Aceh menghembuskan nafas panjang. Seraut wajah rentanya membidikkan pandangan kepada hamparan kegelapan yang luas di hadapannya. Hanya ada sebuah lampu yang berpendar tanpa mampu mengusir kepekatan malam. Detak jam tua yang menggantung di dinding rumahnya menunjukkan pukul delapan malam. Deru angin terdengar jelas bagai nyanyian pohon kelapa yang berjajar di tepi pantai, meliuk-liuk dan menerbangkan surai hitam milik Aceh di balik kerudung hitamnya.
“Selamat ulang tahun, Mak.” Terdengar beberapa piring kaca beradu dengan meja kayu yang berada di sampingnya. Seorang wanita berusia 66 tahun itu menggeser tangannya hingga beradu dengan salah satu piring kaca di hadapannya.
Lambat laun suara radio tua bergaung, hari ini tanggal tujuh Desember. Aceh lagi-lagi menghembuskan nafas panjang. Seraut wajah rentanya yang sudah menipis mentap kue-kue yang disajikan Laot di hadapannya dalam-dalam, sedalam keresahan yang berkecamuk di dalam jiwanya.
“Di mana adik-adikmu, Laot?”
“Maksud Mak, Reusam, Tanoh, dan Hukom?”
“Iya, di mana anak-anakku yang lain? Mengapa hanya ada kau di sini untuk merayakan ulang tahunku?” pandangannya menunduk, suaranya getir. Meuseukat, kue karah, boh rom-rom, dan kue bhoi yang disajikan Laot untuknya itu seakan tidak ada artinya tanpa kehadiran ketiga anaknya yang lain.
“Apa Mak lupa kalau mereka telah menolak untuk ikut Mak? Untuk apalagi Mak memerdulikan mereka?” Memanglah benar, Aceh pun gemetar mengingat penolakan ketiga anaknya dahulu. Mereka lebih mendengarkan hawa nafsu daripada ibu mereka sendiri.
“Namun mereka tetaplah anakku, dan mereka tetaplah saudaramu.” Laot membisu di tempatnya berdiri. Ibunya benar, walaupun telah durhaka, mereka tetaplah saudaranya. Dan walaupun pernah murka, bagi Aceh mereka bertiga tetaplah anak yang pernah ia lahir dan besarkan dengan penuh kasih. Aceh tetaplah seorang ibu. Kini ketiga anaknya telah pergi selama bertahun-tahun. Mereka hanya menyisakan kerinduan yang akan selalu terukir di hati Aceh.
Hanya suara desahan nafas yang terdengar mendominasi ruangan yang hanya disinari oleh lampu itu sebelum akhirnya Aceh bangun dari duduknya.
“Mak hendak ke mana?” tanya Laot bingung melihat Aceh keluar dari pintu rumah mereka.
“Hanya ingin melihat-lihat dunia di luar sana, bagaimana kabar cucu-cucu Mak, apakah sudah berubah seperti terakhir kali Mak keluar dari rumah kita,” ucap Aceh sembari membenarkan letak kerudung hitamnya.
“Tetapi ini sudah malam, Mak. Alangkah baiknya Mak tidur saja,” ucap Laot menyarankan. Ia punya alasan ketika melafazkan hal itu. Laot tidak mau ibunya sakit lagi sebab melihat kezaliman dan tercelanya perbuatan anak dan cucu-cucunya sekarang.
“Tidak apa, jika sudah mengantuk, kau tidurlah duluan, Laot.” Aceh tersenyum kepada satu-satunya anak yang tetap berada di sisinya sampai sekarang. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, Aceh melangkahkan kakinya keluar dari rumah gubuk reot mereka. Ini pertama kalinya bagi Aceh keluar dari rumahnya, mungkin terakhir kali sejak tsunami 2004 lalu.
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Aceh sampai di Blang Padang. Tempat yang dahulu pernah menjadi saksi bisu kebahagiannya bersama keempat anaknya. Dahulu tempat ini hanyalah sebuah hamparan padang rumput yang luas. Namun sekarang? Betapa terkejutnya Aceh melihat perubahan drastis di tempat ini. Aroma maksiat menyebar memenuhi Blang Padang. Dentuman musik kebarat-baratan menggelegar dan memekakkan pendengaran Aceh. Cucu-cucunya yang baru tumbuh remaja duduk berdua-duaan seperti tidak ada lagi keimanan di dalam jiwa mereka. Seharusnya cucu-cucunya tidak di sini. Seharusnya cucu-cucunya berada di bale-bale yang ditinggalkan Teungku Syiah Kuala dan belajar agama di sana. Anak-anaknya memang sungguh kelewatan, Aceh menggeram marah.
Angin malam berhembus sepoi-sepoi di bawah langit negerinya yang sedang dilahap kegelapan. Tubuhnya menggigil bagai dihunjam batu-batuan salju dan luka hatinya kembali terkoyak dan berdarah.
Selembar kertas putih kosong terbang dan terjatuh tepat di kaki Aceh. Aceh menunduk dan mengambil kertas putih tanpa coretan sedikit pun itu. Pikirannya kacau, Aceh mengambil sebilah rencong yang selalu terjepit di pinggangnya, lalu membuka sarungnya. Diam-diam Laot, Tanoh, Reusam, dan Hukom melihat apa yang sedang ibu mereka lakukan dari kejauhan. Ketika Aceh menyayat kulitnya dengan rencong, jantung mereka terasa perih. Ibu mereka pasti merasa sangat kecewa dengan mereka.
Orang-orang yang berada di Blang Padang menatap Aceh dengan tatapan bingung. Mereka bertanya-tanya dalam kebisuan, mengapa nenek tua itu menyayat tubuhnya sendiri?
Rupanya Aceh ingin melukisi kertas putih di tangannya dengan darah. Lukisan dengan warna merah semata. Merah yang pekat.
“Apa yang ada dalam lukisanmu, Nek?” Tanya sepasang kekasih kepada Aceh.
“Apa yang kau lihat?”
“Astaga, aku melihat orang-orang yang sedang dirajam.” Orang itu menjawab tak yakin, namun Aceh mengangguk.
“Itu adalah hukuman untuk orang-orang yang melakukan zina,” Selepas mengatakannya, Aceh pergi. Ia menyisakan tanya dalam wajah orang-orang yang mendengar percakapan keduanya.
Dengan sehelai kertas putih di tangannya, Aceh duduk di sebuah pohon rindang. Semua orang yang ada di Blang Padang tidak pernah melihat Aceh sebelumnya. Sehebat apa seniman yang mampu melukis dengan darahnya sendiri? Orang-orang di sana mengira Aceh mengalami sedikit keterbelakangan mental, atau mungkin mata tuanya telah berhalusinasi.
Aceh meletakkan kertas itu dan jemarinya menari begitu luwes, menyapu sudut kanan kertas hingga sudut kiri, dari atas ke bawah, dari tengah ke samping. Sesekali ia menyayat kulitnya lagi. Darah merah pekat mengalir lagi.
Dua orang anak kuliahan mendekati Aceh karena penasaran. Mereka memandang lekat pada lukisan itu. “Apa yang Nenek lukis?”
“Apa yang kalian lihat?” tanya Aceh pada kedua anak laki-laki beralmater tosca itu.
“Orang-orang membaca Al-Qur’an?”
Aceh hanya mengangguk.
“Tidak,” lelaki yang satunya lagi menimpali, “saya melihat hal lain.”
“Apa yang kau lihat?”
Laki-laki itu menatap lukisan pelik itu sekali lagi. ”Saya melihat orang-orang memeragakan tarian seudati dan beberapa lainnya melakukan tarian modern.”
Aceh diam dan hanya mengangguk, ia meneruskan kembali lukisannya dengan saksama. Lukisan itu memang tampak seperti lukisan biasa. Hanya ada warna merah di atas putih dengan pola abstrak. Apakah itu bisa disebut lukisan?
Namun, jika diamati dengan teliti, lukisan itu seolah mampu mengubah dirinya sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran orang-orang. Di antara orang-orang yang beraktivitas di lapangan Blang Padang, Aceh sibuk melukis. Tak ada hal lain yang ia kerjakan selain melukis. Ia tidak peduli hal lain selain lukisannya.
Kebanyakan orang mulai memperhatikannya. Mereka bergumam membicarakan pelukis yang katanya sangat aneh itu. Seorang remaja perempuan meneguhkan niat menghampiri Aceh. Ia merasa penasaran seperti apa lukisan itu hingga Aceh tidak pernah melepas pandangannya. Begitu mendekat, perempuan itu tampak mengernyitkan dahinya. Itu bukan lukisan, begitu batinnya. Perempuan itu hanya mendapati sehelai kertas yang terlihat basah dengan darah di beberapa tempat. Ia melihat Aceh menyayat kembali kulitnya jika darah di kertas itu sudah mengering. Tapi, begitu menutup matanya sedetik dan membukanya lagi, perempuan itu melihat peperangan antara orang Portugis dan orang Aceh.
“Sudah kukatakan, tidak ada apa-apa di lukisan perempuan tua itu,” kata seorang laki-laki berkaos biru kepada perempuan itu.
“Tidak, coba lihat menggunakan mata hatimu.”
“Ah, ngawur saja kerjamu,”
Laki-laki itu menggeleng sekali dan menatap lagi lukisan ganjil itu. Ia kaget melihat banyak orang menyanyikan lagu “Aceh lon sayang”, bagai video yang hidup dalam kertas berlumuran darah itu.
Lalu, ramai orang mulai berani mendekat. Mereka ingin melihat apa yang ada di dalam lukisan itu dengan mata hati mereka sendiri.
“Bukankah itu gambar tsunami 18 tahun yang lalu?” Seorang dari mereka berpendapat.
“Apanya tsunami? Bukankah itu gambar penduduk desa yang sedang melakukan sumang?” satu yang lain menimpali.
“Apa-apaan kalian ini, itu gambar orang-orang yang melakukan peusijuk.”
“Bukan, itu gambar pengadilan hukum jinayat.”
Begitulah kiranya orang-orang mulai berdebat perihal lukisan Aceh. Orang-orang tak akan pernah tahu, gambar apa itu sebelum mereka menyaksikannya sendiri.
***
Aceh ingin pulang, tubuhnya lelah, lalu ia berjalan tanpa melihat kanan dan kiri. Dari kejauhan, mungkin berjarak tiga meter, sebuah truk melesat dengan cepat, menabrak tubuh Aceh dengan keras. Pelakunya sendiri langsung melarikan diri.
Aceh terpental ke atas trotoar dengan keras. Kepalanya mengeluarkan banyak darah. Banyak sekali orang yang menyaksikan kejadian itu, tetapi mereka bergeming saja di tempatnya.
Aceh mencoba bangun dan bertahan. Dengan tangan yang susah digerakkan, Aceh mencoba mengambil lukisannya yang terlepas tidak jauh dari tempat ia terpental. Empat orang berlari dari arah berlawanan mendekati Aceh, perempuan tua yang malang itu.
“Mak ….” Salah satu dari mereka bergumam pelan.
“Maafkan kami ….” Aceh menoleh. Pandangannya jatuh pada keempat orang yang duduk di hadapannya.
“Laot, Hukom, Reusam, Tanoh …” Aceh menatap keempatnya bergantian.
“Kami tahu apa yang Mak lukis, bukankah itu gambar kami ketika kami semua masih kecil?” katanya kemudian.
Untuk pertama kalinya dalam berpuluh-puluh tahun yang lalu sebelum ketiga anaknya pergi, Aceh menarik ujung bibirnya, ia menepuk-nepuk pelan kepala keempat anaknya, ia menguatkan hatinya, ia yakin pasti ia bisa bertahan sedikit lagi.
“Kau benar, aku melukiskan kalian.”
Aceh menghela nafas. “Aku merindukan masa-masa ketika kita bersama setelah puluhan tahun kalian pergi meninggalkanku dan Laot. Namun, hari ini aku senang kalian semua ada di sini, di Blang Padang, di hari ulang tahunku.”
“Cucu-cucuku semua ada di sini,” Aceh menunjuk orang-orang yang menatap ke arahnya.
”Apa yang mereka lihat itu adalah potongan-potongan dari kisah hidup anak-anakku, Hukom, Reusam, dan Tanoh.”
“Puluhan tahun yang lalu mereka telah diculik oleh hawa nafsu, sehingga telah hancurlah negeri ini. Kalian lupa identitas tanah yang kalian pijaki, langit yang kalian junjung, hukum negeri ini, budaya negeri ini.”
Orang-orang di sana berubah pucat. Apa yang Aceh katakan sangat menampar jantung mereka. Mereka merasa bersalah. Selama ini mereka hidup dengan keegoisan, tidak ada lagi jiwa kebangsaan di dalam diri mereka. Tanah, budaya, hukum, bahasa, dan persatuan bahkan tidak ada lagi di dalam diri mereka. Dan mereka sangat tahu arah pembicaraan Aceh saat ini.
“Maafkan kami, Mak, kami menyesal telah meninggalkan Mak dan melakukan semua itu. Tolong maafkan kami, Mak, kami tidak ingin dihukum Tuhan karena telah durhaka kepadamu.” Tanoh, Reusam, dan Hukom bersujud di bawah kaki Aceh.
Aceh untuk kedua kalinya tersenyum. “Aku telah memaafkan kalian jauh sebelum kalian bersujud di bawah kakiku dan meminta maaf. Bangunlah, anak-anakku, berjanjilah untuk berubah.” Kemudian mata Aceh menyapu semua orang yang ada di tempat itu.
“Kurasa sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Aku sudah menghabiskan darahku untuk menyadarkan banyak orang tentang tanah, budaya, dan hukum yang ada di negeri ini.” Aceh sekali lagi menatap keempat anaknya.
“Anak-anakku, tolong peluk aku dengan erat, aku sangat mengantuk. Aku ingin bertemu dengan Tuhan.” Semua orang menyeka air mata haru. Mereka menyaksikan Aceh menutup matanya dengan bibir yang tersenyum.
Penulis: Syahrina Maghfirah
Siswa SMAN 3 Banda Aceh
Cerpen ini salah satu hasil kegiatan Bengkel Sastra tingkat SMA/sederajat yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Aceh pada 2022 lalu.