“Saya tidak ingin salah berbahasa Inggris di depan mereka!”
Keluhan seorang pramuwisata kepada rekan kerjanya di Museum Aceh itu terdengar oleh kami. Pramuwisata itu mengenalkan diri dengan nama Pak Mae (Mr. Mae). Saat itu, kami sengaja mengikuti rombongan Pak Mae dan para turisnya mengelilingi gedung pameran kontemporer. Pak Mae antusias menjelaskan berbagai koleksi museum dengan bahasa Inggris meski belum fasih. Ia berusaha keras agar para turis memahami maksud ucapannya. Walaupun bingung dengan ucapan Pak Mae, para turis terlihat melempar senyum memakluminya.
Tiba-tiba muncul gagasan mengapa tidak mengenalkan bahasa Indonesia saja kepada para turis. Mengingat bahasa Indonesia mulai dikenal dan dipelajari oleh khalayak di berbagai negara. Saat berbincang lebih lanjut dengan Pak Mae, ia menjelaskan bahwa dirinya merasa lebih dihargai jika mampu berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. Ia juga menyebutkan bahwa banyak turis mengharapkan pelayanan dalam bahasa yang mereka pahami. Hal ini memang ada benarnya, tetapi apakah kita harus sepenuhnya mengesampingkan bahasa Indonesia.
Bayangkan, jika setiap pemandu wisata atau orang yang berinteraksi dengan turis asing memperkenalkan beberapa kata atau frasa dalam bahasa Indonesia. Misalnya, setelah menjelaskan sesuatu dalam bahasa Inggris, kita bisa menyisipkan kalimat dalam bahasa Indonesia dengan menyebutkan artinya. Dengan cara ini, bukan hanya kita yang berusaha memahami mereka, tetapi mereka juga bisa belajar dan menghargai bahasa kita.
Kami kemudian berbincang dengan salah satu turis asal Ceko yang telah sering berkunjung ke Indonesia. Dia bercerita bahwa dia sebenarnya ingin belajar bahasa Indonesia saat berlibur di sini, tetapi kebanyakan orang lokal selalu berbicara dalam bahasa Inggris. “Saya ke sini tidak hanya untuk menikmati alam dan budaya, tetapi juga ingin memahami bahasanya. Sayang sekali, kesempatan itu sering terlewatkan,” ujarnya.
Hal ini menegaskan bahwa ada peluang besar yang belum kita manfaatkan sepenuhnya. Memang, kemampuan berbahasa Inggris adalah aset berharga, tetapi bukan berarti kita harus melupakan potensi besar dari bahasa kita sendiri. Mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing yang berkunjung ke sini bukan hanya sekadar memperkenalkan budaya kita, tetapi juga cara untuk memperluas pengaruh dan penggunaan bahasa Indonesia di dunia internasional.
Ketika Pak Mae mengakhiri turnya, kami menanyakan pendapatnya tentang gagasan untuk mengajarkan sedikit bahasa Indonesia kepada turis. Dia tampak tertarik dan berkata, “Mungkin itu ide yang bagus. Saya tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Selama ini saya hanya fokus pada bagaimana bisa berbicara bahasa mereka.”
Sejak saat itu, kami berharap akan ada lebih banyak orang Indonesia yang menyadari potensi besar dari bahasa mereka sendiri. Dengan mengajarkan bahasa Indonesia kepada turis, kita tidak hanya menunjukkan keramahan, tetapi juga memberikan mereka pengalaman yang lebih mendalam tentang Indonesia. Jadi, mari kita ubah cara kita berpikir, bukan hanya kita yang perlu mendengarkan mereka tetapi biarkan bahasa kita juga didengar oleh dunia.
Padahal pada 20 November 2023, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ke-10 Sidang Umum UNESCO di Paris, Perancis. Hal ini merupakan prestasi luar biasa yang diraih oleh Indonesia, keputusan ini diambil setelah Dewan Eksekutif UNESCO menerima proposal Pemerintah Indonesia pada sidang Dewan Eksekutif dan mencantumkan dalam agenda Sidang Umum November 2023. Pada 8 November 2023 delegasi Indonesia yang saat itu diwakili oleh Bapak Mohammad Oemar mempresentasikan proposalnya di hadapan Legal Committee di Kantor Pusat UNESCO dan komisi menyetujuinya tanpa adanya keberatan.
Salah satu alasan bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa resmi ke-10 Sidang Umum UNESCO karena bahasa Indonesia telah dituturkan oleh lebih dari 278 juta penutur, dimana 269 juta penutur berasal dari Indonesia, 5,2 juta penutur berasal dari Asia Tenggara, 2,4 juta penutur dari Asia-Pasifik dan Afrika, kemudian 2 juta penutur dari Amerika dan Eropa. Angka ini merupakan bentuk nyata keberhasilan dari program BIPA yang berada dibawah naungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Sebagai generasi muda kita patut bangga atas pencapaian yang telah di raih oleh Indonesia, dilansir dari Kompas.com bahwa saat ini Indonesia telah menduduki peringkat ke-11 sebagai bahasa dengan penutur terbanyak di dunia. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia berhasil memartabatkan bahasanya hingga ke tingkat Internasional. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memiliki 3 program prioritas, yakni Literasi Kebahasan dan Kesastraan, Pelindungan Bahasa dan Sastra, dan Internasionalisasi Bahasa Indonesia. Sejalan dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang ke-3, Duta Bahasa Provinsi Aceh 2024 mempersembahkan Krida Kebahasaan yang diberi nama Rihlah Bahasa. Program ini ditujukan bagi mahasiswa asing serta diaspora pemuda Aceh, dengan tujuan mengajarkan dasar-dasar penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Program ini menggabungkan pembelajaran bahasa dengan metode yang inovatif dan menyenangkan, melalui penggunaan modul dalam bentuk buku saku dan permainan rihlah bahasa. Tujuannya adalah menciptakan pengalaman belajar yang efektif serta menarik bagi pemelajar BIPA.
Buku saku ini dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta BIPA yang membutuhkan materi belajar yang praktis dan mudah dibawa ke mana-mana. Setiap buku saku berisi berbagai topik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari kosakata dasar hingga frasa-frasa yang sering digunakan dalam percakapan. Di dalam modul tersebut terdapat 5 unit pembahasan yang akan diajarkan kepada pemelajar BIPA diantaranya ialah Museum Aceh, aktivitas sehari-hari, berbelanja, transportasi, dan Mi Aceh. Pembelajaran ini dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan pemuda asing untuk mengenal dan memahami bahasa Indonesia dalam konteks budaya dan sosial yang sebenarnya.”Rihlah Bahasa” bukan sekadar program pengajaran bahasa, tetapi juga menjadi wadah bagi pemuda aceh yang akan ke luar negeri untuk berkontribusi dalam menduniakan Bahasa Indonesia di kancah internasional.
Rihlah Bahasa menjalin kerja sama mitra dengan pemuda Aceh yang akan melakukan studi banding ke luar negeri untuk dapat menjadi pegiat BIPA . Para pemuda ini akan melewati beberapa tahap untuk mampu menjadi pegiat BIPA, diantaranya mereka harus mengikuti pembimbingan standarisasi dalam proses pengajaran BIPA, mengajari BIPA secara langsung di Aceh sebagai latihan awal untuk mampu mengimplementasikan hal tersebut di tingkat internasional.
Dalam proses pembelajaran, mereka tidak hanya diajarkan kosakata dan tata bahasa Indonesia, tetapi juga dikenalkan dengan berbagai destinasi wisata dan keunikan kuliner Indonesia. Misalnya, dalam salah satu unit para peserta diajak untuk berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di Aceh, seperti Museum Aceh, sembari berlatih menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan pengalaman mereka. Mereka juga diajak mencicipi makanan khas Aceh, seperti mie Aceh dan kue timpan, sembari mempelajari cara memesan makanan dan berinteraksi dengan penjual menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu, untuk menambah semangat belajar dan meningkatkan pemahaman bahasa Indonesia, Rihlah Bahasa juga menciptakan sebuah permainan interaktif bernama Kompetisi Bahasa Indonesia. Permainan ini dirancang untuk menguji kemahiran para peserta asing dalam memahami dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam permainan ini, peserta dihadapkan pada berbagai tantangan bahasa, mulai dari menyusun kalimat dengan benar hingga memahami konteks budaya yang terkandung dalam bahasa Indonesia. Melalui metode pembelajaran yang menyenangkan dan interaktif, peserta diharapkan dapat menguasai bahasa Indonesia dengan lebih cepat dan efektif.