Tak Kasat Mata

Aku bertemu dengannya di usia enam tahun. Kuingat dengan jelas saat itu dia berdiri di depan pintu pagar rumahku sendirian. Aku bingung kenapa dia tidak masuk untuk berteduh sebentar saja. Hujan di luar lumayan deras. Aku mencoba memanggilnya, tapi ia tidak memberi jawaban. Aneh. Karena penasaran, diam-diam aku menghampirinya. Tapi, “Adek, kamu sedang apa di luar sana?”

Ilustrasi wajah seseorang berwarna hitam putih
Sumber: Pixabay

Suara Ibu mengagetkanku. Aku segera berbalik masuk ke rumah.

“Ibu, di luar ada orang kehujanan,” ucapku buru-buru. Ibu menatapku dengan khawatir karena ia tak melihat siapa-siapa di luar sana.

“Siapa yang kamu lihat?” ucap Ibu.

Aku memalingkan wajah dan melihat ke luar pagar. Aku juga ikut-ikutan heran sebab ternyata dia sudah menghilang. Ayah datang dan ia menatapku dengan sinis karena ia tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Sangat membekas di ingatanku tatapan ketidakpercayaannya yang seolah mengatakan bahwa aku sedang berbohong.

“Sudah, sudah, entah apa-apa saja yang kamu khayalkan,” ucap Ayah. Ayah tidak suka karena aku seperti orang aneh yang berhalusinasi.

Setelah kejadian itu aku terserang demam.

Aku ingat betul, saat itu aku sedang sendiri di kamar dengan keheningan yang membuatku merasa betapa kesepian. Ketika aku mencoba menutup mata, entah kenapa sekujur badanku tiba-tiba jadi merinding. Aku merasa ada seseorang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Dan benar, aku menemukan sesosok perempuan berdiri di samping lemari bajuku. Sosok itu sama seperti orang yang kulihat kemarin di tengah hujan. Dia sebesar aku. Sekujur badannya hitam.

Siapa dia? Kenapa setiap aku merasa kesepian dia selalu datang? Aku terus bertanya-tanya dalam kepalaku. Aku ingin mengajaknya bicara, tapi ia tampak membatu seperti patung aneh. Lalu, sekonyong-konyong kudengar suara lirih dari pojok sana. “Aku tidak aneh.” Suara itu membuatku terkesiap. Ia bagai peramal yang bisa mengetahui isi pikiranku. Tanpa bisa mengendalikan diri, aku sontak berteriak memanggil Ibu. Ibu bergegas datang dengan sangat cemas.

“Ada apa, Sayang, kenapa berteriak?”

Aku menjelaskan apa yang baru saja kualami. Tapi, seperti kemarin, Ibu tidak percaya kepadaku. “Sudah, sudah, kamu berhalusinasi karena demammu semakin tinggi,” kata Ibu. Ibu lalu memberiku obat. Tak lama berselang, aku tertidur sangat lelap.

Tepat pukul dua belas malam aku terbangun karena kehausan. Aku beranjak ke dapur dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan antara Ayah dan Ibu di kamar mereka.

“Sayang, anak kita sepertinya berhalusinasi lagi. Ia bilang ia melihat sosok itu lagi. Malah, sekarang ia juga mendengar suara-suara. Aku sangat khawatir,” ucap Ibu. Ayah menanggapi Ibu dengan berkata bahwa aku berbohong telah melihat hal-hal seperti itu. Aku kesal sama Ayah dan ingin tahu bagaimana respons Ibu kemudian. Aku mendekatkan diri ke dinding dan tanpa sengaja menyenggol vas bunga yang ada di dekat meja makan hingga jatuh.

Pranggg

Suara pecah itu memenuhi seisi ruangan. Ibu langsung berlari mendatangiku dan sangat khawatir kalau terjadi apa-apa terhadapku. Ayah menyusul dengan raut wajah marah. “Sudah berani kamu, ya, menguping pembicaraan orang tua!”

“Aku tidak berhalusinasi, Ayah!” Entah dari mana aku mendapat keberanian untuk membuka suara. “Aku mendengar dan melihat dia!”

Ayah dan Ibu terkejut mendengar itu, melihat aku tidak bersikap seperti biasanya. Ayah bilang ia akan memasukkanku ke rumah sakit jiwa jika aku bercerita melihat hal-hal seperti itu lagi. Aku berlari ke dalam kamar dan mengunci diri sendirian. Aku menangis tersedu-sedu. Begitu lama sampai-sampai aku jadi tertidur karena lelahnya.

Keesokan harinya Ibu datang mengetuk pintu kamarku. Ia mencoba mendengarkan ceritaku dan mulai sedikit percaya kepadaku. Setelah itu sosok hitam itu cukup lama tak tampak lagi menemuiku. Tapi, aku mulai bermimpi buruk. Dalam mimpi itu aku melihat seorang perempuan datang menghampiriku dan duduk di sampingku di bangku taman. Dia berkata bahwa dia lebih dulu hadir di rumah kami dibanding aku. Dan ia berkata bahwa ia ingin melindungiku. Mimpi itu terus berulang sebanyak tiga kali, tapi aku tak bercerita kepada siapa-siapa karena aku takut Ayah akan membawaku ke rumah sakit jiwa.

Suatu hari, saat sedang duduk bersama Ayah di ruang keluarga, aku sempat melihat sekilas sebuah foto perempuan yang sedikit mirip denganku di dalam dompet Ayah. Aku pikir mungkin itu fotoku, sampai kemudian aku tak sengaja membuka dompet Ayah di lain hari. Ternyata  itu bukan fotoku, melainkan foto seorang perempuan yang agak mirip denganku.

Siapa dia? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?

Setelah kejadian itu aku kembali melihat sosok aneh itu di rumah kami. Perempuan yang setinggi aku dan berkulit serba hitam. Aku juga sering mendengar suara-suara yang semakin jelas. Tangisan anak kecil, suara orang tertawa. Tanpa terasa, aku sudah terbiasa dengan itu semua sampai usiaku enam belas tahun. Aku bisa merasakan kehadiran mereka yang tak kasat mata. Hanya orang-orang tertentulah yang bisa melihatnya. Sejujurnya, aku tak tahu apakah ini karunia atau malah sebaliknya. Kusimpan semua pertanyaanku sendirian. Hanya aku yang tahu bagaimana wujud-wujud mereka. Dan kau tahu, perempuan yang sering menemuiku pada waktu aku berusia enam tahun itu ternyata sering mengikutiku. Dia menjagaku. Dia memberi tahu bahwa semua yang kulihat adalah teman-temannya.

“Tidak perlu takut,” katanya. Itu membuatku berani menghadapi makhluk-makhluk mengerikan di sekitarku. Dan perempuan yang ada di dompet Ayah itu ternyata dia adalah kakakku. Dia telah mati karena kecerobohan Ayah yang membiarkan anak perempuan pertamanya bermain masak-masakan menggunakan api sungguhan. Badannya hitam karena kulitnya terbakar. Sungguh malang nasibnya.

Aku baru tahu semua itu setelah aku punya kesempatan baik untuk menanyai Ayah tentang foto perempuan di dompetnya, dan Ayah pun mau bercerita. Aku mulai lega. Rasa penasaranku selama sepuluh tahun kini hilang sudah. Aku sudah mengetahui siapa dirinya sebenarnya.

“Selamat jalan, kakakku. Aku menyayangimu. Walau bagaimanapun wujudmu, aku, Ayah, dan Ibu mencintaimu.” Kata-kata itu kuucapkan setelah aku tahu kebenarannya. Sejak itu aku tidak pernah melihatnya lagi di mana-mana. Mungkin ia telah pergi ke suatu tempat yang sangat jauh selamanya. Atau mungkin ia masih tak jauh-jauh di sekitarku dan terus menjagaku dari tempat-tempat yang tak kuketahui sepanjang waktu.

Penulis: Indah Humaira

Siswa SMAN 2 Banda Aceh Cerpen ini merupakan hasil kegiatan Bengkel Sastra bagi Siswa Tingkat SMA Se-Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Aceh pada 24 September 2022

Tinggalkan balasan!