Banda Aceh, BBPA—Aceh merupakan provinsi paling barat Indonesia dan paling utara Pulau Sumatra. Provinsi yang berjulukan sebagai Serambi Mekkah ini memiliki beragam kekayaan, baik flora, fauna, budaya, serta bahasa. Namun, salah satu bahasa daerah di Provinsi Aceh, yakni bahasa Gayo masuk dalam kategori rentan (sedikit penuturnya) sejak tahun 2019 sehingga harus segera direvitalisasi agar terus lestari. Oleh karena itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) melalui Balai Bahasa Provinsi Aceh (BBPA) bersama Komisi X DPR RI menggelar Diseminasi Program Prioritas: Pelindungan Bahasa dan Sastra di Hotel Al Hanifi, Banda Aceh, Aceh pada 8—9 Mei 2023.
Berdasarkan data dari petabahasa.kemdikbud.go.id, Aceh memiliki tujuh bahasa daerah, yaitu bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Batak, bahasa Davayan, bahasa Jawa, bahasa Minangkabau, dan bahasa Sigulai. Bahasa Gayo yang kini berstatus rentan, dituturkan di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara; Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang; Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues; Kecamatan Silih Nara, Laut Tawar, Bebesan, Bintang, dan Linge, Kabupaten Aceh Tengah; Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah); dan Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
Penyebab kerentanan yang dihadapi oleh bahasa Gayo, antara lain, ialah sikap penutur jati yang merasa bahasa Indonesia dan bahasa asing lebih bergengsi; migrasi atau mobilitas sosial yang tinggi; perkawinan campuran atau antaretnis; serta globalisasi yang mengarah ke monolingualisme. Oleh karena itu, revitalisasi terhadap bahasa Gayo harus segera dilakukan.
“Komisi X DPR RI mendukung secara penuh pelaksanaan program prioritas Pelindungan Bahasa dan Sastra yang dilaksanakan oleh Badan Bahasa, seperti revitalisasi bahasa Gayo. Revitalisasi tersebut akan memberikan pemahaman terhadap masyarakat Indonesia, khususnya warga Aceh, atas pentingnya pelestarian dan pelindungan bahasa daerah. Bahasa daerah yang merupakan kekayaan bangsa yang harus dicintai dan terus dijaga keberadaannya. Oleh karena itu, seluruh jajaran pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi hingga kabupaten, perlu menjadikan revitalisasi bahasa daerah sebagai salah satu tujuan politik, kemudian, bekerja sama dengan BBPA untuk mengimplementasikannya,” ujar Illiza Sa’aduddin Jamal, anggota Komisi X DPR RI.
Tambah Illiza, “Saya sangat mengapresiasi Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, yang telah mengeluarkan instruksi gubernur (Ingub) nomor 05/INSTR/2023 tanggal 21 Maret 2023 tentang Penggunaan Bahasa Aceh, Aksara Aceh, dan Sastra Aceh. Ingub tersebut menjadi legalitas atas upaya pelindungan, pembinaan, dan pengembangan budaya, bahasa, dan sastra di Provinsi Aceh yang wajib dijalankan oleh bupati/wali kota, kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh, para kepala kantor wilayah kementerian dan nonkementerian, kepala biro sekretariat daerah Aceh, serta pimpinan BUMN, BUMA dan perbankan.”
Kini sedikitnya sehari dalam sepekan, yakni tiap hari Kamis, instansi-instansi di Provinsi Aceh sudah menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasinya. Selain itu, aksara Aceh juga digunakan pada penulisan nama kantor sebagai pelengkap dari penulisan nama dalam bahasa Indonesia. Aktivitas-aktivitas ini menjadi komitmen dan implementasi program Revitalisasi bahasa daerah (RBD) di Provinsi Aceh.
“Revitalisasi bahasa daerah (RBD) adalah kegiatan yang berkelanjutan dan membutuhkan kerja sama serta komitmen dari pemerintah daerah, swasta, sekolah, masyarakat, media, komunitas pencinta dan pemerhati bahasa. Pelaksanaannya terbagi atas lima tahap, yakni rapat koordinasi, diskusi kelompok terpumpun, diseminasi, pengajaran/pelatihan guru master dan pengimbasannya terhadap siswa serta festival tunas bahasa ibu (FTBI), ” sambung Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh, Umar Solikhan.
Ia juga menjelaskan bahwa Diseminasi Program Prioritas: Pelindungan Bahasa dan Sastra merupakan titik awal revitalisasi bahasa daerah agar penutur mudanya dapat 1) menjadi penutur penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah dengan menyenangkan; 2) menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah dengan penuh rasa sukacita; 3) menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan untuk mempertahankan bahasa daerahnya; dan 4) menemukan fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah.
Pelaksanaannya berlangsung selama dua hari dan dibagi atas dua lokus, yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Tiap lokus terdiri atas 120 orang peserta yang berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, pemerintah daerah tingkat provinsi, kota, hingga kabupaten, kepala sekolah, guru, pegiat bahasa dan sastra, budayawan, akademisi, mahasiswa, serta media.
“Usai diseminasi, BBPA akan melaksanakan tahap keempat, yakni pengajaran/pelatihan guru master/utama. Pada tahapan ini para guru akan diajarkan oleh penutur asli dan ahli bahasa Gayo agar dapat melakukan pengimbasan terhadap para siswa. Kemudian, para siswa diajak berlomba dengan menggunakan bahasa daerah, khususnya bahasa Gayo dalam FTBI tingkat sekolah, kabupaten, provinsi hingga nasional,” tutup Umar. (pad)