Sastra dan Masyarakat
Karya sastra merupakan gambaran ungkapan batin seorang pengarang yang disampaikan melalui tulisan. Gambaran yang dibahasakan oleh pengarang tidak lepas dari pengalaman hidup, pengalaman orang lain yang diceritakan kepada pengarang, atau pengamatan yang dilakukan sendiri oleh pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Kejadian atau peristiwa itu sangat memengaruhi kejiwaan seorang pengarang sehingga memungkinkan munculnya kegelisahan dalam batin pengarang. Kegelisahan itulah yang akan mendorong seorang pengarang menuangkan perasaan dan pikirannya ke dalam sebuah karya sastra.
Sebuah karya sastra juga tidak akan lepas dari pola pikir, ide, dan prinsip pengarangnya. Artinya sebuah karya sastra juga akan dipengaruhi oleh sudut pandang pengarang terhadap peristiwa dan cara pengarang dalam menghadapi dan menyelesaikan kegelisahan yang dialaminya. Dapat dikatakan bahwa karya sastra juga merupakan refleksi dari pengalaman dan pandangan pengarang terhadap suatu peristiwa. Ia memantulkan pandangan hidup yang diidealkan pengarang dari realita menjadi sebuah karya melalui proses kreatif yang imajinatif. Menurut Plato, dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia nyata yang sebenarnya juga merupakan tiruan terhadap dunia ide. Dengan demikian, apabila dunia dalam karya sastra membentuk diri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan.
Sebagai manausia, sastrawan tidak bisa melepaskan diri dari dunia tempatnya berpijak. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari gagasan, tindak-tanduk, dan benda-benda—yakni kebudayaan—yang dihasilkan manusia; ia pun ikut menghasilkan itu semua. Jadi, sastrawan adalah bagian kebudayaan dan sekaligus ikut menghasilkan kebudayaan. Tentu saja karya yang diciptakannya, yakni sastra, adalah dunia yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaannya. Sastra adalah dunia rekaan yang berpijak pada gagasan, tata nilai, dan kaidah yang telah membentuk dan sekaligus dibentuk sastrawan sebagia anggota masyarakat (Damono, 2009: 2)
Selain itu, seorang pengarang juga terkadang mengajak pembaca untuk berpikir memecahkan persoalan kehidupan dengan cara menggambarkan persoalan-persoalan kehidupan itu dalam karyanya. Bahkan, tidak jarang sebuah karya sastra dijadikan media untuk mengkritik tatanan sosial yang dianggap oleh pengarang tidak mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya disekitarnya.
Karya sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan di dalam masyarakat begitu saja. Akan tetapi, ia juga harus memberikan tanggapan bahkan kritikan atas realita sosial yang ada dalam masyarakatnya. Dalam karya sastra inilah, seorang pengarang mengeksplorasi kemampuannya dalam membangun cerita yang dapat menggambarkan keadaan sosial dan budaya di sekitarnya. Tidak jarang, seorang pengarang seolah-olah menjadi juru bicara masyarakat atau kalangan tertentu dalam mengungkapkan kegelisahan terhadap tatanan sosial dan budaya yang tidak sesuai dengan harapan kemanusiaan.
Apabila karya sastra digunakan sebagai media untuk mengekspresikan kritikan terhadap realita sosial dan budaya yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat maka karya sastra telah memainkan fungsinya sebagai salah satu alat kontrol sosial dan budaya.
Dibalik keindahan imajinatif dan keindahan bahasa, karya sastra mengandung kekuatan yang dapat digunakan untuk melayangkan kritik. Melalui karya sastra, seorang pengarang mampu memengaruhi pikiran dan emosi pembacanya sehingga ide dan gagasan yang disampaikan pengarang jadi tertanam dan bertumbuh dalam kesadaran pembaca.
Kritik Sosial
Menurut Abar kritik sosial adalah suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan salah satu bagian penting dalam memelihara sistem sosial. Berbagai tindakan sosial maupun individual yang menyimpang secara sosial maupun nilai moral dalam masyarakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial.
Bentuk kontrol sosial relatif beragam dan cara pengendalian sosial dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan koersif. Cara persuasif merupakan pengendalian sosial yang ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekerasan atau ancaman fisik. Dalam konteks sastra, karya sastra yang bermuatan kritik sosial termasuk dalam alat pengendalian sosial dengan cara persuasif karena lebih ditekankan pada usaha mengajak atau membimbing. Karya sastra adalah refleksi masyarakat tempat ia muncul. Oleh karena itu, karya sastra bukan sekadar karya imajinatif. Ia menangkap berbagai kondisi yang terjadi di sekitarnya. Satu hal yang penting adalah bagaimana karya sastra dapat digunakan sebagai alat kontrol sosial terhadap berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat.
Masalah sosial yang sering kita jumpai dalam masyarakat tentunya beragam. Soekanto (2010:365) melihat ada delapan masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat,yaitu: kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, generasi muda, peperangan, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, masalah kependudukan, dan masalah lingkungan didup. Sementara itu, Abdulsyani (2012:188—195) mengemukakan bahwa ada lima masalah sosial utama yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Masalah-masalah tersebut, yaitu: masalah kriminalitas, masalah kependudukan, masalah kemiskinan, masalah pelacuran (prostitusi), dan lingkungan.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menggambarkan beberapa masalah sosial yang tercermin dalam cerpen Seorang Nenek Tua karya W.S. Rendra. Hal ini karena tidak semua yang disebutkan oleh para ahli di atas tercermin dalam cerpen Seorang Nenek Tua yang akan penulis analisis.
Kritik Sosial dalam Cerpen “Seorang Nenek Tua”
Sinopsis
Nenek kadir telah berusaha keras untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan mereka. Bermacam pekerjaan dilakoni seperti menjual layangan berkeliling kota, mengasah pisau, gunting, sabit, atau alat tajam lainnya. Meskipun sudah berusaha keras tetapi hasil yang didapatkan hanya cukup.
Kadir hidup hanya dengan neneknya, dia tidak lagi memiliki ayah dan ibu. Tempatnya bersandar hanyalah neneknya. Ayahnya tidak diketahui siapa. Neneknya menyekolahkannya di sekolah yang kecil dan saat ini dia sudah kela IV. Suatu pagi neneknya mengajak Kadir untuk berkeliling kota di sore hari. Kadir merasa sangat senang mendengarnya. Nenek yang sudah sakit-sakitan tidak menampakkan masalah kesehatannya kepada Kadir. Nenek berusaha untuk lebih hemat. Nenek sadar suatu saat dia tidak akan mampu lagi untuk mencari nafkah jadi nenek berusaha untuk menabung penghasilannya. Ternyata Kadir menyadari bahwa Nenek sedang sakit. Timbul pikiran Kadir untuk membelikan obat untuk neneknya. kemudian Kadir bekerja lebih keras lagi untuk membelikan obat untuk neneknya. Setelah Nenek meminum obat, Nenek mengatakan kepada Kadir bahwa mereka tidak perlu lagi memikirkan obat-obat itu. Mereka cukup memikirkan yang indah-indah seperti kue yang ada di toko itu. Mendengar itu, Kadir jadi terpikir untuk membelikan kue itu untuk neneknya. Kadir lalu pergi kegedung bioskop untuk mencatut karcis. Dia menjumpai temannya yang bernama Seno yang sudah sering mencatut karcis. Kadir merengek-rengek kepada Seno agar Seno memberikan dia tempat untuk mencatut karcis. Seno adalah remaja yang sudah mulai dewasa dan berbadan tegap. Orang-orang segan kepadanya. Ketika pintu bioskop dibuka orang-orang ramai masuk. Tiba-tiba lengan Kadir dipegang oleh polisi. Kadir terkejut dan ketakutan apalagi setelah polisi tau bahwa dia adalah pencatut karcis. Kadir meronta-ronta meminta untuk dilepaskan, tetapi polisi itu tidak mau melepaskan Kadir. Kejadian itu dilihat oleh Seno dan memanggil pencatut-pencatut laianya untuk menyelamatkan Kadir sehingga terjadi keributan. Di tengah keributan itu Kadir lari ke seberang jalan, tetapi di tengah jalan, dia ditabrak oleh motor dan mati. Sementara Nenek yang sakit dan khawatir kepada Kadir berusaha untuk mencari cucunya itu, tetapi dengan kondisi yang lemah itu tiba-tiba ia roboh dan mati.
Melalui cerpen ini, pengarang berusaha untuk menggambarkan keadaan kehidupan di suatu masyarakat. Pengarang mengangkat masalah sosial dan hal-hal yang memengaruhinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam analisis berikut.
1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan suatu keadaan seseorang, keluarga, maupun masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagaia kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Kebutuhan hidup yang pokok tersebut antara lain pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Dalam cerpen Seorang Nenek Tua karya W.S. Rendra ini paling tidak tergambarkan beberapa di antara kategori kemiskinan tersebut. Hal itu dapat dilihat dari kutipan isi cerpen berikut.
Suatu kali, waktu pulang dari berjualan layang-layang, mereka melewati sebuah toko roti. Tiba-tiba nenek memandang lemari tempat kue-kue dengan mata yang lebar. Kadir heran, apakah nenek mau membeli kue-kue itu. Namun, itu tidak mungkin. Itu seuatu perbuatan yang gila-gilaan. Uang mereka hanya cukup, dan untuk membeli kue-kue itu haruslah ada uang yang lebih. Itu mereka tidak punya. Kadir bertanya-tanya dalam hati.
“Kadir, kau lihat kue-kue itu? Yang besar dan berkembang-kembang itu? Kau lihat?
Waktu bicara itu mata nenek bersinar-sinar dan, “astga,” ia menitik air liurnya…(hal.153)
Pagi itu nenek bermaksud lebih giat mencari pekerjaan mengasah pisau, gunting, sabit, dan lain-lain. Namun, yang dicapainya tak lebih dari yang sudah-sudah…(hal. 155)
Dari kutipan cerpen di atas, kita dapat melihat bagaimana seorang nenek tua menahan keinginannya untuk merasakan nikmatnya roti-roti yang berada di dalam toko yang mereka lewati. Keinginannya itu harus ia tahan karena tidak memiliki uang. Sekeras apa pun ia bekerja ia tidak dapat memenuhi keinginannya. Bahkan untuk makan sehari-hari, ia harus berusaha keras.
Melalui cerpen ini pengarang berusaha menggambarkan keadaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Keadaan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Hidupa dengan penghasilan yang pas-pasan dan harus berusaha keras walaupun dengan kondisi fisik yang sudah tua dan sakit-sakitan.
2. Kejahatan
Kejahatan atau kriminalitas tumbuh karena adanya berbagai ketimpangan sosial, yaitu adanya gejala-gejala kemasyarakatan. Seperti krisis ekonomi, adanya keinginan-keinginan yang tidak tersalurkan, tekanan mental, dendam, dan sebagainya. Dengan pengertian lain yang lebih luas, kejahatan timbul karena adanya perubahan masyarakat dan kebudayaan yang teramat dinamis dan cepat. Kejahatan tidak hanya disebabkan oleh disorganisasi sosial dan anomali, tetapi juga disebabkan oleh hubungan antarvariasi keburukan mental dengan variasi sosial.
Tindakan kejahatan tidak hanya bisa tumbuh dari dalam diri manusia, tetapi juga dapat tumbuh dari tekanan-tekanan yang datang dari luar, seperti pengaruh pergaulan kerja, pergaulan dalam lingkungan masyarakat tertentu, dan tekanan yang disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut,
Akan tetapi, sebenarnya di dasar hatinya ada sesuatu yang ia katakan dan minta dipahami cucunya. Namun, ia tak berani mengeluarkanya. Ia tak berani berkata, “ya, cucuku, nenek sangat menginginkannya. Kue macam itu adalah impian si miskin dan bukan makanan si miskin. Jadi, akan kuimpikan saja ia senikmat-nikmatnya.(hal.158)
Lalu ia pergi ke pasar pon. Ke gedung bioskop. Ia bermaksud mencatut karcis bioskop…(hal.158)
Ia dapat tahu dari Seno, tetangganya, film yang diputar itu bagus. Orang berdesak-desak akan membeli karcis meskipun loket belum dibuka. Segera ia mendapatkan Seno, merengek-rengek meminta tempat. Seno memberinya tempat di belakangnya. Orang-orang di daerah belakang jadi gusar. Namun, biasanya orang segan-segan terhadap pencatut karcis bioskop. Dan lagi, Seno sudah hampir dewasa, badannya besar dan tegap…(hal.158-159)
Lalu, Kadir menceritakan tentang neneknya. Bagaimana si nenek sakit, bagaimana si nenek menginginkan kue yang berkembang-kembang, bagaimana ia memimpikan hal itu, dan sebagainya.
“Mmm” kata Seno, “ memang hal itu yang biasa. Kau tahu, Kadir, keinginan itu seperti bara api. Kelihatannya sudah padam. Tetapi, suatu saat tiba-tiba ia membara lagi. Ia harus diberi sesuatu yang membikinnya tampak padam…(hal:159)
Dari kutipan cerpen di atas dapat dilihat bahwa keputusan Kadir melakukan pencatutan karcis bioskop disebabkan keinginannya untuk memehuhi keinginan nenek tua memakan kue yang berkembang- kembang itu.
3. Masalah Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggota keluarga gagal memenuhi kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya. Salah satu bentuk yang menyebabkan terjadianya disorganisasi keluarga adalah terjadinya kelahiran diluar nikah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut,
Kadir sudah tak berayah-ibu lagi. Lebih tepat, ia sudah tak beribu lagi. Sebab, siapa ayahnya itu memang sebuah teka-teki. Ia tak berkeluarga yang lain. Jadi, ia hidup saja dengan neneknya yang miskin dan sudah tua itu. Neneknya menyekolahkannya ke sekolah yang kecil. Dan, sekarang ia kelas IV.
Dari kutipan cerpen tersebut dapat kita lihat terjadinya disorganisasi keluarga akibat ketidakhadiran seorang ayah yang seharusnya menjadi tumpuan hidup kadir. Dari cerpen tersebut kita mendapat gambaran bahwa kadir kemungkinan besar adalah anak yang lahir di luar nikah. Apakah itu kerena perkosaan, pelacuran, atau karena suka sama suka.
4. Masalah lingkungan hidup
Lingkungan hidup meliputi hal-hal yang ditimbulkan oleh interaksi antara organisme dengan lingkungan. Organisme hidup terdiri dari manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketiga aspek ini secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Manusia merupakan unsur yang peling dominan dalam lingkungan hidup. Manusia memiliki kemampuan untuk bertambah secara kuantitatif dan berkat akal pikirannya manusia mampu meningkatkan diri secara kualitatif. Karena manusia merupakan faktor yang dominan, sasaran pun tertuju pada pengaruh timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Tetapi bukan hanya itu, pengaruh timbal balik itu juga terjadi antara manusia itu sendiri sehingga menimbulkan masalah sosial.
Dalam cerpen Seorang Nenek Tua digambarkan adanya hubungan timbal balik lingkungan hidup antara manusia dengan manusia. Dalam hal ini tergambar dari tindakan kadir yang mencatut karcis bioskop. Kadir mencatut karcis bioskop bukan hanya karena memenuhi keinginan neneknya, tetapi juga disebabkan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari dua alasan berikut: pertama, Kadir tidak akan mencatut karcis bioskop apabila disekitarnya tidak ada gedung bioskop. Kedua, Kadir tidak akan mencatut karcis bioskop jika dia tidak diberikan tempat oleh Seno. Ketiga, Kadir tidak akan mencatut karcis bioskop apabila Seno tidak meyakinkannya. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan cerpen berikut,
Lalu, cepat ia pergi ke pasar pon. Ke gedung bioskop. Ia bermaksud mencatut karcis…
Ia dapat tahu dari Seno, tetangganya bahwa film yang diputar itu bagus. Orang berdesak-desak akan membeli karcis meskipun loket belum dibuka. Seno, tetangganya yang sering mencatut itu, sudah ada di dekat loket. Segera ia mendapatkan seno, merengek-rengek minta tempat. Seno memberinya tempat di belakangnya. (hal:158)
“Terima kasih kau beri tempat, Seno.”
“enak jadi pencatut karcis, bukan? Sebaiknya, kau biasakan saja mencatut karcis. Itu mendatangkan banyak untung.”
“Tak mungkin, Seno, aku takut polisi.”
Ah polisi tidak akan berani melawan kami. Kami selalu mengeroyok.”
“itu belum tentu. Lagi pula, guru saya melarang juga. Nenekku pun melarang.”
“tetapi, sekarang kau tidak memedulikan larangan itu, ya?”(hal:159)
Dari kutipan cerpen di atas dapat dilihat bahwa pengaruh lingkungan hidup sangat besar dalam membentuk perilaku seseorang tidak peduli apakah itu dewasa atau anak-anak. Karena interaksi dengan lingkungannya, setiap individu bisa saja terpengaruh meskipun sudah ada batasan atau norma yang telah tertanam dalam dirinya.
5. Pelanggaran Norma Masyarakat dan Agama
Secara etimologi, kata norma berasal dari bahasa Belanda, yaitu norm yang artinya patokan, pokok kaidah, atau pedoman. Namun, beberapa orang mengatakan, istilah norma berasal dari bahasa latin mos yang artinya kebiasaan, tata kelakuan, atau adat istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) norma merupakan aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendalian tingkah laku yang sesuai dan berterima. Norma juga dapat diartikan sebagai ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat.
Pelanggaran norma tidak secara eksplisit digamabarkan dalam cerpen Seorang Nenek Tua. Pelanggaran norma ini hanya didapat secara implisit melalui cerita yang menyebutkan bahwa Ayah Kadir merupakan sebuah teka teki, tetapi walaupun demikian, kenyataannya dalam masyarakat, realita seperti itu masih sering kita jumpai, seperti dalam kutipan cerpen berikut:
Kadir sudah tak berayah-ibu lagi. Lebih tepat, ia sudah tak beribu lagi. Sebab, siapa ayahnya itu memang sebuah teka-teki. Ia tak berkeluarga yang lain. Jadi, ia hidup saja dengan neneknya yang miskin dan sudah tua itu.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kemungkinan besar Kadir lahir dari hubungan di luar nikah yang menyebabkan disorganisasi keluarga karena tidak hadirnya sosok ayah dalam kehidupan Kadir. Selain itu, dalam kutipan cerpen ini juga menggambarkan adanya pelanggaran norma agama, yaitu perzinaan.
Dalam cerpen ini, W.S. Rendra berusaha untuk menampilkan keadaan sosial di suatu masyarakat. Bagaimana masyarakat kecil yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menjalani dinamika kehidupan mereka. Di sini, Rendra menjadikan karya sastra sebagai perekam realita kehidupan masyarakat dan berusaha untuk menggugah hati pembaca untuk senantiasa memiliki empati terhadap orang-orang di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta : Gramedia.
_______. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Djamal, M. 2015. Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
KBBI. 2020. Kamus Besar Bahasa Indonesia V. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Rendra, W.S. 2017. Kumpulan Cerpen Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu. Jakarta: Bentang Pustaka.
Swingewood, Alan dan Diana Laurenson. 1972. The Sociology of Literature. London: Granada Publishing Limited.
Riadi, Muchlisin. 2016. Pengertian dan Masalah Kritik Sosial. Diakses 8 Juli 2023 dari https://www.kajianpustaka.com/2016/03/pengertian-dan-masalah-kritik-sosial.html
Nurdyanya. 2018 . BiografiW.S.Rendra-PenyairIndonesia. Diakses 8 Juki 2023. dari
https://www.biografiku.com/biografi-ws-rendra
Tulisan berikut adalah hasil karya Sabrun Jamil Tanjung, S.S., Pengkaji Kebahasaan dan Kesastraan di Balai Bahasa Provinsi Aceh