Etika adalah ilmu tentang nilai kebaikan (dan keburukan) dan secara umum berkaitan dengan urusan moral. Tidak seperti logika yang cenderung bersifat universal dalam menyingkap nilai kebenaran, etika sering kali bersifat relatif dalam memandang nilai kebaikan. Apa yang dinilai baik oleh sudut pandang tertentu bisa jadi bukan kebaikan bagi sudut pandang lainnya. Dengan latar masalah demikian, dalam etika kemudian muncul paham-paham seperti hedonisme (yang baik adalah yang memberikan kenikmatan), pragmatisme (yang baik adalah yang berguna secara praktis), vitalisme (yang baik adalah yang memiliki kekuatan hidup), sinisme (yang baik adalah yang sederhana), dan sebagainya. Meski tampak relatif, nilai kebaikan dianggap tetap memiliki ukuran umum, sehingga filsafat berusaha menemukan ukuran umum tersebut secara tepat.
Golden Rule
Di antara sekian banyak pemikiran tentang nilai kebaikan, yang kadang antara satu dan lainnya tampak saling bertolak belakang, terdapat satu panduan moral yang dapat diterima secara universal, yaitu golden rule. Prinsip sederhana golden rule adalah memosisikan diri kita sebagai diri orang lain. Kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita mengharapkan orang lain memperlakukan kita dengan baik. Singkatnya, golden rule menuntut seseorang untuk terhubung atau menjadi bagian dari umat manusia secara keseluruhan–tanpa pandang bulu.
Dalam contoh-contoh konkret, golden rule bisa terdapat dalam sikap menjaga kebersihan tempat umum seolah itu adalah rumah kita sendiri, merawat barang milik orang lain seakan itu barang milik kita sendiri, dan menutup aib orang lain seakan itu adalah aib kita sendiri.
Dalam sudut pandang yang lebih luas prinsip golden rule bisa diukur tidak hanya sebatas dengan diri kita sendiri, tapi juga keluarga kita. Misalnya, bagaimana jika perbuatan yang ingin kita lakukan dilakukan orang lain terhadap orang tua kita, istri kita, anak kita, saudara perempuan kita, dan seterusnya. Apakah kita bisa menerima perlakuan tersebut?
Sebagai panduan moral yang umum, golden rule dapat ditemukan dalam semua kebudayaan dan agama besar di dunia, termasuk Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam Alkitab disebutkan: “Seluruh hukum agama tersimpul dalam perintah yang satu ini, ‘Hendaklah engkau mengasihi sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.’” (Galatia 5: 14) Dalam Islam pun Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45)
Sampai di sini golden rule tampak berhubungan erat dengan empati. Dan, memang, pada titik inilah hubungan antara sastra dan etika menjadi relevan.
Membaca Sastra sebagai Pengalaman Batin
Keith Oatley, Profesor Emeritus di Departemen Pengembangan Manusia dan Psikologi Terapan, University of Toronto, selama bertahun-tahun melakukan penelitian tentang pengaruh membaca fiksi bagi perkembangan mental manusia. Dalam artikelnya yang berjudul On Truth and Fiction, ia menyatakan bahwa fiksi adalah simulasi mental atau simulasi dalam pikiran yang membuat kita “belajar bagaimana dunia sosial bekerja dari beragam sudut pandang, dalam berbagai keadaan” (2017: 265).
Serdadu yang pernah terjun langsung ke medan perang, lalu kehilangan kaki atau mengalami cacat fisik lainnya, pasti sangat tahu bagaimana sia-sianya pelaksanaan perang atau konflik antarsesama manusia. Tahanan yang hidup dalam penjara pembuangan tentu juga tahu persis bagaimana sengsaranya menjalani hari-hari dengan diperlakukan tidak manusiawi. Begitu pula pemuda yang cintanya tak direstui orang tua kekasihnya, ia pasti tahu betul betapa beratnya menanggung beban patah hati yang mengubah dunia menjadi kelengangan yang panjang dan muram.
Karena hidup ini singkat, kita tak perlu ikut perang untuk dapat menghayati bagaimana sia-sianya perang itu, dan atau menjadi tahanan, dan sebagainya. Sedikit-banyak cerita-cerita seperti dalam fiksi bisa menjadi pengalaman batin yang substitutif terhadapnya. Banyak peristiwa yang tak akan sempat kita alami langsung dalam hidup, tapi tetap bisa kita hayati, walaupun tak sama persis kadar kualitas penghayatannya, melalui cerita-cerita yang kita baca. Dari sana, kita lalu bisa mengakrabkan diri dengan konsep-konsep nilai dalam ruang lingkup kemanusiaan yang universal. Sepenting apakah perdamaian? Sepenting apakah bersikap penuh kasih? Apa itu cinta?
Dengan modal keakraban dengan konsep-konsep nilai yang universal itulah kita kemudian menghadapi berbagai macam manusia dalam kehidupan sosial, yang latar belakangnya (pengalaman-pengalaman di masa lalunya) sangat beragam dan sering kali berbeda dari kita. Pengalaman batin dan penghayatan yang diperoleh dari kisah si serdadu yang ikut perang bisa menumbuhkan sifat cinta damai dalam jiwa kita. Begitu pula kisah si tahanan dan si pemuda patah hati. Jika seseorang memiliki pengalaman (batin) dan penghayatan tentang pedihnya disiksa, ia pasti tidak akan tega menyiksa manusia lainnya secara semena-mena. Pun jika seseorang memiliki pengalaman (batin) dan penghayatan tentang pedihnya cinta tak direstui, ia pasti terdorong untuk menjadi orang tua yang tak egois di kemudian hari.
Fiksi memberi simulasi keterlibatan dalam cerita, atau setidaknya memberi kesempatan untuk membayangkan peristiwa-peristiwa dalam cerita dari jarak dekat kepada si penikmat. Artinya, pada taraf tertentu, si penikmat cerita secara tak langsung belajar memosisikan dirinya dalam kehidupan yang dijalani oleh tokoh-tokoh dalam cerita yang dibacanya; mengalami suka-duka mereka; mengeja secara intim detail-detail peristiwa yang berlangsung–singkatnya, belajar hidup dari sana. Bukankah tak sedikit kita temukan orang-orang yang menangis ketika menenggelamkan diri dalam fiksi yang sedih, sekali pun mereka tahu bahwa cerita yang mereka baca merupakan kisah yang tidak nyata?
Kata Oatley (2017: 265), “Emosi yang kita rasakan, dengan demikian, bukanlah emosi si tokoh; itu adalah emosi dari pengenalan dan empati dari diri kita sendiri dalam situasi si tokoh.”
Pengalaman batin semacam ini, jika terus diperkaya melalui kegemaran mengonsumsi cerita-cerita fiksi yang bagus, tentu berdampak positif terhadap pembentukan karakter, sehingga memperhalus budi dan mempertajam kepekaan terhadap nilai-nilai moral yang notabene berhubungan dengan sifat arif dan bijaksana dalam diri manusia.
“Memahami pikiran orang lain adalah pokok kehidupan manusia,” kata Oatley (2017: 264), “… fiksi adalah suatu alat yang dengannya kita dapat mengembangkan pemahaman kita terhadap orang lain, suatu kemampuan yang secara teknis dikenal sebagai ‘teori pikiran’ (theory of mind).” Teori ini berpijak pada hasil penelitian Raymond A. Mar The Neural Bases of Social Cognition and Story Comprehension yang menunjukkan bahwa beberapa bagian otak yang digunakan untuk memahami cerita adalah bagian-bagian otak yang juga digunakan untuk memahami orang lain (2011: 124).
Sastra dan Pesan Moral
Dalam kaitannya dengan etika, sastra biasanya sering dikaitkan dengan persoalan pesan moral atau amanat dalam cerita. Seolah dalam karya sastra, terutama fiksi prosa, hal demikian harus selalu ada dan sangat penting. Bahkan, tak jarang pula kita temukan penilaian baik atau buruknya karya sastra ditimbang berdasarkan muatan pesan moral yang terkandung dalam ceritanya. Jika sebuah karya sastra kaya akan pesan-pesan kebaikan, baik secara tersurat maupun tersirat, maka ia akan dianggap karya yang bermutu tinggi–bisa menjadi alat untuk revolusi mental! Biasanya beberapa tokoh fiktif–umumnya tokoh utama–yang dikisahkan dalam karya sastra demikian merupakan hero yang layak diteladani karakternya dalam kehidupan nyata. Mereka menunjukkan karakter yang setia kepada kejujuran, berpihak kepada kebenaran, memiliki keberanian di hadapan kebatilan, serta rela berkorban demi kepentingan orang lain. Itu semua merupakan karakter-karakter protagonis. Adapun tokoh-tokoh fiktif yang dikisahkan sebagai manusia berkarakter buruk, mereka biasanya mengalami nasib malang, atau celaka, sehingga menjadi pelajaran untuk tidak dicontoh dalam kehidupan nyata. Dalam cerita untuk anak-anak kita sering menemukan penyederhanaan karakter manusia seperti itu. Masalahnya: paradigma demikian tidak cocok jika digunakan untuk karya sastra yang ingin merefleksikan kehidupan manusia seperti apa adanya.
Dalam kehidupan nyata, kita tak jarang menemukan orang-orang jahat bernasib mujur, atau orang-orang baik bernasib sial. Memang terkesan tidak adil, tapi begitulah adanya. Lagi pula, karakter setiap manusia selalu kompleks, sekali pun ia mungkin memiliki kecenderungan tertentu pada suatu sifat. Kebaikan bisa muncul dari seorang pendosa, dan keburukan bisa dilakukan oleh seseorang yang saleh. Kita pun dalam kehidupan nyata selalu berada di antara kebaikan dan keburukan–tidak selalu lurus; tidak pula selalu menyimpang. Pada titik ini, arti penting sastra tidak lagi perlu diletakkan pada pesan moral, tapi bagaimana cerita ditampilkan secara logis dan menyenangkan. “Tidak ada yang namanya buku bermoral atau tidak bermoral. Yang ada adalah buku yang ditulis dengan baik, atau ditulis dengan buruk. Hanya itu,” kata pujangga besar Irlandia, Oscar Wilde (2006: 3).
Buku yang ditulis dengan baik berarti memiliki cerita yang logis dan disajikan dengan narasi yang enak dibaca. Cerita yang logis berarti sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dalam kenyataan. Jika ia bercerita tentang kejahatan, maka kejahatan itu direfleksikan berdasarkan kelogisan dalam realitas. Hanya dengan cerita (simulasi) yang logis dan enak dibaca saja kita bisa menerima penghayatan yang baik dari karya sastra. Dan tidaklah tepat bila cerita tentang kejahatan dianggap mengajarkan pembacanya untuk berbuat jahat. Jika kejahatan itu ditampilkan dengan logis (sekaligus dengan asumsi-asumsi yang tepat), pembaca bisa menghayati motif-motif yang berada di balik kejahatan tersebut dengan baik. Bukan untuk meniru kejahatannya, tapi untuk berempati terhadap motif-motif di balik kejahatan yang terjadi.
Internalisasi Nila-Nilai
Mengetahui (know) dan memahami (understand) adalah dua hal yang berbeda. Begitu pula memahami dan menghayati (live). Nah, arti penting nilai-nilai sastra bukan terletak pada persoalan memberi tahu, yang membuat seseorang bertambah luas wawasannya tentang jenis-jenis kebaikan dalam hidup. Bukan. Nilai kebaikan yang terkandung dalam sastra malah sering kali bukanlah pengetahuan baru. Meski demikian, sastra menjadi penting karena ia memberikan penghayatan tentang nilai-nilai tersebut. Novel Korupsi (terjemahan dari L’Homme rompu) karya Tahar Ben Jelloun tidak menjadi penting karena ia memberi tahu pembaca bahwa korupsi itu tindakan tercela. Kita tidak perlu capek-capek membaca ratusan halaman novel itu jika hanya diberi tahu bahwa korupsi itu tercela dan seharusnya tidak dilakukan. Semua orang waras tahu bahwa korupsi itu tidak baik. Alasan kenapa membaca novel Korupsi menjadi penting adalah karena ia memberi penghayatan tentang nilai-nilai antikorupsi tersebut kepada mental kita. Bagaimana korupsi bisa terjadi, situasi macam apa yang mendorong seseorang untuk korupsi, kenapa tindakan itu menjijikkan, dan kenapa ia bisa mengakibatkan efek buruk yang dahsyat dalam kehidupan sosial dan bernegara. Semua itu perlu dihayati–tidak cukup sekadar dipahami, apalagi diketahui belaka. Dan penghayatan itulah yang ditawarkan oleh sastra. Penghayatan itu harus diselami baik dalam ratusan halaman cerita berbentuk prosa maupun dalam beberapa halaman barisan-barisan kata-kata terpilih berbentuk puisi.
Sastrawan sebagai Moralis
Hubungan sastra dengan etika diperkuat oleh fakta sejarah bahwa sejumlah sastrawan juga dikenal sebagai tokoh-tokoh moralis yang sangat disegani oleh publik. Dengan kata lain, sastrawan ini identik dengan citra sosok yang agung, dan bahkan terkadang menjadi semacam manusia yang didewa-dewakan. Karisma mereka bisa menyaingi karisma pemuka agama, atau orang-orang suci lainnya yang dihormati dan dipuja-puji oleh umat. Contoh terkenalnya yaitu Dante Alighieri di Italia, Victor Hugo di Prancis, Leo Tolstoy di Rusia, serta Rabindranath Tagore di India. Mereka merupakan hati nurani publik bagi masyarakat zaman mereka. Karya-karya mereka akrab dengan nilai-nilai moral–bahkan tak jarang religius–dan mendorong manusia pada kebaikan, sehingga secara fungsi dapat dilihat sepadan dengan ceramah-ceramah pemuka agama yang memperkaya rohani manusia untuk bekal menjalani kehidupan di dunia yang fana dan penuh cobaan tak terkira. Bahkan, penerima Nobel Sastra 1923, W.B. Yeats (dalam Quinones, 2021) pun memuji karya-karya Dante sebagai “imajinasi tertinggi umat Kristen”.
Karena sastra memiliki kedekatan dengan moral, dan moral berkaitan erat dengan akhlak karimah, tidak mengherankan pula jika dalam sejarah sastra terdapat sejumlah sastrawan yang juga terkenal sebagai pemuka agama. Dalam peradaban Islam, sejumlah ulama yang juga dikenal sebagai pujangga di antaranya yaitu Syekh Al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, Syekh Hamzah Fansuri, dan Buya Hamka. Mereka menggunakan sastra untuk menyebarkan ajaran-ajaran moral (selain juga doktrin agama lainnya) dalam bingkai keislaman sebagai bagian dari dakwah fi sabilillah.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab. Diakses dari https://www.bible.com/id/bible/27/GAL.5.BIMK
Mar, Raymond A.. 2011. “The Neural Bases of Social Cognition and Stories Comprehension.” Annual Review of Psychology. Vol. 62: 103–134
Oatley, Keith. 2017. On Truth and Fiction. Dalam Cognitive Literary Science: Dialogues between Literature and Cognition, hal. 259–278. New York: Oxford University Press
Quinones, Ricardo J.. 2021. Dante. Britannica.Com. Diakses dari https://www.britannica.com/biography/Dante-Alighieri
Tuasikal, Muhammad Abduh. 2018. Hadits Arbain #13: Mencintainya Seperti Mencintai Diri Sendiri. Rumaysho.Com. Diakses dari https://rumaysho.com/18775-hadits-arbain-13-mencintainya-seperti-mencintai-diri-sendiri.html
Wilde, Oscar. 2006. The Picture of Dorian Gray. New York: Oxford University Press