Oleh: M. Rafli Al Thoriq Mustafa dan As Shifa Salsabil Duta Bahasa Provinsi Aceh 2023
Celetukan itu terdengar dari seorang ibu muda sambil menggendong anaknya di bibir pantai yang menjadi saksi kedahsyatan tsunami Aceh. Di antara samar-samar suara gulungan ombak yang menyapu Pantai Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, terdengar pembicaraan tentang anak mereka yang meminta masuk sekolah. Nasib pendidikan anak-anak di wilayah pesisir Aceh memang masih diselimuti kegalauan. Betapa tidak, mereka yang semestinya menikmati pendidikan di bangku sekolah justru harus bertarung nyawa di lautan. Anak-anak pesisir Aceh harus merelakan masa bermain dan belajarnya untuk mencari ikan.
Kebetulan kami baru saja pulang dari Balai Bahasa Provinsi Aceh. Menyempatkan mampir menikmati elegi senja sembari berdikusi tentang Kartu Tamita. Obrolan para ibu muda itu tentu mencuri perhatian kami. Sesaat setelah menyimak pembicaraan mereka, kami tertarik untuk turut serta. Diawali dengan mengenalkan diri, kami mencoba bertanya, di mana anak-anak mereka sekarang. Tanpa menjawab, salah seorang dari mereka justru bertanya balik kepada kami, “Dari Duta Bahasa, ya?”
Samir yang masih kami genggam rupanya terlihat oleh ibu tersebut.
“Dik, anak kami sekarang harusnya sudah kelas lima atau enam SD. Tetapi karena tidak ada biaya mereka tidak sekolah,” ungkap ibu muda dengan bahasa sederhana. “Kalian bisa tidak bantu anak-anak kami?” imbuhnya. Seketika kami tertegun, awalnya ingin berdiskusi tentang krida Kartu Tamita yang telah dilaksanakan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kelas II Banda Aceh. Namun, mendengar curahan hati ibu tersebut kami berpikir untuk melaksanakan juga krida Kartu Tamita di wilayah pesisir Aceh.
“Siap, sangat bisa, Bu!” serentak kami menjawab dengan penuh keyakinan. Ketimpangan pendidikan anak-anak di Aceh khususnya wilayah pesisir memang sangat memprihatinkan. Ketua Tim Pansus Kualitas Pendidikan Aceh, H. Ali Basrah mengatakan, dibentuknya Tim Pansus oleh DPR lantaran masih rendahnya kualitas pendidikan di Aceh.
Riuh anak-anak yang kegirangan menarik jala berisi penuh ikan dari kejauhan, sempat mengalihkan pembicaraan kami. “Bagaimana caranya, Dik, supaya anak kami bisa belajar sambil bermain?” tatap seorang ibu muda. Dengan bahasa sederhana, kami menjelaskan bahwa Duta Bahasa Provinsi Aceh memiliki program kebahasaan yang bernama Kartu Tamita.
Kartu Tamita merupakan akronim dari ‘Tantangan Merangkai Kata’. Krida yang fokus meningkatkan kemampuan literasi kebahasaan anak-anak melalui pendidikan nonformal. Tujuannya agar mereka mampu menyusun kata menjadi kalimat sesuai strukturnya. Setidaknya, mereka mampu mengenali kata ke dalam kategori subjek, predikat, objek, maupun keterangan.
Kartu Tamita adalah permainan yang dapat mendorong anak-anak memahami materi struktur kalimat. Materi tersebut akan mudah dipahami jika langsung melakukan praktik melalui permainan menyusun kata. Harapannya, permainan edukatif ini mampu meningkatkan kecakapan literasi kebahasaan anak-anak pesisir.
Penjelasan kami terhenti ketika tiba-tiba seorang ibu paruh baya datang tergesa-gesa. Sembari membawa piring berisi timphan (kudapan khas Aceh yang terbuat dari tepung, nangka, serta parutan kelapa) dan teh dingin dalam sebuah teko, ibu itu menyela, “Ada apa ini, Dik? Mau mendata masyarakat miskin, ya?”
Sontak kami semua tertawa. Kami harus kembali mengenalkan diri dan mengajak ibu itu untuk ikut berbincang sambil menyantap kudapan yang dibawanya.
Pembicaraan kembali berlanjut, raut penuh harap terpancar dari ibu-ibu yang pendidikan anaknya dibayangi kegalauan. Mereka senang ketika mengetahui ada permainan Kartu Tamita yang tidak hanya memberi edukasi, tetapi juga menjadi sarana bermain bagi anak mereka. Kami sadar bahwa hal yang sama pasti juga dirasakan oleh anak-anak pesisir Aceh lainnya.
Pecahan ombak pantai sesekali menjilati kaki kami, tidak terasa air terus saja pasang. Senja akan segera turun, matahari mulai bergulung mengubah lukisan lirih di langit menjadi makin keperakan. Kami harus pamit sore itu, tetapi akan kembali lagi besok petang untuk mengajak anak-anak pesisir belajar sambil bermain Kartu Tamita. Tidak sabar rasanya ingin berkenalan dan mengajak mereka belajar bersama. “Terima kasih, Dik. Besok sore akan kami kumpulkan anak-anak di sini,” pungkas ibu muda itu.
Kartu Tamita merupakan permainan edukatif yang digagas oleh Duta Bahasa Provinsi Aceh sebagai media pembelajaran merangkai kata. Hal tersebut tujuannya agar anak-anak dapat berkomunikasi menggunakan kalimat yang tersusun rapi. Sebelum bermain, anak-anak akan diberikan materi literasi kebahasaan tentang susunan kalimat. Setelah itu, mereka akan diajak bermain Kartu Tamita untuk mempraktikkan materi yang telah diberikan. Permainan edukatif ini akan merangsang ingatan anak-anak tentang materi susunan kalimat.
Hari telah berganti, senja kembali memamerkan kemewahannya. Janji kepada anak-anak pesisir Pantai Syiah Kuala harus ditepati. Hamparan pasir putih menyambut kedatangan kami bersama Ikadubas (Ikatan Duta Bahasa Provinsi Aceh). Ternyata anak-anak sudah duduk berkumpul menunggu kehadiran kami. Jika ditaksir sekitar 25 anak dengan rentang umur tujuh hingga sebelas tahun sudah tidak sabar ingin belajar. Sesekali mereka tersenyum malu dan saling berbisik ketika mengetahui kami membawa kudapan. Seolah sudah tahu kalau kudapan itu akan dibagikan kepada mereka.
Setelah memperkenalkan diri, kami mengajak anak-anak untuk melakukan selingan ringan. Takbutuh waktu lama untuk mengakrabi mereka. Kegiatan kami awali dengan membagikan lembar tes awal kepada anak-anak. Hasil tes awal akan kami gunakan untuk mengukur pemahaman mereka sebelum diberi materi literasi kebahasaan.
Mereka menjawab soal dengan antusias meskipun terdapat lima anak yang belum lancar membaca. Teman-teman Ikadubas dengan sigap membantu agar mereka yang terkedala dapat menjawab tes awal dengan lancar. Setelah 15 menit melaksanakan tes awal, kami mulai mengenalkan krida Kartu Tamita dan menjelaskan materi literasi kebahasaan. Anak-anak serius menyimak bagaimana cara membuat kalimat dengan pola SPOK. Kecakapan mengenal dan membuat kalimat dengan susunan yang benar dapat membantu mereka mengidentifikasi kata sesuai polanya.
Pemahaman literasi dapat membantu mereka meningkatkan taraf kehidupan. Nantinya mereka dapat menjual hasil tangkapan ikan ke pasar yang lebih luas dengan memanfaakan teknologi. Untuk itu, tentu mereka harus mempunyai kecakapan komunikasi secara verbal maupun nonverbal dengan baik. Kartu Tamita adalah bagian dari upaya mengembangkan kemampuan anak dalam membuat kalimat berpola SPOK untuk menunjang kemampuan komunikasi yang baik.
“Siapa yang sudah tidak sabar ingin bermain Kartu Tamita?” tanya kami kepada semua anak.
“Kami, kami, kami, Kak!” jawab anak-anak dengan penuh kegembiraan. Anak kecil mana yang tidak semangat jika diajak bermain? Semangat untuk belajar dan bermain sebenarnya adalah representasi mimpi mereka untuk bersekolah. Melihat antusiasme yang tinggi kami kemudian menjelaskan cara bermain Kartu Tamita.
Kartu Tamita dimainkan secara berkelompok dengan dibantu seorang pemandu dari Ikadubas. Setiap kelompok yang terdiri atas lima anak dibagikan satu set Kartu Tamita yang berisi empat puluh kartu kata dan kartu aksi. Kartu kata berisi berbagai kata yang berpola SPOK. Sedangkan, kartu aksi berisi aksi bom, aksi hentikan lawan, aksi tameng, dan cermin. Masing-masing pemain akan mendapatkan lima kartu yang telah diacak oleh pemandu. Urutan pemain akan ditentukan dengan melakukan Apom (permainan tradisional Aceh seperti hompimpa).
Pemain pertama harus menemukan kartu subjek dari kartu yang dimilikinya untuk diletakkan di papan permainan. Jika kartu subjek tersebut tidak ada, maka pemain pertama harus mengambil satu kartu dari sisa kartu yang telah diacak. Permainan dilanjutkan oleh pemain kedua untuk mengisi satu pola SPOK yang belum terpenuhi. Permainan terus berlanjut hingga kartu di papan permainan penuh membentuk kalimat berpola SPOK. Pemain yang dapat mengisi satu pola di papan akan mendapatkan lima poin.
Tidak hanya kartu kata, pemain juga dapat meletakkan kartu aksi di papan permainan. Kartu aksi digunakan untuk menyerang lawan atau bertahan. Pemain yang mendapat serangan dari lawan akan kehilangan dua puluh nilai. Pemain yang dapat menghabiskan kartunya paling cepat keluar sebagai pemenang pertama. Pemenang selanjutkan akan ditentukan dari akumulasi nilai setelah permainan berkakhir. Permainan akan berakhir jika tidak ada lagi kartu yang dapat dimainkan.
Pemberitahuan terkait aturan permainan dan materi kebahasaan telah dikemas dengan tampilan menarik dalam set Kartu Tamita. Anak-anak akan dengan mudah memahami aturan permainan dan ringkasan materi literasi kebahasaan. Kata-kata pada Kartu Tamita juga berupa informasi mercu tanda di Aceh seperti tempat bersejarah, objek wisata, dan kebudayaan. Di samping merupakan permainan edukatif, Kartu Tamita juga sebagai media promosi kearifan Provinsi Aceh.
“Hore, aku menang!” teriak salah satu anak di kelompok kami. Anak itu melompat kegirangan karena mampu menyelesaikan permainan. “Kak, terima kasih, ya! Boleh kartunya kami bawa pulang untuk main di rumah?” pintanya. Kebahagiaan mereka merupakan semangat untuk kami terus berbagi ilmu literasi kebahasaan. Setelah bermain, anak-anak dibagikan lembaran untuk kembali mengikuti tes akhir. Tes akhir bertujuan untuk mengukur perkembangan pemahaman mereka setelah diberikan materi dan bermain Kartu Tamita.
Literasi kebahasaan merupakan program prioritas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Anak pesisir yang kerap dicap sebagai kelompok marginal juga berhak mendapat pendidikan literasi kebahasaan. Dari ujung barat Indonesia, Kartu Tamita hadir menemani petualangan anak-anak pesisir menjemput mimpi. Semburat surya di Pantai Syiah Kuala telah membangkitkan asa untuk anak bangsa, menuju Indonesia emas 2045. Dari tanah Serambi Makkah, kami mengabdi bagi dunia literasi dan bahasa.