Putri biru menatap sepatu birunya dengan sendu. Sepatunya sudah menganga di sebelah kiri. Sepatu itu sudah sangat sering dipakainya bepergian selama dua tahun. Putri Biru bingung, sepatu apa yang akan dipakainya untuk datang ke pesta di istana Kerajaan Ceria nanti malam. Ia tidak mempunyai sepatu lain. Sepatunya hanya satu. Putri Biru belum mempunyai uang untuk membeli sepatu baru. Ia meminjam uang kepada ayah dan ibunya juga belum bisa saat ini. Paman Kiko, ayahnya petani jeruk dan sekarang musim panen belum tiba sehingga ayahnya juga belum mempunyai uang. Ibunya, Bibi Pimi, koki di istana, penghasilannya bulan ini juga sudah habis untuk memperbaiki genteng rumah.
“Ibu, aku tidak usah datang saja ya ke pesta di istana. Aku malu. Sepatuku menganga seperti ini,” ujar Putri Biru kepada ibunya. Ia menunjukkan sepatu itu kepada ibunya.
“Kamu harus datang ke pesta itu. Raja dan Ratu sudah menyiapkan pesta itu sejak seminggu yang lalu untuk seluruh masyarakat Kerajaan Ceria dan tamu-tamu dari kerajaan lain,”
Bibi Pimi ikut prihatin melihat kondisi sepatu Putri Biru. Namun, ia juga tidak dapat membantu untuk membelikan sepatu baru karena uangnya sudah habis untuk merenovasi rumah. Bahkan uang untuk merenovasi rumah belum cukup. Masih banyak bagian rumah yang harus direnovasi. Keran air dan wastafel bocor sehingga dapur harus direnovasi. Lantai rumah pun banyak yang sudah retak ubinnya.
“Sepatumu dijahit saja ya,” kata Paman Kiko. Kemudian ia mengambil jarum dan benang untuk menjahit sepatu.
Putri Biru menyerahkan sepatu birunya kepada ayahnya. Paman Kiko segera menjahit sepatu putrinya. Setelah sepatu itu selesai dijahit, diserahkannya sepatu itu kepada Putri Biru.
“Ini sepatumu sudah selesai Ayah jahit,”
Putri Biru dan Bibi Pimi tersenyum lebar melihat sepatu yang sudah diperbaiki Paman Kiko dengan cara menjahitnya.
“Ayah, mengapa sepatunya menjadi seperti ini?” Putri Biru mengacungkan sepatu yang sudah dijahit oleh Paman Kiko. Jahitannya terlalu besar dan tidak rapi. Benangnya tampak menyembul dari luar sepatu. Sepatu itu menjadi tampak berantakan.
“Aku tidak mau memakai sepatu itu,” Putri Biru tersenyum malu melihat kondisi sepatunya sekarang. Ia meletakkan sepatunya di sudut ruangan.
“Ayah, Ibu, aku harus membeli sepatu baru, tetapi aku tidak mempunyai uang,”
Tiba-tiba saja Bibi Pimi tersenyum. Paman Kiko dan Putri Biru memandang ke arahnya. Bibi Pimi masuk ke dalam ruang tengah. Ia kembali lagi dengan membawa benang rajut berwarna biru dan jarum rajut. Ia juga membawa dua pasang tapak sepatu yang pernah dibuat oleh Paman Kiko
“Tunggulah sebentar! Mudah-mudahan sebentar lagi akan ada sepasang sepatu baru yang cantik,”
Bibi Pimi mulai menggerakkan jari jemarinya. Ia menjalin dan mengaitkan benang rajut dengan menggunakan jarum rajut di tapak sepatu. Tidak lama kemudian jadilah sepasangsepatu baru.
“Hmmmm, cantiknya,” Putri Biru memandang dengan takjub sepatu yang sudah dibuat oleh ibunya.
Malam harinya Putri Biru bersama Paman Kiko, Bibi Pimi, dan empat orang adik laki-lakinya datang ke pesta yang diadakan di istana.
“Cantik sekali sepatumu,” banyak tamu di pesta yang memuji sepatu yang dipakai Putri Biru.
“Aku ingin memesan sepatu seperti ini,” Putri Oren dan Putri Coklat dari Kerajaan seberang juga ingin memiliki sepatu seperti yang dipakai Putri Biru dengan model dan warna yang berbeda. Selain Putri Oren dan Putri Coklat, banyak orang lainnya yang ingin memesan sepatu. Ratu juga memesan sepatu untuknya dan seluruh penghuni istana.
“Ayah, Ibu, bagaimana jika kita menerima pesanan mereka?” tanya Putri Biru kepada ayah dan ibunya.
“Boleh saja,” sahut Paman Kiko dan Bibi Pimi.
Putri Biru beserta Paman Kiko dan Bibi Pimi tersenyum senang. Mereka menerima banyak pesanan sepatu. Semoga rumah mereka dapat segera direnovasi secepatnya.