Bahasa Haloban adalah bahasa ibu yang dituturkan oleh Suku Haloban di Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Bahasa ini digunakan di pusat ibu kota kecamatan, yaitu Desa Haloban dan Asantola, sementara dua desa lainnya menggunakan Bahasa Nias. Bahasa Haloban merupakan warisan leluhur yang dilestarikan dari generasi ke generasi.
Namun, seiring perkembangan zaman, penggunaan Bahasa Haloban mulai menurun dan semakin jarang dituturkan oleh masyarakat, khususnya generasi milenial. Generasi milenial, yang lahir antara tahun 1981-1996 (sekarang berusia 24-39 tahun), lebih cenderung menggunakan Bahasa Aneuk Jame daripada bahasa asli mereka. Hal ini terjadi karena pengaruh bahasa luar yang masuk ke pulau tersebut, kebiasaan lawan bicara menggunakan Bahasa Aneuk Jame, serta kurangnya upaya untuk membiasakan percakapan dalam Bahasa Haloban di lingkungan keluarga dan masyarakat, baik oleh orang tua, saudara, sahabat, maupun tokoh adat.
Padahal, Bahasa Haloban adalah warisan yang harus dijaga kelestariannya agar tidak terkikis oleh perkembangan zaman. Bahasa ini adalah identitas yang unik, yang memungkinkan kita mengenali asal-usul seseorang. Selain itu, bahasa ini dapat dikenalkan kepada orang lain sehingga jumlah penuturnya dari luar daerah bisa bertambah.
Namun, kondisi saat ini sangat memprihatinkan. Pengguna aktif Bahasa Haloban hanya berasal dari kalangan orang tua, sedangkan generasi milenial lebih sering menggunakan bahasa lain. Akibatnya, ketika mereka ingin kembali menggunakan Bahasa Haloban, mereka merasa kaku dan banyak yang berpotensi melupakan pelafalan, bahkan sering salah dalam penggunaan kata.
Kebiasaan ini tercermin dari bahasa tubuh generasi milenial. Ketika orang tua berbicara menggunakan Bahasa Haloban, generasi muda cenderung membalas dengan Bahasa Aneuk Jame. Bukan karena mereka tidak mengerti, tetapi karena mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa lain. Hal ini menyebabkan banyak orang tua akhirnya mengorbankan Bahasa Haloban demi mengikuti gaya bahasa anak-anak mereka agar komunikasi lebih lancar, bahkan menjadikan Bahasa Aneuk Jame sebagai bahasa pertama dalam keluarga.
Akibatnya, hal ini berdampak pada forum masyarakat adat. Dulu, Bahasa Haloban digunakan dalam acara-acara sakral, namun kini sudah tidak lagi. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, kurangnya penutur Bahasa Haloban dipastikan akan menyebabkan bahasa ini punah, terutama di kalangan generasi Z, yang lahir antara tahun 1997-2012 (sekarang berusia 8-23 tahun).
Dahulu, Bahasa Haloban sangat sering digunakan oleh semua kalangan, mulai dari orang tua, remaja, hingga anak-anak. Penggunaannya bukan hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam acara resmi, forum adat, dan acara keagamaan, yang menjadikannya suatu kebanggaan. Namun, berbeda dengan kondisi saat ini, di mana mayoritas generasi milenial tidak lagi terbiasa menuturkannya. Seharusnya, kita bangga memiliki karakter dan kekayaan budaya tersendiri.
Jika dilihat dari segi penggunaannya, Bahasa Haloban sangat sederhana dan mudah dimengerti, tidak sulit untuk diucapkan. Yang menarik, hampir semua kosakata Bahasa Haloban dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan iramanya pun khas, sehingga menarik perhatian saat diucapkan. Namun, penulisannya berbeda dari cara pengucapannya, dan itulah salah satu keindahan Bahasa Haloban. Bagi pemula yang ingin mempelajarinya, hanya butuh beberapa bulan tinggal di desa untuk bisa lancar berbahasa Haloban. Namun, penulisannya secara efektif agak lebih sulit.
Dahulu, hampir setiap orang yang berkunjung ke Pulau Banyak Barat dapat dengan cepat mengerti dan menggunakan Bahasa Haloban, karena masyarakat setempat aktif mempraktikkannya. Banyak pendatang yang memilih tinggal di desa ini dengan cepat beradaptasi dan lancar menggunakan Bahasa Haloban, walaupun terkadang iramanya berbeda. Namun, berbeda dengan generasi milenial setempat, yang justru dengan mudah meninggalkan bahasa tersebut dan membiasakan diri menggunakan bahasa lain. Hal ini adalah salah satu masalah dasar yang harus dievaluasi di masa mendatang. Sangat disayangkan jika bahasa ini punah, mengingat Bahasa Haloban sudah digunakan oleh masyarakat setempat selama puluhan tahun, bahkan sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Badan Bahasa Kemdikbudristek (2022) menyebutkan bahwa dari 718 bahasa ibu di Indonesia, 5 bahasa berada dalam keadaan kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa dalam kondisi rentan, dan sisanya berstatus aman. Mungkin salah satu dari lima bahasa yang kritis itu termasuk Bahasa Haloban. Oleh karena itu, sebelum Bahasa Haloban mengalami kepunahan seperti Bahasa Tandia di Papua Barat, perlu ada peran penting dari masyarakat dan pemerintah untuk melestarikannya.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dalam pasal 42 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa serta sastra daerah agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Berdasarkan data tersebut, diperlukan strategi khusus untuk membiasakan penggunaan kembali Bahasa Haloban agar tetap diminati dan dijaga oleh masyarakat, seperti berikut:
1. Memberikan edukasi dan membiasakan penggunaan bahasa lokal di keluarga dan lingkungan masyarakat. Pentingnya mencintai bahasa lokal harus ditanamkan melalui percakapan sehari-hari di rumah dan lingkungan.
2. Memasukkan pembelajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan berbasis kearifan lokal, sesuai dengan slogan “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing” yang dikampanyekan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek.
3. Membentuk komunitas Bahasa Haloban dan mempromosikan literasi melalui penulisan buku-buku dalam bahasa daerah, bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Aceh.
4. Meningkatkan penggunaan Bahasa Haloban pada simbol-simbol pemerintahan, spanduk, iklan layanan masyarakat, dan reklame untuk memperkuat memori masyarakat terhadap bahasa ini.
5. Membuat konten dalam bentuk animasi, gambar, dan video yang menggunakan Bahasa Haloban, serta menyebarkannya melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube.
6. Mengadakan lomba pidato, debat, dan penulisan dalam bahasa daerah pada acara-acara seperti perayaan tujuh belasan, Hari Bahasa, dan ulang tahun kabupaten.
Mudah-mudahan dengan strategi di atas, Bahasa Haloban dapat terhindar dari kepunahan. Sehingga, Pulau Banyak Barat masih memiliki jati diri dan karakter yang dapat ditonjolkan kepada dunia, khususnya kepada generasi milenial dan masyarakat lokal. Kita harus membiasakan diri untuk terus menggunakan bahasa kita sendiri, karena jika tidak ada keseriusan dalam melestarikannya, maka kepunahan bahasa ini akan menjadi kenyataan di masa depan.
Terima kasih.
—
Tulisan dikirimkan oleh Bapak Nendisyah Putra, Guru SMPN 2 Pulau Banyak Barat