grayscale photo of a tabby cat
Ilustrasi Kucing oleh Roni Mbunt di Pexels.com

         Aku merenggangkan kedua tanganku. Setengah hari ini aku mengiris tempe, pisang, ubi, dan tahu serta menggorengnya. Jumlahnya beribu-ribu potong. Aku harus bekerja dengan cepat. Pembeli terus berdatangan.


          Aku bekerja di suatu usaha gorengan yang laris manis. Aku bekerja hingga pukul dua belas siang. Sore hari aku belajar Siang hingga sore dan malam ada pekerja lainnya yang bekerja sesuai dengan jadwalnya masing-masing. Upahku lima puluh ribu rupiah per hari. Dua puluh ribu rupiah aku sisihkan untuk membayar sewa rumah setiap bulannya. Dua puluh ribu rupiah untuk makan siang dan makan malamku. Pagi biasanya aku hanya makan roti atau kue seharga lima ribu rupiah. Lumayanlah untuk mengenyangkan perutku. Lima ribu rupiah aku gunakan untuk keperluan lainnya. Sebelum aku pulang ke rumah kontrakan yang jaraknya seratus lima puluh meter dari tempatku bekerja, seperti biasanya aku mampir di rumah makan untuk membeli nasi bungkus.


          “Apa lauknya?” tanya Bang Farid, si pemilik rumah makan yang kadang ikut langsung melayani pembeli.


          “Tempe, telur dadar, dan sayur kacang panjang tahu. Sayurnya dipisah,” ujarku.

          “Meong…meow…meong…,”


          Aku merasakan ada yang menggesel-geselkan kepala dan tubuhnya di kakiku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah bawah. Aku melihat seekor kucing bertubuh kurus. Tulang-tulang iganya yang menonjol  terlihat dari balik kulit tubuhnya.


          Ia menatapku sendu. Matanya belekan. Telinganya kotor. Bulunya yang berwarna oren tampak kusam. Beberapa bagian tubuhnya terlihat tanpa bulu.


          “Pergi ke sana! Cari saja makanan di tong sampah!” aku berkata ketus dan kasar.


          Kucing itu menundukkan kepalanya. Mungkin ia juga mengetahui bahwa aku menghardiknya. Mungkin ia juga mengetahui aku tidak mau membagi makananku untuknya. Ia membalikkan tubuhnya. Kemudian ia berjalan pelan, pergi meninggalkanku.


          Aku melihat ia berjalan dengan susah payah. Perutnya tampak sedemikian tipisnya, terlihat ia seperti sudah lama berada dalam kondisi kelaparan. Biarlah, di tong sampah ada sisa-sisa makanan.  Walaupun makanan sisa, makanan basi, tulang-tulang ikan, itu aku rasa sudah dapat mengganjal perutnya. Kalau ia sakit perut, gigi dan tenggorokannya tersangkut tulang ikan atau daging, apa peduliku.


          Setelah aku membayar uang nasi bungkus yang tadi aku pesan, aku pun berjalan pulang. Ketika aku membuka pintu pagar rumah kontrakan, aku mendengar suara itu lagi.


          “Meong…meong…meong,” lagi-lagi suara kucing itu.


          Ya ampun, dia mengikutiku sampai ke rumah kontrakan. Padahal untuk berjalan saja ia kepayahan. Sampai sebegininya usahanya untuk memohon belas kasihan dari diriku, untuk meminta makan dariku. Aku mencuci tanganku. Aku hendak menyantap makan siangku di teras rumah kontrakan yang sejuk karena banyak pohon rindang yang ditanam oleh pemilik rumah kontrakan.


          Aku melihat kucing kurus dan dekil itu masih meringkuk di sudut pintu pagar di bawah pohon rambutan rindang. Ia tidak berani menghampiriku hingga sampai di teras. Mungkin ia takut mendapat hardikan lagi dariku.


          Ia masih terus memandangiku dari kejauhan. Muncul juga iba di hatiku. Bagaimana jika aku berada di posisinya. Dia menjadi aku. Aku menjadi dia. Tidak dapat kubayangkan hardikan itu akan membuat diriku sedih.


          Aku mengambil nasi dan sedikit tempe dan telur dadar yang aku letakkan di daun pisang yang aku ambil dari halaman belakang rumah kontrakan. Aku juga mengambil satu gelas air mineral yang aku buang tutupnya. Ia berlari-lari kecil ke arahku. Seolah ia mengetahui ada makanan yang akan kuberikan kepadanya. Ia bagai melupakan tubuh ringkihnya yang kesusahan untuk berjalan.


          Aku memberikan makan itu untuknya. Ia makan dengan lahap. Begitu lahapnya. Sebentar saja makanan itu habis tandas tak bersisa.


          “Meong…,”


          Ia memandangiku. Ia menggesel-geselkan tubuhnya di kakiku. Tatapan matanya tampak berbinar.



Nurhaida, Banda Aceh, Juni 2022

Tentang penulis

Tinggalkan balasan!