Tidak banyak yang sukses di dunia kepenulisan. Di Indonesia, berkecimpung di dunia literasi, menjadi penulis khususnya mungkin bukan pilihan hidup yang tepat, apalagi sepenuhnya menggantungkan masa depan dari pekerjaan ini. Kalau hanya berkiprah di daerah, situasinya tentu akan lebih berat. Jadi, kesuksesan beberapa penulis pesohor yang kita kenal mungkin lebih banyak ditopang keberuntungan dan nasib mujur.
Namun kesuksesan dalam dunia kepenulisan tidak selalu berkaitan dengan materi. Kata orang, “menulis adalah komitmen sekaligus perjuangan bagi literasi dan peradaban”. Kita sangat beruntung karena di setiap zaman ada saja sosok yang mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan di tengah keterbatasan. Di tengah keprihatinan hidup, mereka berjuang untuk tetap menulis dan berkarya.
Tidak dapat dipungkiri, bagaimanapun perkembangan kepenulisan dan literasi secara umum memang berkorelasi dengan situasi sosial. Secara historis, Aceh merupakan salah satu pionir pengembangan literasi di Nusantara era modern. Namun sejarah kepenulisan dan tradisi literasi yang cukup cemerlang itu perlahan redup sejak era kolonial.
Pascakemerdekaan, situasi di Aceh tidak banyak berubah akibat deraan konflik politik yang berkepanjangan. Akibatnya pembangunan mandek, lapangan kerja minim, dan roda perekonomian sulit berputar. Di sisi lain, program literasi dan pendidikan pun jalan di tempat. Dalam dinamika kehidupan yang serba sulit itu, menjadi penulis barangkali akan terdengar aneh. Tetap tidak bagi Razali Abdullah. Kondisi demikian justru memantik keberaniannya untuk mulai menulis.
“Memang hek but teumuleh nyan. Long ka lapan blah thon bak but nyoe, hana meurumpok sapeuh pih. Mungken meunyoe lon meugoe atawa meulampoh uroe jih, dum peu kaleuh tapula. Ino sepeuh pih tan” (“Menulis itu memang pekerjaan sulit. Delapan belas tahun sudah melakukan pekerjaan ini, saya tidak memperoleh apa-apa. Barang kali kalau berkebun atau bertani, bermacam tanaman mungkin sudah saya tanam. Sekarang apa pun tak punya”. Begitulah cerita Razali Abdullah seolah menyesali apa yang telah dilaluinya.
Lahir di Rancong 1967, Razali kenyang pengalaman dan telah melalui suka duka penulis. Mulai menulis sejak tahun 1989 (ketika konflik Aceh sedang membara), ia hanya bermodal semangat. Sebagai orang kampung yang tidak pernah duduk di bangku kuliah, awalnya dunia kepenulisan baginya bak hutan belantara. Jangankan komputer, kala itu, mesin ketik pun dia tak punya.
Razali tidak patah arang. Mengandalkan pulpen dan buku tulis, ia belajar autodidak tentang seluk-beluk dunia kepenulisan. Hasilnya, tidak tanggung-tanggung, puluhan buku lahir dari tangannya setiap tahun.
Masa konflik Aceh, selama bertahun-tahun, ia mengelola toko buku sekaligus agen koran dan majalah di daerah Lhokseumawe (kota yang dulunya dijuluki petrodolar). Itu sebabnya, Razali sangat akrab dengan informasi mengenai situasi politik, ekonomi, dan sosial baik pada tingkat nasional maupun lokal. Pengalamannya beberapa kali merantau ke Malaysia menambah wawasannya dalam memandang problematika yang terjadi di Aceh.
“Saat itu, saya prihatin dengan situasi Aceh. Saya merasa berkewajiban dan terdorong untuk mengingatkan generasi muda Aceh tentang sejarah, tradisi, dan budaya Aceh yang begitu hebat. Saya ingin mereka mereka memiliki benteng budaya dan perilaku islami dalam menghadapi perubahan zaman,” katanya menjelaskan motivasi awalnya mulai belajar menulis.
Penulis ini tampaknya menyukai banyak hal. Bukunya sangat beragam. Selain buku sejarah, adat dan budaya, ia juga menulis buku pelajaran, cerita, bahkan beberapa kamus. Menurut data yang diberikannya kepada saya, karyanya yang telah terbit mencapai 167 judul. Di luar itu, masih ada belasan yang lain. Sayangnya, draft buku-buku itu terpaksa “disemayamkannya” di perangkat penyimpanan laptop.
“Saya tak punya dana untuk pencetakan dan penerbitan. Stok buku lama pun sudah habis. Padahal selama ini, untuk belanja sehari-hari saja saya hanya mengandalkan hasil penjualan buku,” ungkapnya prihatin. “Sekarang semuanya serba sulit. Saya seperti mati langkah,” lanjutnya seraya berharap akan ada dukungan dari pihak lain.
Persis mukadimah di atas, saya semakin sadar bahwa berkecimpung di dunia kepenulisan bukan persoalan melahirkan karya semata. Untuk bisa mengarungi kehidupan dengan tetap produktif, para penulis dan pejuang literasi memerlukan “asupan”. Tinggalkan dulu soal pencetakan, penerbitan, dan pemasaran! Pikiran dan ide kreatif mustahil mengalir ketika asap sudah tidak mengepul lagi di dapur.
Saya paham betul maksud Pak Razali. Menyemangati dan menyampaikan dukungan moril saja tak akan cukup. Saya mengerti jika ia sedikit kecewa, tetapi yang bisa saya lakukan hanya mencoba mengarahkannya untuk menghubungi beberapa penerbit lokal; berharap mereka bermurah hati dan punya solusi. Pembaca yang ingin sumbang saran tentu dapat menuliskannya di kolom komentar.