MENCARINYA JAUH-JAUH, MENEMUKANNYA DEKAT

Santiago bermimpi tentang harta karun di piramida Mesir. Karena percaya pada mimpi, ia pun meninggalkan rumahnya di Andalusia (Spanyol) dan berkelana jauh untuk mengalami petualangan pelik penuh hikmah. Namun, sesampainya di piramida Mesir ia tak menemukan harta karun apa pun. Malah, di sana hartanya sendiri dirampok dan ia pun kena hajar. Si perampok yang diberi tahu bahwa Santiago pergi ke Mesir atas petunjuk mimpi, untuk menemukan harta karun, memberi tahunya bahwa ia juga pernah mengalami mimpi serupa. Bedanya, dalam mimpinya harta karun itu ada di Andalusia (lebih rincinya persis di gereja terbengkalai dekat rumah Santiago), dan karena tak ingin jadi orang tolol, ia tidak percaya pada mimpi semacam itu. Bagaimanapun, Santiago tetap percaya pada mimpi. Maka, ia pun pulang dan menggali tanah gereja di kampungnya itu sesuai dengan petunjuk dari mimpi si perampok. Dan betul, ia menemukan harta karun itu di sana. Harta karun itu ada di kampungnya sendiri. Setelah jauh berpetualang ternyata kebahagiaan yang ia cari letaknya sangatlah dekat dengan dirinya selama ini.

Begitulah ringkasan cerita Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Ia merupakan kiasan tentang perjalanan spiritual untuk menemukan harta karun dalam diri sendiri. Harta yang terpendam dalam hati setiap manusia dan sering kali tak disadari karena kelalaian dalam mengenali diri sebagai manusia. Di sini kita bisa mencium gagasan tasawuf yang sangat kuat.

Memang, Paulo Coelho (dalam Anonim, 2009) pernah berkata, “Sufisme telah banyak menginspirasi saya sepanjang hidup dan saya merujuk pada tradisi ini dalam beberapa buku saya seperti Sang Alkemis …. Rumi adalah figur pertama yang mencerahkan pikiran saya. Ajaran dan pandangannya sangat halus dan jernih.”

Jadi, tak heran jika alur cerita Sang Alkemis bisa mengingatkan kita pada puisi Jalaluddin Rumi tentang perjalanan spiritualnya mencari Tuhan. Misalnya puisi berikut (Bagir, 2019a: 114–115).

Salib dan umat Kristen, ujung ke ujung telah kuuji

Dia tak di salib

Kupergi ke kuil Hindu, ke Pagoda kuno

Tiada tanda apa saja di dalamnya

Menuju ke pegunungan Herat kumelangkah

Dan ke Kandahar kumemandang

Dia tak di dataran tinggi

Tak pula di dataran rendah

Kupergi ke puncak gunung Kaf yang menakjubkan

Yang ada cuma tempat tinggal burung Anqa

Kutanya pula Bu Ali Sina

Tiada jawaban, sama saja

Kupergi ke Ka’bah di Makkah

Dia tak di sana

Lalu kujenguk dalam hatiku sendiri

Di situ kulihat diri-Nya

Di situ, tak di tempat lain

Sebelum Paulo Coelho, Syeikh Hamzah Fansuri juga telah banyak terinspirasi oleh gagasan sufistik Rumi dan menulis puisi dengan gagasan serupa tentang pencarian dan keberadaan Tuhan. Terutama penggalan puisi berikut (Bagir, 2019a: 116).

Hamzah Fansuri di dalam Makkah

Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah

Dari Barus ke Qudus terlalu payah

Akhirnya dijumpa di dalam rumah

Dapat dilihat, inti gagasan-gagasan di atas sama: perjalanan jauh dan penuh perjuangan mencari Tuhan, tapi yang dicari ternyata sejak mula sangat dekat adanya. Ia ada dalam hati setiap manusia. Menunggu ditemukan dan dikenali.

Alkemi

Alkemi merupakan subjek yang kompleks dan dalam pengertian tertentu juga berselimut misteri. Pada dimensi esoteriknya alkemi berfokus pada persoalan spiritual dan berhubungan dengan astrologi, filsafat alam, serta mistisisme. Di sini alkemi bertujuan untuk menyingkap rahasia hubungan antara manusia dan alam semesta; alam di bumi dan alam di langit. Di sisi lain, pada dimensi eksoteriknya alkemi berfokus pada persoalan material dan berhubungan dengan metalurgi, farmasi, serta kimia. Di sini alkemi bertujuan mengubah logam dasar seperti timah atau tembaga menjadi emas, serta menemukan obat bagi segala macam penyakit, memudakan ketuaan, dan memanjangkan umur manusia.

Menurut Gilbert (2021) kata kunci alkemi adalah transmutasi atau pengubahan: logam dasar menjadi emas; sakit menjadi sehat; tua menjadi muda; dan wujud duniawi (natural) menjadi wujud supernatural. Bagaimanapun pengubahannya, alkemi selalu bersifat positif: kekayaan, kesehatan, dan keabadian. Dengan kata lain, alkemi adalah usaha manusia dalam proses mencari kebahagiaan yang sejati dalam hidup.

Istilah alkemi baru muncul pada abad kedua belas di Eropa, tapi akar-akar alkemi telah ada sejak beratus-ratus tahun Sebelum Masehi dan bisa ditemukan dalam banyak peradaban, seperti Mesir, Cina, India, Yunani, Arab, dan Eropa. Artinya, sejak lampau sekali manusia di mana saja selalu berkutat dengan usaha pelik menemukan kebahagiaan yang sejati, yang sering kali dikaitkan dengan kekayaan, kesehatan, dan keabadian. Dari masa ke masa sejumlah alkemis–termasuk Isaac Newton–bekerja keras memikirkan zat ajaib yang bisa serta merta mendatangkan kebahagiaan hidup bagi manusia.

Pada abad keenam belas di Eropa alkemi dianggap identik dengan urusan klenik dan secara umum dipandang sebagai penipuan, sehingga sejumlah alkemis ditangkap penguasa. Pada abad kedelapan belas secara umum aktivitas alkemis hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dalam perkumpulan rahasia. Karena revolusi sains, dimensi eksoterik alkemi kian kehilangan pamor, sementara dimensi esoteriknya menjadi titik fokus bagi berbagai ajaran kebatinan.

Alkemi Kebahagiaan

Tak lama menjelang tahun kematiannya, filsuf dan sufi besar Imam Al-Ghazali (1058–1111) menulis sebuah risalah singkat yang berjudul Kimiya’us Sa’adah, atau di Barat terkenal sebagai The Alchemy of Happiness. Bagi Sang Hujjatul Islam, kebahagiaan itu–seperti halnya iman–merupakan perkara batin, persisnya hati, sehingga upaya menemukan kebahagiaan hidup sejajar dengan upaya mengondisikan hati untuk layak menghadirkan kebahagiaan itu di dalam diri. Nah, hubungan kondisi hati dengan kebahagiaan itu berkaitan dengan perkara kodrat, sehingga terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana kodrat hati pada diri manusia. Sebagaimana kodrat mata mendapatkan kenikmatan “pada pemandangan-pemandangan yang indah”, kodrat telinga mendapatkan kenikmatan “pada suara-suara merdu”, maka “kenikmatan hati terutama ialah makrifatullah”, yaitu mengenal Allah (2020: 119). Kita sudah membahas: “kujenguk dalam hatiku sendiri, di situ kulihat diri-Nya,” kata Rumi. Dan Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Allah itu indah dan mencintai keindahan.”

Adalah fitrah bahwa manusia selalu ingin mengetahui sumber dari segala sesuatu, terutama keindahan yang diindranya. Jika sayup-sayup mendengarkan musik yang indah, kita terdorong untuk mencari tahu dari mana musik tersebut berasal dan siapa yang memainkannya. Jika samar-samar mencium aroma yang harum, kita juga tergerak untuk mencari tahu sumber aroma tersebut dan menghampirinya. Jika melihat seberkas cahaya di kejauhan dalam kegelapan yang pekat, kita juga tergerak untuk menghampiri cahaya tersebut, sekaligus mencari tahu cahaya apakah itu. Dorongan-dorongan ini berasal dari hati. Fitrahnya begitu.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” firman Allah (Q.S. Ar-Rum: 30). Karena Allah itu indah dan manusia diciptakan dari fitrah-Nya, maka manusia fitrahnya juga indah dan selalu merindukan keindahan. Nah, sumber segala keindahan adalah Allah. Maka, Dialah yang selalu dirindukan hati manusia. Konsekuensi logis dari fitrah ini: semakin kenal manusia dengan Allah, semakin bahagialah hatinya.

Kita tahu bahwa Allah memiliki nama-nama baik-Nya (asmaulhusna). Secara umum, nama-nama Allah yang banyak itu dapat dikelompokkan menjadi dua macam: jalaliyah (bersifat agung dan menggentarkan) dan jamaliyah (bersifat indah dan memesonakan). Bagir (2019b: 314) mengatakan bahwa nama-nama jamaliyah Allah seperti Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha Sabar, dan Maha Pemaaf lebih dominan ketimbang nama-nama jalaliyah Allah. Karena nama-nama baik Allah identik dengan sifat-sifat-Nya, kaum sufi kemudian memandang bahwa sifat hakiki Allah adalah cinta.

Karena Allah ada dalam hati manusia, maka sifat-sifat Allah pun menjadi sifat-sifat yang dirindukan oleh hati manusia. Kerinduan inilah yang mendorong manusia pada sifat-sifat yang indah. Kerinduan inilah yang menjadi suara hati, petunjuk, dan pembimbing bagi manusia dalam bersikap. “Berakhlaklah dengan akhlak Allah,” sabda Nabi.

Namun, sering kali kerinduan ini tak terasa oleh manusia karena kondisi hatinya yang tidak bersih. Pada titik ini, Al Ghazali bertamsil, “Hatinya bagaikan kaca, sedang perangai buruk ibarat asap dan kepekatan” (2020: 91). Perangai buruk menutupi suara hati (petunjuk bagi manusia) sebagaimana asap dan kepekatan menutupi cahaya yang hendak melewati permukaan kaca. Karena itulah dalam Matsnawi (2019: 165) Rumi berkata, “Cermin hati harus selalu dipoles sebelum kamu dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.” Jika hati dipenuhi kepekatan, suara hati jadi tertutup. Jika suara hati tertutup, manusia sulit mengenal/menerima kebenaran. Jika manusia sulit mengenal/menerima kebenaran, ia berperilaku tidak sesuai dengan fitrah, yaitu kerinduan pada keindahan. Jika manusia meninggalkan fitrah, ia sulit bahagia.

“Kunci mengenal Allah adalah mengenal diri sendiri,” kata Al-Ghazali (2020: 33). Mengenal diri sendiri berkaitan dengan mengenal hati, terutama “pasukan hati”. Menurut Al Ghazali (2020: 61) pasukan hati itu ada dua macam: (1) pasukan lahir yang berwujud nafsu dan angkara murka dan bertempat di segenap anggota badan dan (2) pasukan batin yang berwujud imajinasi, daya ingat, dan daya pikir dan bertempat di benak. Masing-masing pasukan punya kekuatan dan fungsi tertentu, tapi tujuan keduanya sama, yaitu membantu hati untuk sampai pada makrifatullah (mengenal Allah).

Nafsu dan angkara murka merupakan pelayan diri untuk urusan makan, kenyamanan, dan kawin supaya fisik (indra) manusia jadi stabil, sementara indra merupakan jaring serta mata-mata akal. Dengan indra, akal bisa mengenali ciptaan-ciptaan Allah di alam semesta; pengetahuan yang dikenali oleh indra kemudian direnungi rahasia-rahasianya oleh akal, sementara akal adalah pelayan hati, Sang Panglima. Di sini tampak hirarki pasukan hati dari yang terendah, yaitu nafsu dan angkara murka hingga yang tertinggi, yaitu akal. Kenapa hati mendapat posisi terendah? Karena ia pada dasarnya bertabiat buruk dan menjadi dimensi binatang (buas) dalam diri manusia. Karena pada dasarnya bertabiat buruk, pasukan nafsu mudah sekali membelot, mengacau, sehingga pasukan akal mesti memeranginya. Ia harus dijinakkan dan tak boleh dibunuh karena bagaimanapun pasukan nafsu punya fungsi khusus dalam diri manusia.

Perang antara akal dan nafsu (perangai buruk) inilah proses pembersihan hati. Dalam konsep tasawuf perang ini disebut mujahadah. Secara bahasa, mujahadah berarti ‘perang tanpa henti’. Pengertian ini mengindikasikan bahwa perang melawan nafsu adalah perang yang luar biasa sulit dan melelahkan. Namun, “Jika kamu merasa terusik dengan setiap gosokan, bagaimana kamu akan menjadi cermin yang bersih?” kata Rumi lagi (2019: 89).

Dalam konsep mujahadah tampak bahwa di satu sisi pasukan akal mesti dikuatkan dan di sisi lain pasukan nafsu mesti dilemahkan–setidaknya, tidak boleh lebih kuat daripada pasukan akal. Untuk mengamankan pasukan nafsu, manusia perlu berzuhud, sementara untuk memperkuat pasukan akal, manusia perlu senantiasa belajar, mencari ilmu–memberdayakan akalnya. Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu (Q.S. Al-Mujadilah: 11) dan memudahkan jalan menuju surga bagi orang-orang yang menempuh jalan untuk mencari ilmu (H.R. Muslim, no. 2699). Jadi, semakin banyak manusia belajar, semakin banyak ia memperoleh ilmu; semakin tinggi derajatnya; semakin dekat ia dengan Allah; semakin mudah ia mengenal Allah–itulah surga/kebahagiaan tiada tara.

Maka, tidak berlebihan jika Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar berkata, “Perkara yang paling penting, paling berharga, paling tinggi derajatnya, paling bernilai, merupakan benda perdagangan yang paling menguntungkan pada manusia dan menjadi penyuluh kepada jiwa yang bertauhid dan mengesakan Allah Swt., ialah ilmu.” Bagi Syekh Al-Jailani (2019: 79) ilmu itu secara umum ada empat macam: (1) ilmu syariat (perintah dan larangan agama), (2) ilmu tentang maksud di balik syariat, (3) ilmu hakikat (rahasia-rahasia kehidupan), dan (4) ilmu makrifat (pengenalan terhadap Allah), dan semuanya terkandung dalam “Al-Qur’an dengan segala tafsir, penjelasan, interpretasi, dan perumpamaan-perumpamaannya”.

Kita tahu, ilmu dalam Al-Qur’an (dengan segala tafsirnya) tidak semata beraspek syariat, tapi juga sejarah, psikologi, sosiologi, biologi, sastra–mencakup segala ilmu yang diperlukan dalam hidup. Apa pun ilmu, selama berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran, niscaya ia selaras dengan Al-Qur’an, sehingga bisa menambah pemahaman kita tentang ilmu-ilmu dalam Al-Qur’an. Sebagai firman Allah, Al-Qur’an merupakan petunjuk hidup, dan alam semesta (tempat kehidupan berlangsung) berasal dari Allah; mewakili sifat-sifat-Nya (Bagir, 2019b: 216).

Nah, perjalanan panjang Santiago dalam novel Sang Alkemis bisa dilihat juga sebagai analogi mujahadah. Kadang kita harus mengalami berbagai macam kesusahan, melakukan banyak kekonyolan, dan berkenalan dengan orang-orang bijak dalam proses mengenal harta di dalam hati kita. Untuk bisa mengenal dengan baik diri sendiri, sering kali kita juga perlu mempelajari banyak ilmu terlebih dahulu, bergulat dengan pemikiran-pemikiran dari mana saja, yang kadang membawa kita jauh “ke Barat”, dan seterusnya. Meski sering kali berat, proses ini akhirnya membawa kita pada harta yang sangatlah besar nilainya. Kekayaan hati, kesehatan hati, dan kegairahan hati–singkatnya: batin yang ringan.

Jika jelaga yang menutupi hati telah sirna, maka terasalah bahwa kebahagiaan itu sebenarnya dekat adanya. Dengan batin yang ringan, kebahagiaan mudah datang dari hal-hal sederhana. “Dalam hidup ini, justru hal-hal sederhanalah yang paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya,” kata perempuan Gipsi yang menafsirkan mimpi Santiago. Kebahagiaan karena hal-hal sederhana, mungkin itu seperti kesadaran bahwa kita masih bisa bebas bernafas dan memandang langit biru di pagi hari. Mungkin juga seperti renungan bahwa hidup manusia itu kadang lucu: kebanggaan-kebanggaan norak, kebencian-kebencian kekanak-kanakan, ambisi-ambisi ala Batman, harapan-harapan cinta seindah dongeng (atau drama Korea), dan kekonyolan-kekonyolan lain yang sulit dipahami, tapi mudah ditertawakan.

Ya, hidup itu kadang lucu, seperti kisah Santiago mencari harta karun karena mimpi. Ia mencari kebahagiaan jauh-jauh, tapi menemukannya dekat. Sangat dekat.

P.S.

Hingga 2014, buku Sang Alkemis telah diterjemahkan ke delapan puluh lebih bahasa–rekor dunia sebagai buku yang paling banyak diterjemahkan ketika penulisnya masih hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 2020. Proses Kebahagiaan. Diterjemahkan oleh Ahmad Mustofa Bisri dari Kimiyaus Sa’adah. Jakarta: Qaf

Al-Jailani, Abdul Qadir. 2019. Jalan Rahasia Para Kekasih Allah. Diterjemahkan oleh Abdul Majid Hj. Khatib dari Sirr al-Asrar fi ma Yahtaj Ilayh al-Abrar. Yogyakarta: Noktah

Anonim. 2009. Brazil’s Author Paulo Coelho Talks About His Love for Islam. Brazzil.Com. Diakses dari https://www.brazzil.com/10664-brazils-author-paulo-coelho-talks-about-his-love-for-islam/

Bagir, Haidar. 2019a. Dari Allah Menuju Allah. Jakarta: Noura Books

–––––––––––. 2019b. Semesta Cinta. Jakarta: Noura Books

Coelho, Paulo. 2015. Sang Alkemis. Diterjemahkan oleh Tanti Lesmana dari O Alquimista. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gilbert, Robert Andrew. 2021. Alchemy. Britannica.Com. Diakses dari https://www.britannica.com/topic/alchemy

Rumi, Jalaluddin. 2019. Matsnawi. Diterjemahkan oleh Satrio Wahono dan Hilman Hidayatullah Subagyo dari Masnavi i Ma’navi. Jakarta: Zaman

Tinggalkan balasan!