nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b’rani bangkit sekarang ke laut kita beramai-ramai
Demikian alunan lagu karangan ibu Sud itu terdengar dari sebuah TK sebelah rumah pada suatu pagi yang cerah. TK itu menjadi tempat Ayunia, seorang balita cantik belajar mengenal huruf dan angka. Mendengarnya membuat pikiran saya terbawa pada sebuah teori migrasi sekelompok masyarakat pada masa lalu. Penjelajahan saya di dunia maya pun dimulai. Semakin dicari semakin banyak ditemukan penjelasan mengenai nenek moyang kita yang pelaut itu. Kira-kira seperti inilah penjelasan itu semua.
Memang nenek moyang kita dikenal sebagai pelaut hebat. Masa kerajaan-kerajaan di Indonesia masih ada, kegiatan berlayar sudah umum dilakukan. Lihat saja jenis perahu suku Bugis yang dikenal dengan nama phinisi, atau salah satu relif pada candi Borobudur yang menggambarkan perahu. Selain itu, letak dan kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan membuat transportasi laut menjadi lebih umum digunakan.
Jauh sebelumnya, kemampuan berlayar telah dimiliki nenek moyang kita sebelum kerajaan-kerajaan itu berdiri. Sebuah teori yang bernama Out of Taiwan sebagai penyebabnya. Lantas muncul pertanyaan, apa hubungan lagu ‘Nenek Moyangku’ dengan teori ‘Out of Taiwan’?
Menurut teori ini, penduduk Taiwan melakukan migrasi ke berbagai tempat pada zaman dulu termasuk ke nusantara. Taiwan sendiri terdiri dari belasan suku. Setidaknya terdapat enam belas suku yang diakui pemerintah Taiwan. Keenambelas suku itu adalah Amis, Atayal, Bunun, Hlaalua, Kanakanvu, Kavalan, Paiwan, Puyuma, Rukai, Sediq, Saisiyat, Sakizaya, Thao, Truku, Tsou, dan Yami (Tou). Migrasi yang dilakukan suku-suku itu terjadi pada zaman es. Masa itu laut masih dangkal. Dengan demikian, jalur laut menjadi pilihan untuk bermigrasi dibandingkan jalur darat. Hasilnya mereka dapat berlayar kema-mana. Tak heran jika mereka dapat mendiami pulau-pulau di nusantara.
Diperkirakan mereka datang dari Taiwan melalui Filipina sekitar tahun 4.500–3.000 SM. Kemudian sekitar tahun 3.200–2.000 SM mereka bermigrasi melalui Sulawesi. Dari Sulawesi ini alur persebaran terpecah menjadi dua dan menyebar ke berbagai pelosok nusantara. Alur Barat ke Kalimantan terus ke Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur sedangkan alur Timur dari Sulawesi ke Indonesia Timur.
Migrasi yang dilakukan para penutur Austronesia ini membawa serta budaya mereka ke daerah tujuan. Misalnya saja budaya maritim yang menjadikan nenek moyang kita pelaut ulung. Selain budaya maritim terdapat warisan lainnya yang dibawa seperti bercocok tanam (padi, jawawut, tebu, ubi, dan keladi raksasa), domestikasi ternak (babi, anjing, ayam), teknologi perkapalan, pembuatan gerabah, perhiasan dari kerang, menenun, dan makan sirih.
Kajian linguistik, arkeologi, dan penelitian DNA yang dilakukan para sarjana Taiwan dan asing menunjukkan bahwa Taiwan merupakan asal usul masyarakat yang mendiami nusantara. Tidak hanya nusantara namun sampai ke Pulau Paskah di Timur, Madagaskar di Barat, dan Selandia Baru di Selatan. Seperti pendapat Peter Bellwood seorang arkeologis asal Australia yang mengajukan teori Out of Taiwan mendalilkan bahwa Taiwan merupakan daerah asal penduduk kepulauan Pasifik sekarang. Hal ini didasari dari penanggalan karbon pada benda-benda yang digunakan oleh bangsa Austronesia seperti tembikar, kapak, lingkaran putaran dll. Kata Austronesia terdiri dari kata Austro dan nesia. Kata Austro berasal dari bahasa Latin Australis yang berarti ‘selatan’ sedangkan kata nesia yang berarti ‘banyak pulau’ berasal dari bahasa Yunani nesos yang berarti ‘pulau’. Jadi Austronesia merujuk pada wilayah di kepulauan selatan yang mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Itulah sebabnya bahasa yang dituturkan suku bangsa di daerah tersebut masuk ke dalam rumpun Austronesia. Artefak tertua itu ditemukan di Taiwan yang juga ditemukan di Filipina, Indonesia, dan Oseania. Berdasarkan genom, Sangkot Marzuki seorang pakar genom dari Lembaga Eijkman mangatakan bahwa terdapat keterkaitan genetik pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara hingga ke Pasifik bagian Utara.
Ditemukan kesamaan linguistik di antara masyarakat di kepulauan nusantara dengan bahasa yang dituturkan di Taiwan. Kata ‘mata‘ dalam bahasa Melayu disebut ‘mata’ dan dalam bahasa suku Amis Taiwan juga ‘mata’. Kosakata angka satu sampai sepuluh pada beberapa suku di Taiwan juga memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Misalnya kata satu sampai sepuluh pada bahasa Amis: sicey, tosa, tolo, sepat, lima, enem, pito, valo, siwa, dan poloh. Bahasa suku Atayal: kingan, taha, telo, sepat, lima, matalu, putu, masepat, mengali, maksen. Demikian juga pada bahasa suku Paiwan yang menyebut: ita, dusa, chelu, sepat, lima, unem, picu, alu, siva, puluk.
Sebuah foto perahu kayu yang diambil Brian Loo Soon Hua dari Oxford memperlihatkan penggunaan lambung ganda. Bagian atas lambung itu terdapat ruangan. Menurut Brian ruangan itu untuk tempat tinggal atau menyimpan makhluk hidup seperti ayam. Keluarga yang berlayar itu bisa sampai berminggu bahkan berbulan-bulan di laut untuk sampai pada tempat yang jauh. Berdasarkan bentuk perahu itu dapat disimpulkan bahwa mereka sudah memiliki kemampuan mendomestikasi ayam sebagai hewan ternak. Kedua, perahu mereka memiliki keterampilan dalam mendesain perahu sedemikian rupa agar mampu mencapai tempat yang jauh. Ketiga, mereka memiliki keterampilan dalam berlayar di laut luas.
Bidang pertanian juga memperlihatkan adanya kesamaan pola sawah bertingkat pada tanaman padi. Sawah bertingkat atau terasering ini banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia bahkan juga di luar negeri. Banyak terasering ini menjadi terkenal kerena memiliki pemandangan yang cantik. Misalnya terasering di Trenggalek di Jawa Timur, di Bali juga ada terasering Tegalalang di daerah Ubud dan Jatiluwih Bali. Terasering di Tana Toraja juga ada dan di Nusa Tenggara ada terasering Detusoko di desa Wolofeo. Terasering juga ditemukan di Chiang Mai Thailand, Sa Pa di Vietnam, dan Banuae di Filipina.
Salah satu tradisi budaya yang dijalankan salah suku di Taiwan memiliki kemiripan dengan tradisi yang dimiliki suku-suku di Indonesia. Misalnya kebiasaan memenggal kepala yang menjadi tradisi suku Atayal di Taiwan. Biasanya kepala yang dipenggal adalah kepala musuh. Tradisi ini dilakukan sebagai bukti kejantanan seorang pria agar dapat menikahi wanita suku Atayal. Tidak heran jika suku ini disebut headhunters atau pemburu kepala. Tradisi yang sama juga ditemukan di Kalimantan. Suku dayak yang mendiami pulau itu memiliki kebiasaan memenggal kepala sebagai bukti kejantanan seorang laki-laki dayak. Tedapat istilah mengayau dalam dalam bahasa dayak Iban dan Kenyah yang berarti memenggal kepala. Citra pemburu kepala ini semakin populer setelah Carl Bock, menulis The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1882. Tradisi memenggal kepala ini tidak hanya ditemukan pada suku-suku Indonesia saja suku-suku di luar negeri juga ada. Misalnya, pada Suku Naga di India dan suku Koyak di perbatasan India-Myanmar.
Paparan di atas menunjukkan banyaknya persamaan di berbagai bidang pada suku-suku yang tersebar di wilayah Austornesia. Persamaan itu tentu saja berasal dari warisan kelompok suku yang sama. Benarlah kiranya bahwa kelompok suku yang bermigrasi akan membawa serta budaya mereka ke daerah tujuan.
Dua jam kemudian, terlihat Ayunia keluar dari TK bersama seorang wanita yang sejak tadi menunggunya. ‘Bunda!’ teriaknya pada wanita itu. Sambil setengah berlari dia benyanyi riang ‘Nenek moyangku seorang pelaut…’ (Disarikan dari berbagai sumber).
Penulis:
Muhammad Toha, S.S., M.Si.
Pengkaji Bahasa dan Sastra
Balai Bahasa Provinsi Aceh