Dulu, kala saya masih mahasiswa, seseorang pernah membuat saya sedih karena perkataannya: “Untuk apa kau kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia, kita kan orang Indonesia?” Saya mengerti maksudnya. Saya mengerti pula kenapa ia berkata demikian. Dan saya yakin, tidak hanya ia seorang yang berpikir demikian di luar sana. Karena itulah, ketika mengingat perkataan itu, saya sering kali merasa murung–bukan karena sedih dengan diri sendiri, melainkan karena ada (banyak) pemikiran begitu di luar sana.
Orang itu tentu beranggapan bahwa belajar bahasa Indonesia berarti belajar menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Saya sejak kecil telah mengenal bahasa Indonesia (selain bahasa daerah), dan seiring bertambahnya usia, tentu sudah semestinya saya dianggap bisa berbahasa Indonesia. Sangat masuk akal, memang. Namun–sambil merapatkan tapak tangan di depan dada saya ingin mengatakannya–masalahnya bukan itu. Masalahnya bukan seperti orang Indonesia belajar bahasa Inggris dasar. Menghafal sejumlah kosakata umum, serta mempelajari bagaimana cara menggunakannya untuk komunikasi praktis. Bukan. Bukan begitulah utamanya.
Mari kita lihat bagaimana persoalan itu tidak sesederhana orang-orang Indonesia berbahasa Indonesia sehari-hari. Saya akan menggeser masalah kebahasaan ini ke masalah pemikiran. Siapa saja tentu setuju, setiap hari kita bergelut dengan aktivitas berpikir, dengan tingkat intensitas berbeda-beda, selagi dipastikan bahwa ia tidak gila. Kita selalu dihadapkan pada berbagai masalah, dan dalam menanganinya, kita pun berpikir. Misalnya, kita bertemu orang yang menjengkelkan–dalam hidup ini memang banyak orang yang menjengkelkan, kau tahu–dan kita berpikir bagaimana cara bisa terbebas darinya (atau bagaimana cara membuatnya insaf?), dan kalau bisa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pula, tapi dengan cara yang sedapat mungkin tidak menimbulkan masalah baru, yaitu dengan tidak menyinggung perasaannya. Masalah seperti ini seringkali tidak mudah, percayalah. Karena itu, kita mesti berpikir lebih bijaksana dalam menghadapinya, sebelum benar-benar mengambil suatu sikap.
Nah, setiap hari kita berpikir. Mulai dari berpikir tentang sesuatu yang penting hingga berpikir tentang sesuatu yang receh. Mulai dari berpikir secara benar hingga berpikir secara keliru. Meski sehari-hari kita berpikir, kita tentu akan diolok-olok Rocky Gerung kalau berkata, “Untuk apa kita belajar berpikir, kita kan sehari-hari sudah banyak berpikir?”
Kita sadar, meski semua orang berpikir setiap hari, tidak semua orang menghasilkan pikiran yang sama. Sebagian orang bisa menghasilkan pikiran-pikiran yang cemerlang (lalu menjadi filsuf!), sementara sebagian lain mungkin biasa-biasa saja (atau malah, kacau). Kenapa mereka bisa berbeda (secara gamblang)? Tentu ada banyak alasan, tapi saya yakin salah satu faktor yang menentukannya adalah karena keterampilan berpikir masing-masing orang tidak sama. Jika sudah bicara soal keterampilan, tentu kita harus bicara pula soal latihan, proses pengasahan, kegigihan, pengorbanan waktu yang panjang, dan sebagainya. Artinya, masing-masing orang tidak punya pengalaman berlatih berpikir yang sama dalam hidup.
Belajar bahasa (Indonesia) pun begitu.
Ketika membaca esai Eka Kurniawan berjudul “Pembaca Kreatif”, kita bisa merenungkan bahwa kegiatan membaca tidak sama dengan mengeja (atau membunyikan) rangkaian kata, atau membaca apa yang tersurat belaka–itu pun kalau kita sungguh sudah bisa mencerna dengan baik makna tersurat sebuah kata/frasa/kalimat/paragraf/wacana. Lewat esai Eka yang lain, berjudul “Apa yang Harus Diajarkan di Kelas Menulis?”, kita juga bisa merenungkan bahwa kegiatan menulis itu tidak sama dengan merangkai kata-kata belaka, seperti menyalin tulisan lain yang sudah jadi. Kita harus bepikir. Kita perlu menyusun gagasan-gagasan kita sendiri dengan masuk akal, sehingga bisa mempertanggungjawabkannya–mempertahankan segala argumentasi yang dikandungnya. Oleh karena itu, menurut Eka, sebelum menulis “pertama-tama harus dibereskan dulu tata-cara berpikirnya [….] Pahami beberapa aspek logika. Juga pahami kelemahan-kelemahan perkakas kita. Jika kita belajar dari penulis lain, katakanlah dari Shakespeare, kita tengah mempelajari bagaimana ia berpikir, dan sadar tidak sadar, kita mencoba merumuskan sendiri pikiran kita.” (Kurniawan, 2019: 243–244)
Wittgeinstein dan Filsafat Bahasa
Pada abad ke-18, Immanuel Kant melakukan suatu palingan penting dalam ranah filsafat, yaitu Revolusi Copernican. Ia tidak lagi fokus pada persoalan ontologis, seperti apa itu kenyataan/kebenaran, tapi lebih banyak bertanya tentang persoalan epistemologis, seperti apa syarat-syarat yang kita punya untuk mengakses kenyataan/kebenaran. Ia menangguhkan urusan tujuan filsafat dan sibuk memeriksa dan mengenali jalan dan kendaraan untuk sampai ke tujuan filsafat itu.
Salah satu persoalan penting dalam ranah epistemologi yaitu bahasa. Bahasa memperantarai manusia dengan kenyataan di sekitarnya. Lebih tepatnya, manusia membaca kenyataan (dunia) dengan pikiran, dan pikiran menemukan wujudnya pada bahasa.
Pada abad ke-20 kesadaran akan peran krusial bahasa dalam ranah filsafat begitu kentara ditemukan dalam pemikiran para filsuf kontemporer, sehingga filsafat era itu secara umum dikenal sebagai filsafat bahasa. Salah satu filsuf besar yang memfokuskan diri pada persoalan bahasa dalam berfilsafat yaitu Ludwig Wittgeinstein (1889–1951).
“Keseluruhan filsafat adalah kritik terhadap bahasa,” kata Wittgeinstein (2021: 25). Maksudnya, filsafat bekerja menggunakan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi, sementara proposisi adalah gambaran (baca: makna) kenyataan. Cara berbahasa yang mengandung eror menghasilkan pertanyaan yang bermasalah dan rumusan proposisi yang tidak akurat (baca: tidak persis sama dengan apa yang ada dalam kepala perumus proposisi), sehingga gambar yang muncul dalam pikiran penerima proposisi juga mengalami distorsi. Maka, filsafat (bahasa) harus bisa mengatasi distorsi tersebut. Caranya: menganalisis cara kita berbahasa dan cara kita memandang kenyataan lewat bahasa. “Hasil filsafat bukanlah seabrek proposisi filosofis, tapi membuat jelas proposisi-proposisi,” kata Wittgeinstein (2021: 34).
Dalam pembicaraan mengenai proposisi, Wittgeinstein membedakan ‘proposisi kompleks’ dan ‘proposisi elementer’. Proposisi kompleks merupakan hasil bentukan beberapa proposisi elementer, sementara proposisi elementer terdiri dari ‘nama-nama’, dan nama menunjuk kepada suatu objek dalam kenyataan. Struktur kompleks proposisi yang menjadi cermin bagi gambar kenyataan ini dapat disepadankan dengan struktur peta kota yang menggambarkan kenyataan kota itu sendiri. Ia bukanlah semacam foto atau lukisan realisme yang menyalin kenyataan material secara detail apa adanya (Bertens, 2019: 60).
Jika suatu proposisi bermasalah, maka kita perlu memeriksa elemen-elemennya, sampai ke bagian-bagian terkecilnya, atau logika atomisnya (yang mendeskripsikan kenyataan atomis pula). “Logika memenuhi dunia: batas dunia juga merupakan batasnya,” kata Wittgenstein (2021: 86). Pernyataan “memenuhi dunia” berarti juga mencakup persoalan bahasa, sehingga “pengaplikasian logika menentukan apa proposisi elementer itu”, sementara kebenaran proposisi elementer menentukan kebenaran proposisi kompleks. Jadi, logika merupakan titik temu bagi kenyataan, pikiran, dan bahasa. Dengan kata lain, kenyataan bekerja dengan logika (hukum alam/sunatullah) yang terkandung di dalamnya; pikiran bekerja berdasarkan logika pula; dan bahasa, karena menggambarkan kenyataan dan menjadi medium bagi pikiran, tentu otomatis juga tak terlepas dari logika. Logika memenuhi dunia–terdapat dalam segala struktur.
Nah, terkait logika bahasa, Wittgenstein kemudian merumuskan teori permainan bahasa sebagai bentuk kesadaran akan beragamnya cara pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tidak selalu tampil secara deskriptif-representatif, tapi juga bisa metaforis, retoris, interogatif, imperatif, dan sebagainya. Sebagaimana setiap permainan memiliki aturan mainnya masing-masing, segala cara pemakaian bahasa juga mengimplikasikan aturan-aturan mainnya (logika berbahasa) yang khas. Beda cara pemakaian bahasa, beda pula logika permainannya. Filsafat bertugas untuk mengidentifikasi perbedaan permainan bahasa itu, sekaligus mencari tahu aturan-aturan (logika dan tatanan semantik) khas yang berlaku di dalamnya.
Makna proposisi selalu bergantung pada cara pemakaian proposisi tersebut. Dengan kata lain, logika permainannya, atau konteks yang melingkupinya, atau dimensi pragmatiknya. Dengan menjernihkan cara pemakaian bahasa, masalah-masalah filsafat dapat dirumuskan dan dijawab dengan tepat. Lebih jauh, bagi Wittgeinstein, bahkan filsafat bahasa dapat berfungsi sebagai aktivitas terapi atau pengobatan bagi keruwetan hidup manusia.
Keruwetan hidup berhubungan dengan keruwetan pikiran. Keruwetan pikiran mengindikasikan kelalaian/ketidakpekaan berbahasa. Dengan kesadaran berbahasa, kita didorong untuk menata dengan benar cara berbahasa kita terhadap kenyataan yang dipikirkan. Dengan cara berbahasa yang tertib (logis/sesuai aturan mainnya) kita pun merapikan cara berpikir kita terhadap kenyataan yang dibahasakan. Dengan cara berpikir yang rapi kita pun memandang segala permasalahan hidup dengan jernih, dan menyikapinya dengan tepat.
“Beri tahu mereka bahwa aku punya kehidupan yang indah,” kata Wittgenstein sebelum menghembuskan nafas terakhirnya pada 29 April 1951. (Bertens, 2019: 56)
Distopia dan Malcolm X
“Ini indah, penghancuran kata. Tentu yang banyak masuk kotak sampah adalah kata kerja dan kata sifat, tapi ada ratusan kata benda yang dapat dibuang juga. Tidak hanya padan-kata; ada juga lawan kata.” Begitulah kata filolog dan pakar Newspeak di Departemen Riset, Oceania, bernama Syme suatu kali kepada Winston, tokoh utama dalam novel 1984 karya George Orwell. Ia melanjutkan, “Tidakkah kamu lihat bahwa seluruh tujuan Newspeak ialah menyempitkan lingkup pemikiran? Pada akhirnya kita akan membuat kejahatan pikiran sungguh-sungguh tidak mungkin, karena tidak akan ada kata untuk mengungkapkannya. Setiap konsep yang diperlukan akan diungkapkan dengan satu kata saja, yang maknanya didefinisikan secara ketat dan kaku dan segala pengertian embel-embelnya dihapus dan dilupakan [….] Setiap tahun jumlah kata menyusut dan makin menyusut, dan lingkup kesadaran selalu dipersempit. Bahkan sekarang pun, tentunya, tidak ada dalih untuk melakukan kejahatan pikiran. Ini cuma soal disiplin diri, pengendalian realitas.”
Pembaca tahu bahwa adinegara Oceania dikuasai oleh oligarki yang berusaha melanggengkan kekuasaannya lewat pelestarian kebodohan masyarakat, dan salah satu upaya konkret itu, jika bukan yang utama, yaitu penyusunan Kamus Newspeak yang dari edisi ke edisi jumlah lemanya selalu dipangkas. Politik bahasa ini diselenggarakan secara sistematis dari waktu ke waktu. Sebagai konsekuensinya, masyarakat Oceania semakin kehilangan kemampuan untuk merumuskan pikiran mereka secara jitu, dan pikiran yang tumpul mencegah munculnya pemikiran-pemikiran subversif atau kritis terhadap pemerintah.
Jika kemiskinan kosakata cenderung membuat manusia jadi rigid dalam berpikir, kekayaan kosakata tentu sebaliknya: cenderung membuat manusia jadi lincah dalam merumuskan kenyataan. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Malcolm X lewat pengalaman intelektualnya yang kemudian ia ceritakan dalam otobiografinya sebagaimana penuturannya kepada Alex Haley.
Malcolm X mulanya dikenal dengan nama Detroit Red, seorang pimpinan bandit yang sangat terkenal di Kota New York. Akibat suatu kasus perampokan, pada 1946 ia dijebloskan ke penjara dan mendekam di sana sampai 1952. Selama di penjara, bukannya kesengsaraan horor yang ia dapati, malah dua kenikmatan besar ia alami dan sangat menentukan arah perjalanan hidupnya kemudian. Pertama, kenikmatan iman sebagai mualaf. Kedua, kenikmatan menuntut ilmu secara otodidak.
Sejak dipindahkan ke penjara Colony di Norfolk, Malcolm X mendapat akses ke perpustakaan yang koleksi bukunya luar biasa banyak, yang sebagian besarnya hasil sumbangan seorang milyuner bernama Parkhurst. Karena semua narapidana diizinkan ke sana kapan saja, Malcolm X mulai menyibukkan hari-harinya dengan buku-buku. Masalahnya, ia sering merasa kesulitan memahami kalimat yang mengandung kata-kata yang tidak ia tahu maknanya. Saat itu ia baru sadar, karena pendidikannya yang rendah–pendidikan formalnya hanya sampai kelas delapan–ada begitu banyak istilah yang tidak ia ketahui, dan itu merupakan hambatan besar baginya untuk mengetahui berbagai hal di dunia.
Lalu, ia berkenalan dengan kamus. Buku itulah yang membantunya mengenal berbagai istilah yang tidak ia tahu maknanya. Tapi, ketika berkenalan dengan kamus, ia malah semakin sadar bahwa begitu banyak kosakata yang tidak ia ketahui selama ini. Ia pun sadar, tanpa kosakata-kosakata itu ia tidak bisa memahami dengan baik isi buku-buku yang ingin ia baca. Jadi, tak ada jalan lain, ia harus menguasai kamus itu. Tapi, ia tak tahu harus mulai dari lema mana untuk mempelajarinya. Karena ingin segera mengambil tindakan nyata, ia pun memutuskan untuk menyalin kamus itu, kata perkata mulai dari halaman pertama. Ia lakukan hal itu hari demi hari, dengan penuh gairah. “Ketika kamus seri A sudah habis kupelajari, aku pun beralih ke seri B. Makin lama makin cepat aku menulis, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama aku telah mencatat ribuan kata dalam buku catatanku.” (Haley, 2002: 252)
Dengan penguasaan kosakata yang tiada tandingannya–kau tahu, ia menghafal kamus!–Malcolm X melahap berbagai buku yang ada di perpustakaan penjara dengan rakus. “Yang paling kusuka adalah buku-buku yang mengisahkan kehidupan suatu bangsa serta buku-buku sejarah.” (Haley, 2002: 252) Dalam proses belajar yang penuh ketekunan itulah ia bisa membuka lebar-lebar pikirannya, memandang dunia macam apa yang ia hadapi. Ia jadi tahu tentang usaha kulit putih untuk menguasai dunia, dan bagaimana kaum Negro menjadi korban (terutama perbudakan) atas keserakahan tersebut sejak lama. Ia juga tahu bahwa “sejak dulu peradaban kaum Negro sudah tinggi. Tetapi, […] sejarah kehebatan kaum Negro tersebut telah diputihkan oleh kulit putih.” (Haley, 2002: 263)
Keintensan membaca buku kemudian membuat Malcolm X “sadar akan ‘kebisuan, ketulian, dan kebutaan’ yang selama ini diderita oleh ras hitam.” (Haley, 2002: 261) Ia berkata, “Penyiksaan kulit putih pun terus berlanjut. Mereka menjadikan orang-orang Negro bodoh, dengan jalan tidak mengenalkan bentuk-bentuk pendidikan serta pengetahuan [….] Para budak Negro inilah yang kemudian beranggapan, bahwa nenek moyang mereka yang tinggal di Afrika, merupakan ras yang masih liar, ganas, biadab [….] Budak-budak Negro ini menerima begitu saja setiap pengajaran para agen budak, sehingga mereka bersedia diperintah untuk melakukan apa saja.” (Haley, 2002: 237)
Selepas dari penjara, Malcolm X aktif dalam usaha-usaha menentang ketidakadilan yang dialami kulit hitam di Amerika secara khusus dan di seluruh dunia secara umum. Ia mengadvokasi nasib buruk kaum Negro dan menjadi orator garang di berbagai forum, tidak hanya di jalanan-jalanan New York yang kumuh tapi juga di universitas-universitas ternama seperti Harvard dan Oxford. Dengan fasih ia terangkan persoalan-persoalan kulit hitam yang begitu menyedihkan dan menggeramkan. Ceramah dan wawancaranya semakin sering tampil di televisi dan radio, membuat namanya tersohor di mana-mana, sementara FBI mengawasi aktivitas-aktivitasnya secara diam-diam. Berkat ketenarannya yang menggemparkan, ia pun menjadi suara global melawan rasisme dan simbol bagi pembebasan kulit hitam di seluruh dunia.
Bagi Malcolm X, kesengsaraan kaum Negro berkaitan dengan ketidaksadaran kaum Negro akan pentingnya pendidikan, sementara arti penting pendidikan tidak terlepas dari kesadaran berbahasa. Ia tegaskan, “tidak peduli apakah aku sedang berada di atas kapal terbang, kapal laut, aku selalu menghabiskan banyak buku, karena seperti yang telah kukatakan kepada salah seorang pengarang Inggris, buku-buku adalah almamaterku. Aku membaca demi memuaskan rasa ingin tahuku terhadap perjuangan ras hitam melawan dominasi ras putih.” (Haley, 2002: 262)
Pendidikan, buku, dan bahasa merupakan tiga hal yang tidak bisa dipisahkan, yang kualitas masing-masingnya saling menunjang, dan sebagai satu kesatuan merupakan kekuatan luar biasa guna menghadapi kezaliman yang lazimnya beroperasi di atas kebodohan masyarakat. “Sekarang aku yakin bahwa dengan penguasaan kosakata yang makin banyak, aku akan bisa memahami apa pun yang tertulis di buku. Dan sebuah dunia baru akan terbuka di hadapan seseorang jika ia selesai membaca gagasan besar,” kata Malcolm X di tulisannya Coming to an Awareness of Language. (Laksana, 2021: 196)
Di sini kita kenang lagi Wittgeinstein yang menyatakan proposisi masyhur dalam Tractatus Logico-Philosophicus, “Batas bahasaku berarti batas duniaku.” (2021: 86)
REFERENSI
Bertens, K.. 2019. Filsafat Barat Kontemporer Jilid I: Inggris & Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haley, Alex. 2002. Malcolm X, Sebuah Otobiografi (Sebagaimana Penuturannya kepada Alex Haley). Diterjemahkan oleh Zoya Herawati dari The Autobiography of MALCOLM X; As Told to Alex Haley. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Kurniawan, Eka. 2019. Senyap yang Lebih Nyaring. Yogyakarta: Circa.
Laksana, A.S.. 2019. Creative Writing. Tangerang Selatan: Banana.
Martin Suryajaya. 2020. Palingan Bahasa dalam Filsafat Kontinental dan Analitik. Youtube.Com. https://www.youtube.com/watch?v=TVWmutbwAks
Martin Suryajaya. 2020. Wittgeinstein: Filsafat sebagai Terapi. Youtube.Com. https://www.youtube.com/watch?v=MZUIx8jRD_Y
Orwell, George. 2016. 1984. Diterjemahkan oleh Landung Simatupang dari Nineteen Eighty-Four. Yogyakarta: Bentang.
Wittgeinstein, Ludwig. 2021. Tractatus Logico-Philosophicus. Diterjemahkan oleh C.K. Ogden dari Logisch-Philosophische Abhandlung. Pattern Books Radical Reprints.