Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Mira dan Masakan Ibu

ilustrasi kepiting saus tiram
Ilustrasi kepiting saus tiram

Mira sangat senang hari ini. Selain karena ini hari terakhir ujian di sekolah, hari ini Ibu berjanji akan memasak makanan kesukaannya. Ibu bilang, sebagai apresiasi atas kerja keras Mira sepanjang hari-hari ujian yang melelahkan.

 

Sebelum bel pulang berbunyi, Mira bahkan telah merapikan seluruh peralatannya dan siap menyandang tasnya. Lantas ketika bel akhirnya berbunyi, Mira langsung menuju keluar kelas sambil sedikit berteriak pamit pada teman sebangkunya. Sepanjang perjalanan pulang, Mira tak henti bersenandung. Irama lagu—entah apa—melantun dari mulutnya mengiringi tapak kecilnya yang sedikit melompat setiap melangkah. Rumah Mira tidak terlalu jauh, maka ia selalu pulang jalan kaki. Ketika berangkat pun sebenarnya ia tidak masalah. Bu Guru bilang, kakinya akan sehat dan lebih kuat jika sering-sering berjalan kaki. Namun, Ayah selalu memaksa pergi bersama dengan vespanya ketika ia akan berangkat kerja.

 

Lupakan soal jalan kaki. Mira akhirnya sampai di depan pagar rumahnya. Ia membuka pagar dengan senyum, lantas berteriak memanggil ibunya dari halaman rumah. Sedetik kemudian ia menutup mulutnya sendiri, menyadari bahwa Ibu dan Ayah selalu mengajarkan untuk tidak berteriak jika bukan dalam kondisi darurat.

 

“Asalamualaikum.”

 

Mira mengucap salam sembari masuk ke dalam rumah yang tidak dikunci. Ia buru-buru ke dapur setelah melepas sepatu dan meletakkannya dengan rapi di rak.

“Asalamualaikum, Bu. Mira udah pulang.”

 

Mira mengucap salam sekali lagi karena yakin Ibu tadi tidak mendengarnya. Ibu yang nampak masih sibuk di dapur menoleh ke arahnya sekilas sambil tersenyum.

“Waalaikumsalam. Udah pulang, toh, anak Ibu. Cuci tangan sama kakinya dulu, gih. Terus ganti baju, habis itu kita makan, ya.”

 

Bibir Mira tertarik lebih lebar. Setelah mengiyakan Ibu, ia menuju ke kamar mandi dan segera mencuci tangan dan kakinya dengan sabun. Mira lantas sedikit berlari menuju kamar, meletakkan tasnya dan mengganti bajunya. Kemudian, ia kembali ke dapur dan langsung duduk di meja makan. Menunggu Ibu menghidangkan makanan dengan sabar.

 

“Si Kembar mana, Bu?” Mira bertanya sambil memainkan sendok dan garpu.

 

“Baru aja tidur. Dari tadi rewel banget mereka, masih agak demam ternyata. Tadi udah Ibu kasih obat.”

 

Si Kembar adalah panggilan untuk adik kembar Mira, Rian dan Ririn. Biasanya, Mira akan bermain dengan mereka sepulang sekolah. Namun seperti yang Ibu bilang, Rian dan Ririn sedang tidak enak badan sehingga belum bisa diajak bermain seperti biasa.Ibu mulai menata makanan satu per satu ke meja. Mata Mira membulat antusias. Akan tetapi, hingga hidangan terakhir dan Ibu mulai duduk di hadapannya, Mira tidak melihat makanan kesukaannya tersaji, kepiting saus tiram.

 

“Lho, kok ga ada kepitingnya, Bu?”

 

Ibu tersenyum dengan tak enak. “Maaf ya, Nak. Ibu ga sempat ke pasar ikan tadi. Besok aja makan kepitingnya, ya?”

 

Mira meletakkan kembali sendok dan garpu ke atas piring. “Ibu kan udah janji masaknya hari ini,” protesnya kemudian.

 

“Iya Ibu tau. Besok beneran Ibu masakin, ya. Tadi si Kembar rewel banget karena masih ga enak badan jadi Ibu harus ke klinik dulu. Terus mereka ga mau dititipin juga di rumah nenek makanya terpaksa Ibu bawa belanja, jadi Ibu belanja di kedai Bu Een, tapi di sana ga ada kepiting. Kalau Ibu ke pasar ikan lagi, selain udah kesiangan, takut keteteran bawa si Kembar dan bisa jadi kelamaan masaknya. Maaf ya, Nak.” Ibu menjelaskan panjang lebar sambil menggenggam tangan Mira.

 

Mira menarik tangannya dari Ibu dengan kuat. Ibu terperanjat. Mira mendorong kasar bangku dan bangkit dari duduknya.

 

“Padahal Ibu sendiri yang bilang janji adalah utang!” Ia berkata sedikit berteriak.

 

Ibu ikut berdiri dan hendak mendekati Mira. “Ibu bukan ingkar janji, Ibu minta pengertian kamu biar Ibu bisa tepati janjinya bes—”

 

Ibu tak sempat melanjutkan kalimatnya karena mendadak Mira berlari menuju luar rumah. “Mira! Tunggu, Nak!”

 

Ibu berteriak memanggil Mira yang tak lagi menghiraukannya. Ibu pun hendak mengejar Mira, tetapi suara tangis dari si Kembar juga pecah di saat yang bersamaan. Ibu bingung, namun akhirnya memilih menenangkan si Kembar yang masih bayi lebih dahulu. Sementara Mira terus berlari tak tentu arah. Hingga akhirnya ia merasa lelah dan memilih duduk di sebuah bangku panjang di area taman dekat rumahnya. Mira menangis. Ia merasa Ibu jahat karena tidak menepati janji, padahal ia sudah berharap bisa makan kepiting saus tiram sejak di sekolah tadi. Hingga hampir dua puluh menit berlalu, tangis Mira mulai reda. Gadis kecil itu sibuk menghapus sisa air di sudut matanya yang basah. Ia sudah memutuskan untuk tak akan pulang sampai Ayah pulang kerja dan menjemputnya.

 

“Mira?”

 

Mira mendongak, mencari tahu siapa yang barusan menyebut namanya. Ia melihat Syifa tengah menatapnya bingung. Mungkin teman sekelasnya itu bertanya-tanya dalam hati sedang apa Mira di sini dengan mata sembap. Syifa ikut duduk di samping Mira tanpa dipersilakan. Mira pikir setelahnya Syifa akan bertanya, namun gadis kecil itu justru hanya duduk dengan tenang.

 

“Kamu ngapain?” Akhirnya Mira yang bertanya lebih dahulu.

 

“Habis nganter makanan sekalian makan bareng Ibuku,” jawab Syifa sambil menunjukkan rantang kosong yang tadi ia bawa. “Ibuku jaga parkir di toko seberang sana.”

 

Mira merasa seperti tersentil, tetapi entah di bagian mana dan oleh siapa. “Makanannya beli?” tanya Mira penasaran.

 

“Ga. Aku bikin sendiri. Yang sederhana aja sih, kaya hari ini, nasi, tempe, sama sambel.”

 

“Kok kamu yang bikin?” Mira bertanya lagi seakan-akan apa yang dilakukan Syifa tidak harusnya gadis kecil sepuluh tahun itu lakukan.

 

Syifa tersenyum sebelum menjawab tenang, “Ibuku udah harus berangkat kerja sehabis subuh, Ayahku bahkan sebelum subuh kadang udah sibuk nguli di pasar. Jadi siapa lagi yang nyiapin makanan?”

 

Kali ini Mira seperti ditampar. Ia juga tahu bahwa jawaban Syifalah yang ternyata telah menamparnya. Mira menatap Syifa lekat-lekat. Mereka ada di usia yang sama, tetapi ia pikir Syifa terlihat lebih keren dibanding dirinya. Syifa bahkan menyiapkan makanan untuk keluarganya, sementara Mira yang selalu tinggal duduk dan makan, masih kurang bersyukur dengan apa yang ada.

 

“Aku belum bisa bantu Ayah dan Ibu cari uang, jadi setidaknya aku lakuin apa yang bisa aku lakuin, Mir, seperti buat makanan sederhana gini.”

 

Mira tertunduk dalam. Tiba-tiba, air matanya mengalir lagi, bahkan ia rasa lebih deras dari sebelumnya. Kekesalan yang tadi ada di hatinya, kini berubah menjadi penyesalan yang teramat besar. Mendadak, ia membayangkan betapa lelahnya menjadi seorang ibu, tetapi bahkan ibunya tak pernah mengeluh sedikit pun. Justru, Mira malah mencerca ibunya tanpa mau memahami situasi. Ia begitu keras kepala dan tak mau mendengar penjelasan apa pun yang ibunya berikan. Mira jadi merasa dirinya adalah anak yang jahat.

 

“Mir, kenapa? Ada yang salah sama omonganku, ya?” Syifa bertanya khawatir sambil memegang bahu Mira.

 

 

Mira mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata. “Syifa, makasih, ya,” katanya kemudian. Lantas ia pun berdiri, membiarkan Syifa memandanginya dengan tatapan penuh tanya.

 

“Aku harus pulang sekarang. Aku lupa belum makan siang.” Mira berkata lagi sambil mencoba tersenyum dan menghapus air matanya.

 

Gadis kecil itu kemudian segera berlari menuju rumahnya kembali. Dalam hati, ia sibuk mengucap maaf. Ia berjanji akan langsung meminta maaf begitu bertemu Ibu di rumah. Ia juga berjanji akan berusaha menjadi anak yang lebih baik, pengertian, dan sering membantu Ibu ke depannya. Tak lupa, Mira bertekad, mulai detik ini juga, ia akan selalu memakan apa pun masakan Ibu.

Tentang penulis