Musisi Indonesia dalam Bayang-Bayang Kahlil Gibran

Semua kata-kata kita tidak lain hanyalah puing yang jatuh dari pesta pikiran.

–Kahlil Gibran, Pasir & Buih


Potret Ariel Noah
Ariel (Youtube/Musica Studios)


Apakah kamu familiar dengan nama Gibran? Mungkin nama itu mengingatkanmu pada anak presiden kita, yang juga menjabat sebagai wali kota. Atau, mungkin kamu punya kawan yang juga bernama sama, dengan variasi nama lengkap berbagai macam. Mengingat nama itu tidak khas nama orang Indonesia (entah itu Jawa, Batak, Dayak, Bugis, Papua, Aceh, dan seterusnya), tidaklah berlebihan jika kita menduga bahwa nama itu tampaknya dipopulerkan oleh pujangga Lebanon, Kahlil Gibran.


Gibran meninggal pada 1931 dalam usia 48 tahun, tapi karyanya baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk pertama kali pada 1949 oleh Bahrum Rangkuti. Pada pertengahan 1950-an Kahlil Gibran sudah mulai ramai diperbincangkan di Indonesia. Lalu pada 1970-an, menurut cerita Eka Budianta, anak-anak Indonesia sudah banyak diberi nama Gibran oleh orang tuanya. Fenomena itu tak terlepas dari popularitas Kahlil Gibran yang memang sedang banyak digandrungi masyarakat Indonesia kala itu. Bahkan, sebuah penerbit di Yogyakarta pada awal 1980-an pernah dikabarkan menjadi kaya raya setelah menerbitkan semua karya Kahlil Gibran dalam format ukuran saku. Lalu, pada 1990-an sampai awal 2000-an, menurut pantauan penerjemah kondang Anton Kurnia, buku-buku Kahlil Gibran dalam terjemahan Indonesia “merajai daftar buku laris di negeri ini”. Dengan tren secemerlang itu, karya-karya Kahlil Gibran menjadi salah satu karya penulis asing yang paling banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia.


Maraknya sebuah nama gara-gara ketenaran seorang sastrawan seperti Kahlil Gibran di Indonesia dapat disandingkan dengan fenomena banyaknya orang yang bernama Iqbal karena sosok sastrawan besar Pakistan, Muhammad Iqbal (1877–1938); dan Rizal karena sosok sastrawan besar sekaligus bapak bangsa Filipina, Jose Rizal (1861–1896).


Nah, karena Kahlil Gibran utamanya dikenal sebagai pujangga hebat di Indonesia, tentu pengaruh besarnya dalam peradaban bangsa Indonesia terutama juga lebih banyak terdapat dalam ranah sastra. Tak diketahui pasti seberapa banyak sastrawan Indonesia yang berutang inspirasi pada Gibran, tapi setidaknya Sapardi Djoko Damono adalah satu di antaranya. Selain dikenal luas sebagai sastrawan dan akademisi sastra, Sapardi juga terhitung sebagai penerjemah yang ikut santer membumikan karya-karya Kahlil Gibran dalam hati masyarakat Indonesia. Gaya menulis puisi Sapardi pun bisa dibilang banyak dibayangi oleh puisi-puisi Kahlil Gibran, sampai-sampai puisi Sapardi berjudul Aku Ingin pernah disangka banyak orang sebagai karya Kahlil Gibran.


Lebih jauh, popularitas karya-karya Kahlil Gibran juga dinilai berjasa besar menumbuhkan rasa cinta publik Indonesia terhadap karya sastra. Mantan Manajer Sekretariat Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Aristia Kusuma pernah berujar, “Karya-karya Gibran yang indah membuat orang jadi cinta pada kesusasteraan. Bangsa Indonesia mencintai sastera Indonesia setelah membaca karya-karya Kahlil Gibran yang muncul dalam bahasa kita sendiri.”


Pernyataan tersebut barangkali terdengar eksesif, tapi bagi saya pribadi ia cukup bisa dipahami. Pertama kali saya gemar membaca buku sastra (kemudian buku-buku kategori lain) juga gara-gara karya Kahlil Gibran, yakni novel pendek berjudul Sayap-Sayap Patah (terjemahan Sapardi Djoko Damono). Saya membacanya beberapa bulan setelah tamat SMA, dan sebelumnya saya benar-benar tak pernah punya minat penuh gairah pada aktivitas membaca–meski di mana-mana saya sudah begitu sering mendengar bahwa membaca itu sangat penting.


Novel Sayap Sayap Patah
Novel Sayap-Sayap Patah terjemahan bahasa Indonesia


Saat itu, kesan paling kuat yang saya dapat setelah membaca karya Gibran ialah bahwa tulisan/bahasa ternyata bisa begitu memukau dan menyenangkan–dalam kata lain: tidak semenjemukan buku-buku teks yang wajib dibaca semasa di sekolah. Saya tak pernah berpikir bahwa buku ternyata bisa memberi pengalaman indah semacam itu, terutama bagi saya yang tumbuh dalam lingkungan (keluarga dan pergaulan) yang tidak akrab dengan buku. Inilah alasan kenapa pernyataan Aristia Kusuma tadi penting dikutip di sini. Bagi saya, wajar sekali jika banyak juga orang lain di Indonesia yang tersihir ketika (iseng) membaca tulisan Gibran, lalu ingin pula mencari kenikmatan serupa pada karya-karya sastra lainnya.


Karena bagi saya ‘perjumpaan’ dengan Gibran itu sangat penting, maka saya harus berterima kasih pada Ariel. Dari dialah saya mengenal Kahlil Gibran pertama kali. Saat itu, seperti kebanyakan remaja lainnya di Indonesia, saya begitu sering mendengar lagu-lagu Noah (atau dulunya bernama Peterpan). Kau tahu, lagu mereka banyak diputar di mana-mana. Karena Noah sudah menjadi begitu fenomenal di seluruh persada tanah air, segala tentang mereka pun, terutama Ariel selaku frontman, juga menjadi menarik untuk diperhatikan. Dan suatu hari saya dapat informasi bahwa Ariel mengidolakan Kahlil Gibran, pujangga asal Lebanon yang disebut-sebut sebagai salah satu penyair Arab terbesar sepanjang sejarah. Di situlah saya jadi penasaran pada Gibran, lalu tertarik untuk mencoba membaca (terjemahan) karyanya.


Ariel dan Kahlil Gibran

Perjumpaan Ariel dengan Kahlil Gibran terjadi secara tidak sengaja. Semasa SMA Ariel menemukan kebanyakan kawan-kawan sebayanya membaca novel, sementara ia sendiri menggemari komik. Maka, tiba-tiba ia ingin membaca buku yang “lebih serius”. Ia pergi ke Gramedia dan menemukan buku Kahlil Gibran berjudul Cinta, Keindahan, Kematian. “Terus terang, judul buku itu yang membuat saya membelinya,” kata Ariel dalam Kisah Lainnya. Ia pikir buku itu sebuah novel, ternyata tidak. “Saya melakukan kebodohan, tetapi saya menyukainya. Hampir setiap hari saya membaca buku itu, berulang kali, bahkan dalam perjalanan ke sekolah.”


Sejak itu Ariel terpesona oleh gaya bahasa Kahlil Gibran dan ingin pula pandai merangkai kata-kata sekeren itu. Maka, ia mulai suka menulis puisi, kadang memajangnya di mading sekolah, dan dengan segera teman-temannya tahu bahwa Ariel jago menulis puisi. Berkat kemampuan menulis puisi, Ariel semakin leluasa menulis lirik lagu ketika ia melanjutkan hobi bermusik yang telah ia giati sejak SMP. Karena ia sangat mengagumi tulisan-tulisan Kahlil Gibran, dan tak membaca karya-karya pujangga lainnya kemudian, Ariel mengaku bahwa pengaruh Kahlil Gibran dalam lirik-lirik lagu ciptaannya memang bisa dibilang sangat besar.


Bahkan, tak hanya dalam urusan menulis lirik lagu, tulisan Kahlil Gibran juga telah mempengaruhi sejumlah pandangan hidup Ariel semasa remaja. Misalnya ketika ia dilarang ayahnya untuk menjadi anak band. Kala itu ia tetap kekeh memperjuangkan masa depannya di bidang musik secara diam-diam. Ia menghormati ayahnya, tapi ia meyakini bahwa jalan hidupnya adalah tanggung jawab dirinya sendiri. Di sini ia dibayang-bayangi oleh puisi Kahlil Gibran tentang anak dalam buku Sang Nabi. “Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan. Mereka datang melaluimu, tapi tidak berasal darimu. Walaupun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu. Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu, karena mereka memiliki pikiran sendiri. Kau boleh merumahi tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka, karena jiwa-jiwa mereka akan melesat ke rumah masa depan yang tak akan dapat kau kunjungi, bahkan dalam mimpi sekalipun. Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan membuat mereka menjadi sepertimu, karena hidup tidak berjalan mundur, tak juga terpaut dengan masa lalu.”


Ahmad Dhani dan Kahlil Gibran

Belakangan saya juga tahu bahwa ternyata musisi besar Indonesia lainnya juga akrab dengan karya-karya Kahlil Gibran. Ia adalah Ahmad Dhani, frontman band Dewa 19, Ahmad Band, The Rock, Triad, dan Mahadewa–kibordis, gitaris, vokalis, penulis lirik, komposer, dan produser. Kita tak perlu lagi memperdebatkan kepiawaiannya dalam bermusik. Ia adalah juaranya dalam sejarah permusikan Indonesia. Nah, mantapnya, di samping musiknya bagus-bagus, lirik-lirik lagu karangan Dhani juga tidak bisa dianggap ecek-ecek. Kadang ia memanfaatkan permainan kata, tapi tak jarang pula ia  meramu kata-kata menjadi baris-baris yang puitis. Lirik-lirik cantik ini tampak begitu kental pada album Bintang Lima yang dirilis pada 2000 dan merupakan album tersukses Dewa sepanjang karir. Lagu Roman Picisan, Dua Sejoli, Risalah Hati, Lagu Cinta, dan Sayap-Sayap Patah adalah lagu-lagu berlirik puitis yang menjadi hit dari album ini.


Kover album Bintang Lima
Kover album Bintang Lima (Youtube/Dewa 19)

Bagi penggemar Kahlil Gibran, album Bintang Lima dapat segera dideteksi punya bau-bau karya Gibran dalam kadar tertentu. Indikasi paling mencolok dapat ditemukan pada lagu Sayap-Sayap Patah. Judul lagu ini jelas diambil secara utuh dari judul salah satu novel terjemahan Kahlil Gibran yang aslinya berjudul Al-’Ajnihah Al-Mutakassirah.


Novel Sayap-Sayap Patah adalah kisah cinta otobiografis Gibran yang berakhir memilukan. Gibran dan Selma Karamy adalah dua sejoli yang saling mencintai. Cinta mereka suci dan sejati, tapi nasib tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk bersatu dalam pernikahan. Ketika Selma terpaksa menikah dengan lelaki lain, Gibran tetap mencintainya. Tema cinta tanpa memiliki ini–bukan cinta bertepuk sebelah tangan–juga menjadi tema utama dalam lagu Roman Picisan. Bagi saya pribadi, kisah yang tercermin dalam lirik Roman Picisan–mulai dari verse, refrein, hingga interlude–secara umum tampak seperti bayang-bayang dari kisah cinta Gibran dan Selma Karamy itu. Meski demikian, kita tak bisa memastikan bahwa lagu tersebut terinspirasi langsung dari novel Sayap-Sayap Patah. Ahmad Dhani memang pernah bilang bahwa ia menulis lagu Roman Picisan pada masa-masa ketika ia sedang gemar-gemarnya membaca karya Kahlil Gibran. Tapi, bagaimanapun itu tetap saja hanya bisa membuat kita menduga-duga.


Dan dugaan kita barangkali bisa sedikit diperkuat oleh bayangan novel Sayap-Sayap Patah pada lagu lain di album Bintang Lima, yakni Dua Sejoli. Bagian terbaik dari lirik lagu ini adalah refreinnya: “Hawa tercipta di dunia/Untuk menemani Sang Adam/Begitu juga dirimu/Tercipta ‘tuk temani aku.”


Di bagian prolog Sayap-Sayap Patah kita dapat juga menemukan ungkapan puitis yang bermakna senada. Berikut kutipannya. “Dalam setiap kehidupan laki-laki muda selalu ada seorang ‘Selma’ yang muncul di hadapannya tiba-tiba saat musim semi kehidupan dan mengubah kesendiriannya menjadi saat-saat bahagia dan mengisi kesunyian malamnya dengan musik. [….] Kehidupanku sekarat, kosong, bagai hati Adam di surga, ketika aku melihat Selma berdiri di hadapanku seperti pilar cahaya. Ia adalah Hawa hatiku yang mengisinya dengan rahasia dan membuatku memahami arti kehidupan.”


Lebih lanjut, bagian verse pertama Dua Sejoli juga menarik untuk diperhatikan: “Usap air matamu yang menetes di pipimu/Kupastikan semuanya akan baik-baik saja/Bila kau terus pandangi langit tinggi di angkasa/Takkan ada habisnya segala hasrat di dunia.” Melalui bait ini, ingatan kita bisa terbawa pada adegan-adegan penuh emosi dalam Sayap-Sayap Patah, khususnya ketika Gibran dan Selma tengah bersiap menghadapi prahara yang akan membuat mereka harus terpisah.


“Mari Selma,” kata Gibran, “mari kita berjalan melalui jalan terjal ini dengan yakin, dengan mata kita menghadap matahari sehingga kita tidak melihat kerangka dan ular di antara bebatuan dan duri. Bila ketakutan menghentikan kita di tengah jalan, kita hanya akan mendengar cemooh dari suara-suara malam, namun bila kita mencapai puncak gunung dengan berani kita akan bersatu dengan jiwa ketuhanan dalam lagu kemenangan dan kebahagiaan. Cerialah, Selma, hapuslah air matamu dan hilangkan penderitaan dari wajahmu.”


Ketika Selma menangisi nasib Gibran yang akan penuh penderitaan karena perpisahan mereka (seperti ia juga pasti sangat berduka nantinya), Gibran dengan tegar mencoba meyakinkannya, “Cinta akan menjadi satu-satunya penenangku, dan aku akan meminum cinta seperti anggur dan mengenakannya seperti pakaian. Saat fajar, cinta akan membangunkanku dari tidur, dan membawaku ke ladang yang jauh, dan saat tengah hari ia akan membimbingku ke bawah bayangan pohon, di mana aku berteduh dengan burung dari terik matahari. Saat petang ia akan menyebabkanku berhenti di depan matahari tenggelam untuk mendengar nyanyian perpisahan alam kepada cahaya siang dan akan menunjukkan padaku awan yang berlayar di langit. Saat malam, cinta akan memelukku dan aku akan tertidur, memimpikan dunia di mana jiwa kekasih dan penyair berada. [….] Selama masa mudaku, cinta akan menjadi guruku; di pertengahan usia, pertolonganku; masa tua, kebahagiaanku; cinta, kekasihku Selma, akan terus bersamaku sampai akhir hidupku, dan setelah kematian di tangan Tuhan akan menyatukan kita kembali.” Di sinilah Gibran meyakinkan Selma bahwa ia akan baik-baik saja.


Tapi, Selma tetap saja tak kuasa menahan kesedihan yang begitu berat dipikulnya. Puncaknya, ia pun mengadu pada Sang Pencipta Cinta. “Selma mengangkat mukanya, menengadah ke langit, dan memandang bintang-bintang yang berada di cakrawala. Ia menjulurkan tangannya; matanya melebar dan bibirnya bergetar. Di wajah pucatnya aku dapat melihat tanda kepedihan, penindasan, ketidakberdayaan, keputusasaan, dan penderitaan. Lalu ia berseru, ‘Oh Tuhan, apa yang telah seorang wanita lakukan kepada-Mu?’” Monolog Selma kepada langit (baca: Tuhan) ini berlanjut cukup panjang, sampai-sampai hampir memenuhi dua halaman buku. Di sana ia mengungkapkan berbagai keindahan hidup yang sempat ia rasakan karena cinta, yang membuatnya membayangkan betapa indahnya masa depan (bersama Gibran), sementara di sisi lain Tuhan juga mengujinya dengan berbagai nestapa yang akhirnya tampak menjadi paradoks.


“Aku mengangkat tangan dinginnya dan menciumnya, namun ketika aku berusaha menghiburnya, tampaknya justru aku lebih membutuhkan penghiburan,” kata Gibran.


Bayang-bayang Gibran lainnya yang tampak dalam album Bintang Lima terdapat pada logo Dewa. Di album ini Dewa memperkenalkan logo berbentuk lambang hati (merah) bersayap (putih) melalui kover kasetnya. Jika lambang hati kita sepakati sebagai simbol cinta, maka gambar sayap erat maknanya dengan kebebasan. Bagi Gibran, seperti ia utarakan dalam Sayap-Sayap Patah, “Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta adalah gairah yang tidak dapat dihalangi oleh hukum manusia dan fenomena alam.” Jadi, cinta sejati dibayangkan Gibran sebagai cinta yang memberi sayap bagi jiwa manusia–membebaskannya. Jiwa yang cintanya terluka dilanda prahara kemudian dilukiskan sebagai jiwa dengan sayap-sayap patah.


Dalam banyak tulisan Gibran imaji tentang cinta memang sering kali bermetaforakan sayap. Di novel Sayap-Sayap Patah ia juga menulis, “Mereka yang cintanya tidak diberi sayap tidak dapat terbang di balik awan untuk melihat keajaiban dunia di mana jiwa Selma dan jiwaku bersatu dalam saat indah yang penuh penderitaan. Mereka yang cintanya tidak dipilih sebagai pengikut tidak akan mendengar ketika cinta memanggil.”


Jika kita pernah membaca karya Gibran paling monumental, Sang Nabi (atau Almustafa dalam terjemahan Sapardi), ungkapan tersebut akan segera mengingatkan kita pada kebijaksanaan Almustafa/Sang Nabi tentang cinta, “Jika cinta memanggilmu, ikutilah dia, meskipun jalannya sulit dan terjal. Dan ketika sayap-sayapnya merangkulmu, menyerahlah padanya, meskipun pedang yang terselip di antara ujung-ujung sayapnya mungkin melukaimu.”


Ahmad Dhani memang mengagumi Kahlil Gibran. Kadang karya-karya Gibran itu cukup samar membayangi lirik-lirik lagu karangannya. Tapi, ada kalanya pula bayangan itu malah tampak cukup gamblang, sampai-sampai membuatnya seperti comotan yang sedikit diparafrasa. Salah satu contoh sangat gamblang itu terdapat pada lagu Elang yang dirilis pada 1999 dalam album The Best of Dewa 19. Lagu ini secara umum memiliki ungkapan-ungkapan yang berasal dari puisi Nyanyian Peri dalam buku Gibran, Rahasia Hati. Secara ringkas, berikut perbandingan keduanya.


Aku ingin terbang tinggi seperti elang

Melewati siang-malam menembus awan


Dalam puisi Gibran: “Oh Peri, dengarlah daku! Aku bebas bagai burung, menelusuri lembah ngarai dan hutan belantara, terbang di langit luas. Pada malam hari aku beristirahat di atas gereja-gereja dan istana-istana di kota-kota berawan di mana Sang Surya terjaga di pagi hari dan binasa di hadapan senja.”


Aku adalah mimpi-mimpi sedang melintasi

Sang perawan yang bermain dengan perasaan


Dalam puisi Gibran: “Aku bagai sebuah mimpi, pergi diam-diam di bawah sayap-sayap malam yang ramah, masuk melalui atap-atap tertutup ke dalam kamar anak-anak perawan, mempermainkan dan membangkitkan harapan mereka.”


Ini tanganku untuk kau genggam

Ini tubuhku untuk kau peluk

Ini bibirku untuk kau cium

Tapi tak bisa kau miliki aku


Dalam puisi Gibran: “Akankah kau memiliki diriku tapi bukan mempunyaiku dengan mengambil tubuhku dan bukan hatiku? Maka inilah tanganku, genggamlah dengan keindahan tanganmu; dan inilah tubuhku, rangkullah dengan tangan kecintaanmu; dan inilah bibirku, berkahilah dengan sebuah ciuman memabukkan.”


Piyu dan Kahlil Gibran

Musisi Indonesia yang cukup sering dibanding-bandingkan dengan Ahmad Dhani terkait ketokohannya di bidang musik tanah air adalah Piyu, gitaris dan frontman Padi. Seperti Dhani, Piyu juga berasal dari Surabaya. Seperti Dhani, Piyu juga menjadi penulis utama lirik-lirik lagu dalam band. Dan seperti Dhani lagi, Piyu juga mengagumi Kahlil Gibran.


Dalam otobiografinya Piyu; From the Inside Out: Life, Passion, Dreams, and His Legacy Piyu sedikit bercerita soal cara ia menulis lirik. “Aku juga suka baca novel, Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi, segala macam itu untuk mencari padanan kata atau ide lirik sebagai starter penulisan pertama. Andai kata aku sudah punya melodi lagu, aku baca saja kalimat-kalimat dalam novel itu. Apa saja, tidak ada batasan sama sekali. Bebas bisa dari bab awal atau ending babnya. Karena, yang aku cari adalah ‘kata’ bukan ‘makna’ [….] Ada buku yang banyak memberikan referensi dalam menulis lirik, yaitu buku Sang Nabi dari Kahlil Gibran. Jadi semacam bible-ku sebelum mulai mengerjakan album pertama.”


Gaya bahasa Gibran memang selalu menjadi daya pikat utama dalam setiap karya-karya sastranya. Karena saking khasnya, dalam ranah akademik gaya bahasa Gibran dikenal sebagai gibranisme. Menurut Fahruddin Faiz dalam Gibranisme: Antara Eksistensialisme dan Romantisisme, gibranisme memiliki tiga ciri khas, yaitu (1) romantisisme alias “kecenderungan terhadap kehidupan alami sesuai fitrah dan kodrat”, (2) kecenderungan memakai perumpamaan dan metafora, dan (3) kecenderungan bebas berbahasa atau “tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan baku bahasa”. Dengan kata lain, gibranisme adalah kebebasan mengungkapkan ide dengan kecenderungan menggunakan perumpamaan dan metafora yang berbasis pada konsep-konsep alam: langit, angkasa, bintang, bulan, malam, angin, sinar, surya, senja, awan, badai, samudra, bunga, dan lainnya.


Dalam lirik-lirik lagu Padi, corak gibranisme ini bisa dilihat pada ungkapan-ungkapan seperti “Hamparan langit mahasempurna/Bertahta bintang-bintang angkasa/Namun satu bintang yang berpijar/Teruntai turun menyapa aku”, “Alam raya pun semua tersenyum/Menunduk dan memuja hadirnya”, “Tetaplah menjadi bintang di langit/Agar cinta kita akan abadi/Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini/Agar menjadi saksi cinta kita berdua”, “Kau bagaikan angin di bawah sayapku/Sendiri aku tak bisa seimbang”, “Kulukiskan indah wajahmu di hamparan awan/Biar tak jemu kupandangi selalu”, “Meski langit memikatku dengan sejuta senyum”, “Ke mana pun angin berhembus/Ku pasti akan kembali”.


Gaya bahasa serupa ini juga sering kita temukan dalam lirik-lirik lagu karangan Ariel dan Ahmad Dhani, bukan? “Taman langit”, “kutanya malam”, “bagai bintang di surga”, “di balik awan”, “langit tak mendengar”; “Cintaku sedalam samudra/Setinggi langit di angkasa”, “Cintaku tanpa sambutmu bagai panas tanpa hujan”, “Samudera cinta dari palung hati/tak terukur dalamnya hingga saat perpisahan tiba”, “Kau sebar benih anggun jiwamu/namun kau tiada menuai buah cintaku/Yang ada hanya sekuntum rindu”.


Katon Bagaskara dan Kahlil Gibran

Sedikit mundur satu generasi sebelum Ahmad Dhani dan Piyu, musik Indonesia juga diwarnai oleh musisi-hebat-pengagum-Kahlil-Gibran lainnya, yakni Katon Bagaskara. Vokalis dan gitaris Kla Project ini merupakan penulis lirik bagi lagu-lagu top seperti Negeri di Awan, Tak Bisa ke Lain Hati, Terpuruk Ku di Sini, dan Yogyakarta.


Karena Katon menggemari Gibran, dalam lirik-liriknya juga mudah dijumpai gaya bahasa bercorak gibranisme. Misalnya dalam lagu Tak Bisa ke Lain Hati: “bulan merah jambu luruh di kotamu”, “menikmati angin menabuh daun-daun”, “sisi ruang batinku hampa rindukan pagi”, “biduk t’lah ditambatkan, berlabuh di pantaimu”; dalam lagu Terpuruk Ku di Sini: “setetes embun di daun lambat bergulir/ketika jatuh ke tanah terserap musnah/begitu pun hatiku diayun bimbang jawabmu/terhempas dan hampa tak terkira”; dan dalam lagu Gerimis: “Surya terpancar dari wajah kita/bagai menghalau mendung hitam tiba”, “Sekejap badai datang mengoyak kedamaian/segala musnah/lalu gerimis, langit pun menangis”.


Ekspresi kekaguman Katon pada Gibran tampak paling terang di lagu Hey dalam album Pasir Putih. Pada awal lagu (sebelum verse) mantan Duta Baca Nasional ini mengutip sepenggal puisi Gibran bertema kerja dari buku Sang Nabi.


Kerja adalah cinta yang mengejawantah.

Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan,

Maka lebih baik jika kau meninggalkannya,

Lalu mengambil tempat di depan gapura candi,

Meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan sukacita.


Masa jaya Kla Project berlangsung pada paruh awal 1990-an. Karya-karya mereka begitu populer dan menjadi inspirasi bagi anak-anak muda kala itu. Sebagai musisi, Ahmad Dhani muda juga banyak dipengaruhi oleh karya-karya Kla Project. Adapun bagi Piyu, Katon dinilai sebagai pembaharu lirik lagu di dunia musik Indonesia pada masanya.


Musik Indonesia dan Kahlil Gibran

Musisi-musisi Indonesia lain yang membaca karya Kahlil Gibran dan terpengaruh langsung olehnya mungkin sebenarnya masih banyak. Masalahnya, sulit sekali untuk memastikan seberapa banyak mereka dan seberapa jauh pengaruh karya Kahlil Gibran dalam karya-karya mereka. Ariel, Dhani, Piyu, dan Katon hanyalah nama-nama yang paling jelas tampak terpengaruh karya Kahlil Gibran. Selain itu, kebetulan juga mereka musisi-musisi beken yang karya-karyanya familiar di telinga kita.


Peterpan/Noah, Dewa 19, Padi, dan Kla Project adalah band-band besar yang pernah mendominasi belantika musik tanah air pada zaman mereka masing-masing (1990-an–2000-an). Tanpa mengecilkan kebesaran musisi lain yang segenerasi, keempat band ini merupakan beberapa representasi terbaik bagi musik elok yang berharmoni dengan lirik lagu puitis di Indonesia. Berpatok pada kebesaran nama mereka, serta kedahsyatan pengaruh mereka di masa-masa puncak kejayaan mereka masing-masing, tentu tidaklah berlebihan jika dibayangkan bahwa karya-karya mereka menginspirasi banyak musisi lain segenerasi dan setelahnya, baik dalam segi komposisi musik maupun komposisi lirik. Artinya, melalui kecemerlangan lirik-lirik karangan Ariel, Dhani, Piyu, dan Katon, sejumlah musisi lain juga terjamah pengaruh Kahlil Gibran secara tidak langsung.


Di sinilah bayang-bayang Kahlil Gibran menjadi salah satu unsur penting dalam sejarah musik Indonesia.


Kahlil Gibran (Rahasia Hati Sang Nabi)
Kahlil Gibran (Rahasia Hati Sang Nabi)


REFERENSI


3SECOND TV. 2020. Ariel “Noah” Rela di Drop-Out dari Kampus Demi Bermusik! Part 1. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=AA3l7oEJr9w&t=250s

AH. 2011. Piyu; from the Inside Out: Life, Passion, Dreams, and His Legacy. Jakarta: Gramedia.

Ariel, Lukman, Uki, Reza. 2012. Kisah Lainnya: Catatan 2010–2012. Jakarta: KPG dan Musica Studio’s.

Budianta, Eka (Ed.). 2010. Kahlil Gibran di Indonesia. Jakarta: Ruas.

Faiz, Fahruddin. 2015. Gibranisme: antara Eksistensialisme dan Romantisisme. Refleksi, Vol. 15 No. 2. Hal. 183–201.

Gibran, Kahlil. 2010. Rahasia Hati Sang Nabi: Karya Terpilih. Diterjemahkan Anton Kurnia dari Great Works of Kahlil Gibran. Bandung: Nuansa.

Irma Hutabarat. 2013. Swara Indonesia Edisi Swara Gitaris Indonesia. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=n6e9vH7XBJY&t=2894s

Virgoun. 2021. Virgoun – Ahmad Dhani’s Reaction. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=YdxXrtJA6EQ&t=746s

Tinggalkan balasan!