Balai Bahasa Provinsi Aceh

logo tut wuri handayani kemendikbud

Balai Bahasa Provinsi Aceh

Terbukanya Sebuah Jalan

Ilustrasi Jalan
Sumber : Pixabay

Allah itu selalu membantu hamba-Nya. Hal itu memang benar adanya karena itulah yang aku alami saat ini. Allah itu selalu membantu melalui hal yang tak pernah disangka-sangka oleh para hamba-Nya. Sesuatu yang memang tidak pernah kita duga dan bayangkan sebelumnya, dengan itulah Allah memberikan bantuan-Nya dan membukakan jalan kemudahan untuk kita. Kodrat manusia sebagai hamba adalah ikhtiar, doa, dan tawakal. Insyaallah, Allah akan memberikan kemudahan untuk segala urusan kita dan membuka jalan selebar-lebarnya untuk menuju jawaban yang kita harapkan dan nantikan selama ini.

****

 

Sudah 2 bulan berlalu semenjak awal semester baru dimulai. Waktu begitu cepat berjalan hingga tak terasa kini aku sudah duduk di bangku kelas 12 SMA, artinya tak lama lagi aku akan tamat SMA dan melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan.

 

Namaku Sabyla Laila Putri, biasanya akrab dipanggil Byla. Aku bersekolah di SMAN 1 Banda Aceh, tempat yang identik dengan para muridnya yang berasal dari keluarga terpandang, seperti pejabat, pengusaha, dan lain sebagainya.

 

Aku bukanlah murid yang berasal dari keluarga terpandang. Ayahku hanyalah seorang tukang bangunan kecil-kecilan dan ibuku adalah ibu rumah tangga. Aku memiliki seorang kakak yang berkuliah di Universitas Abulyatama, Fakultas Teknik Sipil. Aku memiliki dua orang adik lelaki, yang satu kini duduk di bangku kelas 2 SD dan satunya lagi masih berusia empat tahun.

 

Aku bersyukur karena akhirnya bisa bersekolah di SMA yang aku idamkan sejak kecil. Sebelumnya aku tidak yakin bisa diterima di sana karena daerah tempat tinggalku tidak termasuk ke dalam zonasi sekolah. Tapi, alhamdulillah melalui jalur prestasi dan karena mendapatkan surat rekomendasi dari kepala sekolah SMP-ku, akhirnya aku bisa diterima bersekolah di sana.

 

Hari ini adalah hari Senin, tanggal 15 Agustus 2022. Jam pelajaran pertama adalah mata pelajaran wali kelasku, bahasa Indonesia. Bu Ira bertanya kepada kami secara bergantian sesuai urutan absen tentang rencana kami ke depannya setelah tamat SMA. Ada yang ingin masuk kedokteran, kedinasan, abdi negara, teknik, dan bahkan ada juga yang belum menentukan pilihannya. Lalu, nomor presensi sampai pada nomor 27, berarti sekarang giliranku.

 

“Sabyla, kamu mau ke mana setelah tamat?” tanya Bu Ira.

 

“Hmm … Byla rencana sih mau ambil Jurusan Teknik Sipil, Bu,” jawabku.

 

“Oh, bagus. Rencananya mau ke universitas mana, Byla?” tanya Bu Ira lagi.

 

“Sebenarnya Byla ingin coba ambil jurusan Teknik Sipil di ITB, Bu. Tapi … ya gitulah, Bu. Jadi Byla mungkin bakalan coba di Unsyiah,” jawabku pelan.

 

“Ya gitu gimana, Byla?” tanya Bu Ira heran.

 

“Ibu yakin kamu pasti bakalan lulus kalau mencoba mendaftar di sana karena secara potensi kamu itu mampu. Nilai kamu bagus dan kamu juga sering ikut perlombaan dan memenangkannya,” papar Bu Ira.

 

“Bukannya nggak mau, Bu. Tapi terkendala soal biaya,” jawabku semakin kecil.

 

“Tapi kan kamu bisa daftar untuk mendapatkan beasiswa, Byla. Insyaallah kamu bisa dapat beasiswa itu,” ucap Bu Ira optimistis.

 

“Sebenarnya Byla juga berpikiran seperti itu, Bu. Cuma Mama sama Papa nggak setuju.” Aku menundukkan kepalaku, teringat kejadian beberapa hari yang lalu ketika aku mencoba berdiskusi dengan orang tuaku.

 

“Ma, kalau misalnya Lala mau coba kuliah ke luar gimana?” tanyaku kala keluargaku sedang bersantai di ruang tamu. Aku memanggil diriku dengan nama Lala karena itu semacam nama kesayanganku di rumah.

 

“Memangnya Lala mau coba kuliah di mana?” tanya Mama.

 

“Hmm … Lala rencananya mau coba daftar di ITB, Ma,” sahutku ragu.

 

“Kalau Mama sih juga mau kalau Lala kuliah di  perguruan tinggi yang bagus. Cuma, coba Lala pikirin lagi tentang keadaan kita. Mau dari mana semua biayanya, La?” jawab Mama.

 

“Tapi, Lala kan bisa coba daftar beasiswa, Ma. Lala juga dapat KIP Kuliah, jadi Lala mungkin juga bakalan dapat.” Aku menggigit bibir bawahku, menahan kegelisahan.

 

“Cobalah tanya sama Papa sana,” ucap Mama seraya menunjuk Papa yang hanya menyimak percakapan kami sejak tadi.

 

“Gimana, Pa? Boleh kalau Lala coba kuliah di luar kota?”

 

“Bukan nggak boleh, La. Kayak yang mamamu bilang tadi, mau dari mana semua biayanya? Sekarang kita untuk makan dua kali sehari aja udah bersyukur,” kata Papa.

 

“Apalagi Lala itu anak perempuan dan di sana kita nggak punya saudara, nggak punya siapa-siapa. Jadi, kalau ada sesuatu terjadi mau minta tolong ke mana, La? Udahlah, kuliah di Unsyiah aja yang dekat. Jadi, kalau ada apa-apa masih ada Mama Papa yang bisa bantu,” kata Mama.

 

“Tapi nanti di sana Lala coba cari kerja sampingan juga, Pa, Ma.” Aku masih berusaha meyakinkan orang tuaku. Aku semakin menggigit bibir bawahku, mencoba menahan tangisan.

 

“Ya udah, nanti aja kita diskusikan lagi. Tapi kalau saran Papa sama Mama sih memang lebih baik Lala di Unsyiah aja,” putus Papa.

 

Aku yang tak sanggup menahan tangisanku lagi akhirnya memilih masuk ke dalam kamar, menumpahkan semua emosiku yang sedari tadi aku tahan.

 

“Udah kamu coba bujuk orang tua kamu?” Bu Ira kembali bertanya dan membuatku terhenti dari pikiranku.

 

“Udah, Bu. Tapi, Mama sama Papa masih kekeh sama pendirian mereka supaya Byla kuliah di Unsyiah aja.”

 

Bu Ira menghela napasnya pelan. “Ya udah, kalau gitu nanti coba kamu bujuk lagi orang tua kamu, dan Ibu juga bakalan bantu sebisa Ibu untuk membujuk orang tua kamu,” putus Bu Ira. Aku pun menganggukkan kepala, mengerti. Bu Ira pun kembali melanjutkan bertanya kepada teman-temanku yang lain.

*****

 

Drrttt. Ponselku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Saat aku mengeceknya, ternyata itu adalah informasi dari grup kelasku. Bu Ira membagikan pemberitahuan bahwa besok, setelah salat Jum’at, sekolah kami akan ada kegiatan yang akan diselenggarakan oleh pihak Telkomsel tentang edukasi pemanfaatan teknologi digital.

*****

 

Keesokan harinya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Murid-murid sudah mulai kembali ke sekolah setelah selesai salat Jum’at. Kini di tengah lapangan upacara sekolahku sudah dipasang tenda dan panggung, lengkap dengan tempat duduk untuk acara yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Pihak Telkomsel sudah bekerja keras sejak pagi untuk lancarnya keberlangsungan acara nanti.

 

Akhirnya acara dibuka pukul dua lewat dua puluh menit, sedikit telat dari jadwal yang ditentukan. Acara itu berlangsung dengan sangat meriah. Banyak sekali games dan kuis yang dimainkan selama acara berlangsung. Hal itu membuat kami semakin antusias mengikuti acara tersebut, apalagi pada setiap games dan kuis yang dimainkan disediakan hadiah, seperti voucher paket internet mulai dari dua GB hingga dua puluh GB dan saldo Link Aja, mulai dari seratus ribu rupiah hingga tujuh ratus ribu rupiah.

 

Ternyata pihak Telkomsel mengundang seorang konten kreator Aceh, yaitu Kak Awin sebagai salah satu pemateri untuk acara tersebut. Kak Awin banyak memberikan inspirasi untuk kami agar memanfaatkan hobi bermain media sosial sebagai sumber penghasilan. Dan Kak Awin juga memberikan tips-tips untuk menjadi seorang konten kreator yang bisa mendapatkan penghasilan.

 

Acara itu benar-benar berlangsung meriah. Bahkan, walau jam sudah menunjukkan pukul lima sore, namun semangat kami seakan tak ada habisnya. Setelah sesi Kak Awin selesai kami kembali memainkan games seperti lari beregu menggunakan sarung, bawa bola, dan lain sebagainya.

 

Sekitar pukul setengah enam sore, pewara meminta kami untuk duduk di posisi semula. Pewara memberikan arahan bahwa sebentar lagi akan hadir tamu kehormatan di acara tersebut. Kami diminta untuk bangun dari duduk kami dan memberikan sambutan yang meriah ketika beliau telah sampai. Saat tamu kehormatan telah tiba, terdengarlah sambutan yang meriah dengan tepukan tangan yang sangat antusias dari kami semua. Tak disangka, ternyata tamu kehormatan tersebut adalah Pak Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN.

 

“Baik, adik-adik semua, mari kita kembali memberikan tepukan yang meriah untuk Pak Arya Sinulingga,” ucap pewara saat Pak Arya telah duduk di kursi yang disediakan.

 

Pak Arya pun disambut dengan tarian Peumulia Jamee dari sanggar Jeumpa Puteh, sanggar sekolahku. Tarian itu adalah tarian khas Aceh yang dimaksudkan sebagai sambutan untuk tamu dan tanda bahwa kami memuliakan tamu yang datang.

 

Setelah tarian selesai, acara kembali dilanjutkan dan dimulai dari kata sambutan kepala sekolahku. Sekitar sepuluh menit kemudian, kata sambutan dari kepala sekolah selesai, lalu dilanjutkan dengan sesi materi yang dipaparkan oleh Pak Arya.

 

“Baiklah, inilah sesi puncak yang kita tunggu-tunggu sejak tadi siang. Sambutlah Pak Arya Sinulingga,” ucap pewara mempersilahkan Pak Arya untuk naik ke atas panggung dan memberikan materi. Tepukan tangan meriah kembali terdengar saat Pak Arya menaiki panggung.

 

Di sesi materi, Pak Arya memberikan tips-tips dan motivasi agar kami bisa diterima di PTN yang kami inginkan. Pak Arya juga menceritakan sedikit tentang perjalanan beliau saat masa kuliah. Selain itu, Pak Arya juga membahas tentang beasiswa untuk kuliah.

 

Setelah sesi materi selesai, selanjutnya dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Siswa yang ingin bertanya dibatasi yaitu hanya untuk lima orang tercepat. Di antara kelima siswa itu, aku menjadi salah satu siswa yang beruntung karena diberi kesempatan untuk bertanya langsung kepada Pak Arya. Kami pun disuruh untuk naik ke atas panggung.

 

Aku mendapatkan sesi tanya jawab terakhir. Para siswa yang maju ada yang menanyakan tentang manajemen waktu antara sekolah dan organisasi dan lain sebagainya. Hingga tibalah giliranku yang bertanya. Pewara pun memberikan mikrofon kepadaku.

 

Usai memberi salam dan sedikit memperkenalkan diriku, aku segera bertanya kepada Pak Arya. “Jadi, tadi di sesi materi yang Bapak paparkan, Bapak ada menyinggung tentang beasiswa. Jadi Byla mau tanya, Pak. Seringkali pemikiran para siswa dengan orang tua mereka itu berbeda. Salah satunya tentang keinginan untuk bersekolah di luar kota. Mungkin benar yang Bapak katakan bahwa kami tidak usah takut jika ingin berkuliah di luar kota karena banyak sekali beasiswa yang tersedia.” Aku menghembuskan napasku pelan sebelum melanjutkan pertanyaanku, mencoba menahan tangisanku yang sudah mulai tertahan di pelupuk mata. Entah mengapa perasaanku terasa sesak ketika membahas permasalahan tersebut.

 

Aku pun kembali melanjutkan pertanyaanku. “Mungkin kami para siswa yakin bahwa kami bisa mendapatkan beasiswa. Namun, tidak dengan pemikiran orang tua kami. Mereka mengatakan lebih baik bersekolah di dalam kota sendiri saja karena sejumlah alasan. Walau kami mengatakan bahwa kami bisa mendapatkan beasiswa dan kami juga akan bekerja sampingan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup kami selama di sana.” Aku menghentikan pertanyaanku.

 

Aku menghapus air mataku yang mulai mengalir di pipiku. Padahal aku sudah berusaha menahannya sekuat tenaga untuk tidak menangis. Namun, topik ini adalah topik yang sangat sensitif bagiku. Pak Arya dengan sabar menunggu pertanyaanku. Setelah aku bisa sedikit mengontrol emosiku, aku kembali melanjutkan pertanyaan.

 

“Lalu, orang tua juga memberikan alasan lain yaitu tidak ada kenalan ataupun saudara yang ada di sana sehingga jika terjadi sesuatu tidak ada tempat untuk meminta bantuan. Apalagi kayak Byla yang anak perempuan. Sangat susah bagi mereka untuk mengizinkan Byla dengan kondisi tersebut.” Aku kembali menyapu air mataku yang mengalir dengan bebas.

 

“Jadi, kira-kira Bapak ada tips gimana supaya kami bisa meyakinkan orang tua kami bahwa pilihan kami itu memang sudah benar?” Akhirnya tangisan yang kutahan sejak tadi pecah juga. Aku menangis di depan semua orang. Aku terus berusaha menghapus air mataku dan berusaha menetralkan napasku agar tidak menangis lagi. Temanku yang juga diberi kesempatan untuk bertanya pindah ke sampingku dan mencoba untuk menenangkanku.

 

“Eh, udah, Byl. Jangan nangis lagi, Byl. Coba ingat monyet, ingat monyet,” tutur temanku yang bernama Bunga. Bukannya semakin reda, air mataku semakin mengalir deras.

 

“Eh, Byl! Kok malah makin nangis? Jangan nangis lagi, aku jadi panik, nih. Aku nggak bisa bujuk orang nangis!!” ucap Bunga panik. Mau tak mau aku sedikit tertawa dalam tangisku melihat tingkahnya itu.

 

“Sudah, tadi siapa nama kamu?” tanya Pak Arya dan membuat Bunga berhenti mencoba menenangkanku.

 

“Sa, Sa, Sabyla, Pak,” jawabku sambil sesenggukan.

 

“Sudah, kamu tenang, jangan nangis lagi. Sekarang kamu ambil ponsel kamu dan catat nomor saya,” ucap Pak Arya. Aku pun segera mengambil ponselku dari dalam saku rok dengan kondisi yang masih sesenggukan.

 

“Sekarang kamu catat nomor saya. Nomor ini cuma untuk Sabyla, ya,” ucap Pak Arya seraya melihat ke arah hadirin. Ucapan Pak Arya membuatku sedikit tertawa.

 

“Sudah?” tanya Pak Arya yang kubalas dengan anggukan. Pak Arya mulai menyebutkan nomornya dan aku pun mengetik setiap angka yang disebutkan Pak Arya. Setelah selesai aku pun menyimpan nomor beliau.

 

“Sabyla, nanti ketika kamu pulang ke rumah, bilang sama orang tuamu kalau untuk urusan biaya kuliah kamu biar saya yang tanggung,” ucap Pak Arya yang membuat tangisanku kembali pecah. Semua teman-temanku dan guru yang menyaksikan itu bersorak, ikut terharu. Saat ini aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku. Yang pasti aku sangat senang, terharu, dan lega.

 

“Terima kasih banyak, Pak,” ucapku berterima kasih.

 

“Tapi, dengan satu syarat. Kamu harus lulus dulu ke perguruan tinggi negeri. Tidak peduli di mana pun itu, kalau seandainya kamu berhasil lulus, saya pasti akan membiayai kuliah kamu,” ucap Pak Arya. Aku mengangguk mengerti. Aku pun kembali mengucapkan rasa terima kasihku kepada Pak Arya. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan rezeki seperti itu. Mungkin inilah jawaban yang selama ini aku nantikan.

 

Akhirnya acara itu berakhir sekitar hampir jam tujuh malam. Setelah acara selesai, teman-temanku dan para guru memberikan selamat kepadaku. Aku pun diminta untuk wawancara tentang perasaanku saat mendapatkan hal seperti itu. Setelah aku selesai wawancara aku pergi menemui Pak Arya yang sedang berbincang dengan kepala sekolahku.

 

“Terima kasih banyak, Pak,” ucapku seraya menyalami tangan beliau.

 

Pak Arya membalas dengan mengelus kepalaku dan memberikanku semangat untuk mengejar cita-citaku dan berhasil lolos di perguruan tinggi yang aku inginkan. Aku pun kembali mengucapkan terima kasih kepada Pak Arya sebelum beliau kembali.

 

Aku bergegas ke kelas untuk mengambil tasku dan segera pulang. Aku ingin menyampaikan berita bahagia ini kepada kedua orang tuaku. Tak lupa aku berpamitan dengan guru-guru dan teman-temanku. Sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya aku mengucapkan puji syukur kepada Allah. Memang benar Allah selalu membantu hamba-Nya, bahkan dengan cara yang tak pernah terduga, seperti yang kualami hari ini. Allah sudah membuka suatu jalan kemudahan untukku agar aku bisa meraih impianku.

 

 

Penulis: Sabyla Laila Putri

Siswa SMAN 1 Banda Aceh

 

Cerpen ini salah satu hasil kegiatan Bengkel Sastra tingkat SMA/sederajat yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Aceh pada 2022 lalu.

Tentang penulis