
Ada satu hal yang perlu kita samakan dalam diskursus kali ini, yakni tentang pemberian sebuah gelar. Alih-alih duta bahasa, yang mungkin segala proses seremonial pemberian gelar membuat posisi penulis dan pembaca menjadi berbeda, mari sebut saja kita semua sebagai pendekar bahasa, sebagaimana Harimukti Kridalaksana memberi sebutan pada M. Tabrani, Soemanang, Soedarjo Tjokrosisworo dan Ki Hajar Dewantara atas perjuangannya memulai semangat kebahasaan di Indonesia. Mungkin sedikit berbeda dari segi pendefinisian, pendekar bahasa, menurut Harimurti Kridalaksana, adalah orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap bahasa meski berlatar belakang pendidikan di luar kebahasaaan. Khusus dalam diskursus kali ini, pendekar bahasa yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kepedulian terhadap bahasa, terlepas dari latar belakangnya. Dengan demikian, kita akan berkedudukan sama rata, tidak ada yang lebih wajib memperjuangkan bahasa, sebab kewajiban itu ada pada semua, terutama generasi muda sebagai penerus tonggak perjuangan bangsa.
Dalam memperjuangkan bahasa, tiap pendekar bahasa tentu mempunyai cara tarung dan senjata tersendiri di medan perangnya. Keragaman cara bertarung dan senjata itu adalah sebuah keniscayaan sebab musuh kebahasaan yang ada di sekeliling mereka mungkin berbeda. Di Aceh, salah satu masalah kebahasaan adalah rendahnya literasi pada kelompok tertinggal yang hidup jauh dari kota. Di Jakarta atau kota besar lainnya, permasalahannya mungkin adalah campur kode (mixing code) bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam berbicara (contohnya fenomena “bahasa Jaksel” yang kerap terdengar belakangan ini). Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan penggunaan senjata mungkin saja berbeda, sebab musuh kebahasaan hadir dalam berbagai rupa. Senjata tersebut dalam konteks kebahasaan adalah krida kebahasaan dan cara bertarung adalah cara pendekar bahasa mengimplementasikan krida kebahasaan kepada masyarakat.
Dalam “medan perang” versi kami, ditemukan adanya masalah kemampuan penguasaan literasi dasar, yakni membaca dan menulis pada kelas awal pendidikan. Meskipun di zaman sekarang, “rasa-rasanya” tidak mungkin orang tidak mampu membaca. Kepercumaan “rasa-rasanya” akan didapat jika para pendekar bahasa menawarkan sebuah krida kebahasaan sesederhana pengajaran membaca. Tetapi hal itu mungkin hanya sekedar “rasa-rasanya”, sebab fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Sebaliknya yang bagaimana? Begini, mungkin benar sebagian besar orang sudah memiliki kemampuan membaca. Hal tersebut juga divalidasi oleh hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 yang menunjukkan angka buta huruf di Indonesia hanya berkisar 1,71 persen. Meski hanya sebagian kecil dan didominasi oleh penduduk usia 55 tahun ke atas, pernyataan “di zaman sekarang ‘rasa-rasanya’tidak mungkin orang tidak mampu membaca” tetap hanya sekedar “rasa-rasanya”. Terlebih ketika kami menyadari fakta bahwa data yang tersedia di dunia maya dari survei pemerintah hanya menunjukkan tingkat buta huruf mulai dari usia 15 tahun ke atas. Lantas, bagaimana dengan usia di bawahnya? Apakah seorang anak yang belum berusia 15 tahun dan belum mampu membaca tidak dianggap buta huruf? Jika jawabannya ya, maka perlu ditelisik lagi makna dari kata buta huruf.
Dalam KBBI lektur dijelaskan bahwa buta huruf artinya tidak dapat membaca dan menulis. Dalam pengertian tersebut, tidak ada syarat usia pengategorian buta huruf. Oleh karena itu, orang-orang yang berusia kurang dari 15 tahun serta tidak mampu membaca dan menulis ibarat berada di luar radar pengklasifikasian buta huruf di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti ketidakmampuan membaca dan menulis pada rentang usia di bawah 15 tahun dapat diabaikan. Meski mungkin secara statistik hal tersebut akan terlihat baik-baik saja. Toh jika dilakukan survei, mereka belum masuk ke dalam pengategorian buta huruf berdasarkan usia. Bukan begitu?
Sikap abai terhadap penguasaan kemampuan membaca dan menulis pada kelas awal pendidikan tidak boleh terjadi karena akan memunculkan sebuah fenomena. Secara teoretis, ketidakmampuan membaca dan menulis dapat melahirkan sebuah fenomena yang disebut dengan Efek Matius. Istilah “Efek Matius” dikenalkan oleh sosiolog bernama Robert K. Merton untuk menjelaskan fenomena “orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin”. Dalam dunia pendidikan, istilah tersebut merujuk pada fenomena yang tidak kalah menyedihkan, yakni mereka yang pintar akan semakin pintar dan mereka yang bodoh akan semakin bodoh. Dalam literasi, istilah ini dikenalkan kembali oleh Stanovich. Efek Matius dalam pandangan Stanovich digambarkan sebagai akibat yang akan diterima oleh siswa yang tidak mampu menguasai kemampuan membaca pada kelas awal. Hal tersebut ditandai dengan kehilangan motivasi belajar dan ketidakmampuan memahami informasi kompleks di kemudian hari. Sebagaimana digambarkan pada Grafik 1, pembaca yang baik pada kelas awal pendidikan akan mampu meningkatkan kemampuan belajarnya secara lebih cepat dibandingkan dengan pembaca yang buruk. Pembaca yang buruk sebagai hasil dari ketidakmampuan membaca pada tahap awal pendidikan akan berujung pada hilangnya kesempatan-kesempatan belajar yang lain yang akan bermuara pada suatu hal: matinya literasi.

Salah satu cara untuk mencegah matinya literasi ini adalah dengan memastikan bahwa anak-anak pada kelas awal pendidikan, terutama pada kelas tiga, sudah mampu menguasai literasi dasar. Anna Murphy dalam “Why Third Grade Is So Important: The ‘Matthew Effect’” menjelaskan bahwa pada tahun ketika anak-anak menginjak kelas tiga, mereka akan bergerak dari proses “belajar untuk membaca” ke proses “membaca untuk belajar”. Mereka yang tidak mampu menguasai literasi dasar pada tingkatan ini, umumnya akan tertinggal dibanding mereka yang sudah mampu. Ketertinggalan itu, seiring dengan berjalannya waktu akan menghasilkan kesenjangan yang lebar antara mereka yang memiliki kemampuan literasi dasar yang memadai sejak kelas awal pendidikan dan mereka yang tidak. Oleh karena itu, memastikan bahwa anak-anak pada kelas tiga sudah mampu menguasai literasi dasar adalah sebuah titik kritis untuk membentuk individu pembelajar dan mencegah kematian literasi.
Kematian literasi tersebut agaknya lebih tepat dikatakan mati secara fungsional. Anak-anak yang dulunya terlambat menguasai kemampuan membaca dan menulis pada usia yang lebih tua mungkin akan mampu menguasai kemampuan itu. Tetapi kemampuan itu kemungkinan besar hanya berada pada tahap mampu menulis dan membaca saja tanpa disertai kemampuan menjawab persoalan berdasarkan informasi yang ditulis atau dibaca. Padahal literasi di era sekarang telah mengalami perluasan makna menjadi kemampuan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap anak Indonesia memiliki kemampuan literasi dasar yang memadai pada kelas awal pendidikan adalah sebuah “detak pertama” yang harus dijaga oleh setiap pendekar bahasa untuk menjamin perkembangan literasi secara berkelanjutan.
Untuk menghidupkan detak itu, pendekar bahasa dari Provinsi Aceh meluncurkan krida kebahasaan Delisa (Detak Literasi dan Sastra). Delisa bertugas untuk menjaga agar setidaknya tiap anak pada kelas awal pendidikan mampu menguasai kemampuan literasi dasar. Dengan demikian, kehadiran Delisa dapat mencegah terjadinya fenomena Efek Matius di masa depan. Pada pelaksanaannya, Delisa menyasar anak-anak yang tumbuh tanpa pendampingan orang tua karena patut diduga rentan mengalami krisis literasi. Dugaan ini diperkuat ketika dilakukan serangkaian tes kemampuan membaca dengan metode EGRA (Early Grade Reading Assessment) pada anak-anak di Yakesma (Yayasan Kesejahteraan Masyarakat), tempat penampungan anak-anak korban kekerasan, KDRT, tsunami dan konflik, di Desa Kajhu, Aceh Besar. Hasil pemetaan kemampuan membaca dengan metode EGRA (Early Grade Reading Assessment) menunjukkan bahwa mereka belum memiliki kemampuan membaca dan menulis yang memadai. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil skor EGRA anak-anak Yakesma pada Grafik 2 yang dapat dibandingkan dengan kategorisasi skor EGRA pada Tabel 1.

Skor EGRA | Keterangan |
Skor ≤ 44% | Kurang |
Skor 45% ≤ sampai ≤ 64% | Cukup |
Skor 65% ≤ sampai ≤ 84% | Baik |
Skor ≥ 85% | Baik Sekali |
Rendahnya hasil kemampuan penguasaan membaca dan menulis itu menjadi sebuah persoalan yang harus dipecahkan oleh Delisa. Meski mungkin hal tersebut tidak mampu diubah dalam sehari atau dua hari, tetapi satu langkah pasti untuk memberantas kematian literasi adalah keniscayaan. Oleh karena itu, perjalanan Delisa bukan sebuah perjalanan singkat, melainkan sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari ujung barat Indonesia.
Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam memperjuangkan literasi. Selain pengajaran teknis berupa pengajaran membaca dengan berbagai metode seperti ABCGA, metode ejaan, dan metode SAS (Struktural Analitik Sintetik), hal lain yang perlu diajarkan adalah mengajari mereka cara belajar, mencintai diri sendiri, dan menumbuhkan harap untuk kehidupan di masa depan. Dengan demikian, Delisa dapat hadir secara menyeluruh dan melingkupi kehidupan anak-anak tanpa orang tua, bukan hanya dari segi teknis melainkan juga dari segi emosional.
Delisa mungkin memang merupakan sebuah program yang dilaksanakan oleh para pendekar bahasa dari Tanah Rencong di bawah naungan Balai Bahasa Provinsi Aceh. Namun sebagaimana telah ditegaskan pada awal tulisan ini, kita semua adalah pendekar bahasa yang berposisi sama sehingga ada tidaknya organisasi formal yang menaungi tidak seharusnya menjadi pembeda. Segala kegiatan yang dihadirkan secara formal oleh Delisa, dapat juga diterapkan oleh pendekar bahasa lain di lingkungan sekitar. Tidak harus membawa nama Delisa, cukup membawa semangat dalam melaksanakan praktik baik literasi, mengedukasi orang-orang di sekitar untuk berhati-hati terhadap Efek Matius, serta memastikan adik kita, saudara kita, dan anak-anak di sekitar kita mampu menguasai literasi dasar pada tahap awal pendidikan. Dengan demikian, semangat Delisa dapat hadir dengan berbagai cara, berbagai bentuk, berbagai rupa, namun tetap dapat menjadi senjata melawan musuh kebahasaan di sekitar kita.
Sekarang yang terpenting adalah menentukan musuh kebahasan seperti apa yang akan dihadapi, pilih senjata, dan atur strategi bertarung. Dengan demikian, pendekar bahasa dari seluruh nusantara dapat bertarung di medan perangnya masing-masing. Tidak harus dalam bentuk Delisa, cukup ambil semangat yang coba dibawa. Sekarang, jika musuh kebahasaanmu ada di depan mata, sudahkah siap untuk berlaga?
Oleh:
Bunga Rizki Ulfira
Abdi Kurniawan
Daftar Pustaka
Hasanah, A., & Lena, M. S. (2021). Analisis Kemampuan Membaca Permulaan dan Kesulitan yang Dihadapi Siswa Sekolah Dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(5), 3296-3307.
Murphy, Anna. (2013, 1 Juli). The Matthew Effect: What Is It and How Can You Avoid It In Your Classroom. Opencolleges.edu.au. https://www.opencolleges.edu.au/informed/features/the-matthew-effect-what-is-it-and-how-can-you-avoid-it-in-your-classroom/