”, sehingga “membuat kesenjangan literasi … antara muslim dan masyarakat Eropa Barat”.

Sebelumnya, salah satu tiang penyangga peradaban Islam juga telah hancur karena invasi bangsa Mongol ke pusat kekhalifahan Abbasiyah pada 1258. Setelah membunuh khalifah dan ratusan ribu muslim lainnya di Baghdad, tentara-tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan memporak-porandakan Baitul Hikmah dengan beringas. Buku-buku di perpustakaan diobrak-abrik, dicampakkan ke Sungai Tigris, sampai-sampai air sungai menjadi hitam karena tercampur tinta buku-buku yang jumlahnya luar biasa banyak. Baez (2017: 126) mengatakan, “Inilah aksi penghancuran yang direncanakan matang dengan maksud menghancurkan kebanggaan intelektual rakyat Baghdad.” Sejak itu peradaban Islam jatuh dan tidak pernah lagi mengalami kegemilangan yang sama, bahkan hingga sekarang.

Kuru (2020: 411) yang prihatin dan meneliti masalah ketertinggalan peradaban Islam dengan serius, kemudian mengajukan rekomendasi penting untuk permasalahan ini: “Muslim memerlukan kaum intelektual yang kreatif”–selain juga borjuasi independen. Dan untuk melahirkan kaum intelektual yang kreatif tingkat literasi masyarakat harus mantap. Tidak bisa tidak. Begitulah pentingnya buku, atau lebih persisnya ilmu pengetahuan, bagi peradaban-peradaban besar dalam sejarah. Ia menjadi salah satu faktor sangat penting bagi kemajuan dan kemunduran peradaban.

Hamka

Ia tidak pernah tamat sekolah tingkat terendah sekali pun, tapi Universitas Mustopo Jakarta menganugerahinya gelar Profesor, sementara Universitas Al-Azhar (Mesir) dan Universitas Kebangsaan Malaysia menganugerahinya gelar Doktor Honoris Kausa. Maka, jadilah namanya Prof. DR. Hamka. Ajaib, memang, tapi itu menyiratkan aktivitas intelektual Hamka yang luar biasa. Dan karena itu pulalah ia menjadi teladan yang ideal dalam perkara literasi ini.

Hamka lahir pada 1908, tahun yang sama dengan berdirinya Commissie voor de Volkslectuur (kemudian dikenal sebagai Balai Pustaka) di Hindia Belanda. Sebagai penyuplai bahan bacaan rakyat, Balai Pustaka berperan penting dalam peningkatan literasi bangsa Indonesia. Rush (2018: xl) mencatat, “Pada 1925 Balai Pustaka telah mendirikan dua ribu perpustakaan di seantero koloni dan melayani sekitar tiga ratus ribu peminjam. Hampir dua juta buku beredar.” Maninjau, kampung Hamka, kala itu juga ikut “dijangkau zaman cetakan”. Dan Hamka belia merupakan satu dari ratusan ribu penikmat buku “di seantero koloni”.

Kegemaran Hamka membaca bukan lagi menjadi rahasia umum bagi orang-orang yang mengenalnya. Hamka kecil rela menghabiskan uang sakunya hanya untuk meminjam buku di perpustakaan. Bahkan, jika tidak punya cukup uang, ia akan berusaha mencari akal dengan bekerja di percetakan. Ia membaca apa saja, baik buku maupun koran, baik fiksi maupun nonfiksi, dan bisa berjam-jam atau hingga larut malam. Kegemaran membaca inilah yang terus dipelihara Hamka hingga ia tua. Rush (2018: 67) mengatakan, “Kesukaannya membaca sebanyak-banyaknya menandai awal pendidikan otodidak Hamka.”

Mujur, sejak kecil Hamka telah didorong untuk belajar bahasa Arab oleh ayahnya. Maka, ia pun punya sarana untuk melakukan pengembaraan intelektual ke berbagai budaya dan pemikiran dunia kemudian. Kala itu buku-buku berbahasa Arab, termasuk terjemahan bahasa Arab karya-karya intelektual Barat, banyak beredar di Hindia Belanda, dan Hamka mengoleksinya dalam jumlah banyak. Dengan kecakapan berbahasa Arab yang mumpuni Hamka semakin memperdalam ilmunya di bidang agama Islam, lalu juga mempelajari pemikiran-pemikiran Barat dengan intens. Jika membaca tulisan-tulisannya, kita bisa melihat betapa luasnya pergaulan Hamka dengan pemikir-pemikir besar baik di dunia Islam maupun Barat. Ia membuka diri tidak hanya pada para pemikir muslim, tapi juga nonmuslim. Dari Ibnu Sina ke Charles Darwin. Dari Muhammad Iqbal ke Sokrates. Segala pengetahuan, tak peduli dari siapa asalnya, ia terima dengan semangat belajar yang tanpa ampun. Maarif (dalam Rush, 2018: xv) mengatakan bahwa Hamka adalah “seorang pemikir yang merdeka”.

Dengan modal pengetahuan yang berlimpah, ia pun semakin mantap dalam menulis. Sepanjang hidup, ia telah menulis lebih dari seratus karya tulis dengan beragam kategori, seperti agama, sejarah, filsafat, politik, budaya, memoar, biografi, dan sastra. Berkat buku Sejarah Umat Islam yang terdiri dari empat jilid, serta buku-buku tentang sejarah Islam lainnya yang ia tulis, Hamka “berjasa mengisi kekosongan historiografi Islam di Indonesia” pada masanya (Triyana, 2018: 115). Buku Tafsir Al-Azhar yang ia tulis sebanyak tiga puluh jilid pun menjadi buku tafsir populer di Indonesia, bahkan juga di Malaysia. Begitu juga dua novelnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck tak hanya sangat populer pada masanya, tapi pada abad ke-21 telah difilmkan dan juga mendapat sambutan meriah dari pemirsa di seluruh Indonesia. Hingga sekarang, buku-buku Hamka, baik fiksi maupun nonfiksi masih terus dicetak ulang, mudah ditemukan di sejumlah toko buku, dan yang terpenting tetap memiliki sidang pembaca yang ramai, dari anak muda hingga orang tua.

Prestasi menulis seperti itu bukanlah hal biasa dalam sejarah kepenulisan di Indonesia. Kalau bukan karena tekad besar Hamka dalam menulis tentu ia tak akan terdorong untuk bekerja keras menghasilkan karya-karya seperti itu. Lalu, apa yang menggerakkan Hamka untuk menulis secara gila-gilaan? Atau, untuk apa semua kegiatan literasi Hamka yang superintens ini sebenarnya?

Rush (2018: xxxiv) dengan jitu memberikan jawabannya: “Selagi Hamka menulis sepanjang hidupnya, dua gagasan kuat itu–kemerdekaan Indonesia merdeka dan kebangkitan kembali Islam–berpadu menjadi satu narasi utama dalam tulisan dan kehidupannya. Perpaduan itu menjadi Adicerita Hamka: Islam untuk Indonesia.” Kebangkitan Islam, termasuk di dalamnya kebangkitan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, itulah mimpi besar Hamka. Sebagai putra reformis Islam di Indonesia, Muhammad Rasul, Hamka jelas sangat akrab dengan gerakan pembaharuan Islam yang dilancarkan para intelektual semacam Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida di Mesir pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Hamka (2018a: 167) memandang kebangkitan Islam di Mesir dengan menulis, “Orang [di Mesir] telah mulai menyauk dari kebudayaan dan kesusastraan Barat, untuk memperindah dan membangun kedudukan kebudayaan dan kesusastraan sendiri.” Semangat pembaharuan yang condong bercorak intelektual itulah yang diteruskan Hamka, khususnya di Indonesia, dan diejawantahkannya melalui membaca khazanah peradaban Islam dan pemikiran Barat sebanyak-banyaknya, menulis secara masif, dan berceramah tanpa kenal lelah sejak muda hingga tua.

Hamka punya cita-cita yang besar untuk jadi pujangga hebat bagi bangsanya (Rush, 2018: 21–22). Ia pernah menulis, “Saya ingin jadi Hamka di Indonesia, sebagaimana Tagore di India atau Iqbal di Pakistan ….” Rabindranath Tagore dan Muhammad Iqbal, bukankah mereka pujangga-pujangga kelas dunia yang berhasil membangkitkan kembali mental bangsa mereka melalui perjuangan sastra/intelektual setelah periode penjajahan dan ketertinggalan dari Barat? Hamka (2018a: 247) berkata tentang pujangga:

Pembangunan seni dengan sendirinya berkaitan dengan pembangunan budi. Budi membangkitkan semangat untuk berdaya mencapai kehidupan yang lebih tinggi. Budi dan daya itulah yang bergabung menjadi satu, menjadi budaya, kebudayaan. Kebudayaan bangsa yang sejati timbul dari budi bahasa, budi bahasa timbul dari percikan keindahan. Itulah sebabnya kewajiban pujangga adalah untuk membangunkan bangsa mereka menuju perikemanusiaan sedunia.

Bagi Hamka pujangga merupakan ahli dalam “tiga keutamaan”, yakni seni/keindahan, filsafat/kebenaran, dan agama/kebaikan (2018a: 248). Dengan kata lain, pujangga merupakan seniman sekaligus filsuf sekaligus agamawan/rohaniwan. Dengan keistimewaan semacam itulah pujangga berperan sebagai agen “pembangunan budi” bagi bangsanya. Dalam Lembaga Budi Hamka berkata pula mengenai budi–mengutip sebuah pantun Melayu, “Sendi bangsa ialah budi, runtuh budi runtuhlah bangsa.” (2018b: iii)

Hamka sadar bahwa Indonesia sebenarnya kaya, baik secara kebudayaan maupun sumber daya alam (dan karena itu harusnya mudah untuk jaya), tapi bangsanya bermental lemah–inferior (Rush, 2018: 131). Untuk bisa maju, mental inilah yang mesti digugah, diperbaiki, dan dipertinggi. Salah satu caranya ialah dengan menghidupkan kultur literasi yang baik di masyarakat. “Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makan rohani yang baik,” begitu kata Hamka. Buku-buku yang baik, dari manakah ia berasal? Dari khazanah pemikiran mana saja! Termasuk hasil-hasil intelektual kreatif bangsa sendiri! Ya, bukankah mereka yang sangat kita butuhkan? Kaum intelektual kreatif! Pujangga-pujangga besar! Hamka-Hamka baru yang semakin baik!

DAFTAR PUSTAKA

Baez, Fernando. 2017. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Diterjemahkan oleh Lita Soerjadinata dan Ronny Agustinus dari Nueva historia universal de la destruccion de libros. Tangerang: Marjin Kiri

Hamka. 2018a. Kenang-Kenangan Hidup. Depok: Gema Insani

––––––. 2018b. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika

Kuru, Ahmet T. 2020. Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Diterjemahkan oleh Febri Ady Prasetyo dari Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Rush, James R. 2018. Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Diterjemahkan oleh Zia Anshor dari Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Triyana, Bonnie. 2018. Bukan Sejarawan Sekolahan. Dalam Hamka, hal. 115–124. Jakarta: Kompas

Tinggalkan balasan!