Aceh, Portugis, dan Tahun-Tahun Perang Suci yang Membara

and the names of the heroes I was made to memorize

with guns in their hands and God on their side

With god on our side, bob dylan
Ilustrasi Pasukan Iskandar Muda Menggempur Portugis di Malaka.
Sumber: acehglobal.wordpress.com

Pada 1453, Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi Timur,direbut oleh Kesultanan Usmani yang dipimpin oleh Mehmed II, sang penakluk. Kejayaan Turki Usmani memasuki babak baru. Ketegangan Perang Salib yang telah berlangsung sejak hampir empat abad silam kini mulai mereda.[1] Meski begitu, kau tahu, api semangat Perang Salib tak pernah benar-benar padam sepenuhnya di Eropa.

Adalah Portugis, negeri yang alim itu, yang mula-mula rajin melakukan pelayaran untuk mengibarkan panji-panji Kristen.[2] di berbagai penjuru dunia. Meski bukanlah negeri yang besar pada masa itu, Portugis telah mengembangkan teknologi navigasi, konstruksi kapal, senjata dan memiliki bekal pengetahuan geografi yang baik untuk mengarungi luasnya samudera yang berbahaya.[3] Pada penghujung abad kelima belas, Eropa didominasi oleh negeri-negeri Iberia, dan mereka membagi dunia menjadi dua bagian yang kemudian diresmikan oleh Paus.[4] Portugis mendapatkan jatah di bagian timur di luar Eropa, sementara Spanyol di bagian barat. Periode ekspansi bangsa Eropa ke seluruh dunia pun dimulai. Pelaut-pelaut Spanyol yang dipimpin Christopher Colombus menemukan benua Amerika pada 1492.[5] dan ratusan tahun kemudian Amerika Selatan sudah didominasi oleh orang-orang Spanyol dengan mudah.

Pada 1498 Vasco da Gama mengibarkan bendera Portugis di India.[6] Setelah membangun kekuatan Kristen di Goa, pelaut-pelaut Portugis melanjutkan perjalanan jauh ke Asia Tenggara. Pada 1511 Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Alburquerque berhasil menduduki Malaka dengan modal pasukan sekitar delapan ratus orang Portugis dan tiga ratus hingga enam ratus orang Malabar.[7] Sejak itu kawasan selat Malaka mulai mengalami pergolakan yang berkepanjangan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Adalah Aceh Darussalam, negeri yang religius itu, yang mula-mula menganggap kehadiran Portugis sebagai sebuah ancaman serius di kawasan Asia Tenggara, terutama Nusantara. Benar bahwa alasan perdagangan juga menjadi sumber ketegangan kala itu. Namun, Portugis yang terang-terangan mendirikan gereja di daerah-daerah koloninya, serta mengkristenkan penduduk setempat lewat upaya-upaya gigih para misionaris, membuat Aceh memandang Portugis sebagai musuh agama.[8] Aktivitas-aktivitas misionaris Portugis ini cukup mudah diketahui karena pedagang-pedagang muslim dari kawasan lain membawa kabar tentang semua itu ketika mereka lalu-lalang di Serambi Makkah.[9]

Kecurigaan terhadap bangsa Eropa yang mengusung panji-panji salib ini akhirnya pecah ketika pada 1516 Portugis menyerang Pasai dengan lagak-lagak yang sengaja cari lawan.[10] Meski gagal menguasai Pasai, sejak itu aktivitas Portugis di utara Sumatra terus berlanjut. Orang-orang Portugis bahkan kemudian juga merasuk ke daerah Pidie dan Daya[11] yang secara geografis semakin dekat dengan Aceh Darussalam yang bersentral di Kutaraja (Banda Aceh).

Kala itu Daya, Pidie, dan Pasai belum termasuk dalam wilayah kekuasaan Aceh Darussalam. Meski demikian, aktivitas Portugis yang semakin berpengaruh di utara Sumatra jelas membuat sultan menjadi jengkel. Sebagai reaksi, pada 1519 Aceh menyerang konvoi kapal Portugis di perairan Aceh.[12] Pada 1520, Aceh menaklukkan Daya dan menggusur pengaruh Portugis dari negeri itu. Sekitar setahun berselang, Sultan Ali Mughayat Syah mengerahkan pasukannya untuk menghajar Portugis di tanah Pidie, dan Aceh kembali menang.

Pada 1521, giliran Portugis menyerang Pasai dengan ganas. Kali ini ia berhasil menaklukkan Pasai, dan segera mendirikan benteng untuk pertahanan. Namun, kekuasaan Portugis di Pasai cukup singkat sebab tiga tahun kemudian, atau pada 1524, Aceh berhasil membuat Portugis minggat dari tanah Pasai. Dengan begitu, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin luas. Militer Aceh yang semula cenderung mengandalkan senjata-senjata tradisional seperti pedang dan gajah dalam berperang kini telah merampas sistem persenjataan Portugis, termasuk sejumlah artileri, sehingga meningkatkan secara signifikan kepercayaan diri dan kekuatan para prajurit Aceh di medan laga.[13]

Perseteruan Aceh dengan Portugis terus berlanjut, dan keduanya sama-sama saling serang ketika mendapatkan kesempatan untuk memberikan perlawanan di kawasan laut. Portugis menyerang setiap kapal Muslim di lautan mana pun yang mereka lewati, sementara Aceh menghantam semua kapal Portugis yang berlayar menuju ke Malaka melewati perairan Aceh.[14] Konfrontasi-konfrontasi seperti itu tak terhitung banyaknya sepanjang abad keenam belas.

Pada 1537 Alauddin mengudeta kakaknya Sultan Salahuddin, dan ia menjadi sultan ketiga di Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan Alauddin yang terkenal pemberani segera menjadikan Portugis sebagai pekerjaan rumahnya yang terbesar. Militer Aceh tidak lagi menunggu kesempatan untuk menghajar kapal-kapal Portugis yang lewat di perairan Aceh, tapi secara terencana langsung melakukan ekspedisi ke Malaka. Tak tanggung-tanggung, penyerangan-penyerangan ini dipimpin langsung oleh Sultan Alauddin,[15] sehingga ia pun kemudian diberi julukan Al Qahhar yang artinya ‘sang Perkasa’.

Untuk memantapkan misi pengusiran Portugis dari Malaka, Al Qahhar menjalin kerja sama dengan Ottoman yang merupakan imperium adidaya kala itu. Berkat kesamaan ideologi, yakni Islam, hubungan antara Aceh dan Turki pun berjalan mulus, dan terwujud melalui bantuan-bantuan Turki terhadap militer Aceh yang semakin lama semakin tangguh. Sebagai gambaran saja, kekuatan militer Aceh pada 1540 dipimpin oleh seorang panglima perang dari Abyssinia (Etiopia), dengan enam puluh prajurit dari Turki, empat puluh dari Jannissary, dan sejumlah lainnya merupakan orang-orang Moor dari pantai Malabar.[16] Pada 1564, bantuan Turki terhadap militer Aceh kian besar, yakni sekitar lima ratus prajurit, banyak ahli teknik dan pandai artileri, serta seabrek senjata yang modern.[17]

Sayangnya, setelah tiga kali (1537, 1547, dan 1568) Aceh melakukan ekspedisi, misi ambisius ini tetap masih gagal mengusir Portugis dari Malaka, dan armada-armada Aceh selalu terpaksa kembali pulang ke Kutaraja dengan memikul beban kekalahan yang bikin geregetan. Bahkan, ketika enam puluh kapal perang Aceh dan empat belas kapal perang Portugis bersua di dekat pelabuhan di Aceh pada 1570, serangan Aceh lagi-lagi berhasil dipatahkan oleh Portugis.[18]

Setelah Al Qahhar mangkat pada 1971, anaknya Husain Ali Riayat Shah naik tahta sebagai sultan Aceh Darussalam yang keempat. Seperti buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, Husain pun melanjutkan misi besar bapaknya dengan semangat yang tak kalah berkobar-kobar. Tercatat, pada masa kepemimpinannya dua kali (1573 dan 1575) militer Aceh melakukan ekspedisi untuk membombardir Malaka, dan setidaknya satu kali (1577) pertempuran sengit melawan Portugis di tengah laut. Hebatnya, Portugis masih saja belum bisa dikalahkan seperti sebelumnya, sekali pun secara kekuatan bisa dikatakan sudah semakin melemah, dan mungkin tinggal sekali hantam lagi untuk membuatnya hengkang dari tanah Malaka[19].

Lalu, pada 1579 Sultan Husain mangkat, dan sejak itu hingga beberapa tahun kemudian terjadi konflik internal di Kesultanan Aceh Darussalam. Usaha untuk mengusir Portugis dari Malaka pun terhenti sementara.

Pada 1586, ancang-ancang untuk menghajar Portugis di Malaka kembali dilakukan. Tiga ratus kapal layar dipersiapkan. Namun, segalanya tiba-tiba berubah ketika panglima perang Aceh membunuh Sultan Manshur Shah, menantu Husain Ali Riayat Shah, dan ia pun memproklamirkan diri sebagai sultan baru[20].

Sibuknya Aceh dengan kekacauan internal yang berkepanjangan memberi peluang bagi Portugis untuk membugarkan kembali kekuatannya. Pada 1606, Portugis akhirnya menyerang Aceh dengan semangat penuh dendam. Sultan Muda yang baru saja memadamkan pemberontakan internal di Aceh Darussalam terpaksa mengangkat Johan Perkasa Alam, pimpinan pemberontak yang dibebaskan dari penjara, menjadi panglima tentara laut Aceh untuk melawan Portugis di perairan Aceh. Pemuda ini benar-benar perkasa, dan ia berhasil mengusir Portugis dari Aceh pada 1607.

Ketika Sultan Muda mangkat pada tahun yang sama, Johan Perkasa Alam yang berlimpah kemasyhuran–selain dikenang sebagai pahlawan yang berhasil mengusir Portugis, ia juga dikenal sebagai keponakan Sultan Muda, cucu Sultan Al Mukammil, dan cicit Sultan Al Qahhar–diangkat sebagai raja pengganti dan dikenal sebagai Sultan Iskandar Muda[21]. Era baru Aceh Darussalam pun dimulai. Pada masa pemerintahannya (1607–1636) puncak kejayaan Aceh tercapai, dan terwujud dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Aceh di pantai barat dan timur Sumatra, serta sebagian semenanjung Malaya seperti Pahang, Kedah, dan Perak.

Namun, Kau ingat, Portugis masih berdiam di Malaka. Seperti dendam yang belum terbayar tuntas, Aceh tentu tak merelakan begitu saja Portugis tetap berkuasa di Malaka.

“Setelah menjadi sultan, Iskandar hanya punya satu rencana: mengalahkan Malaka,” kata Lombard[22]. Di sini dapat dipahami bahwa penaklukan Pahang (1617), Kedah (1619), dan Perak (1621) merupakan strategi untuk melemahkan kekuatan Portugis dari sisi luar. Sebelumnya, salah satu faktor kegagalan ekspedisi-ekspedisi Aceh ke Malaka yaitu munculnya bantuan kekuatan dari negeri-negeri di sekitar Malaka terhadap Portugis[23]. Dengan dikuasainya Pahang, Kedah, dan Perak terlebih dahulu tentu Portugis semakin terjepit dan lebih mudah untuk dihabisi kemudian.

Begitulah, rangkaian strategi yang telah dijalankan secara rapi selama bertahun-tahun tersebut akhirnya berpuncak pada 1629. Sebagai serangan penghabisan dalam konflik panjang yang telah berlangsung sekitar seabad, Sultan Iskandar Muda mengerahkan segala kekuatan militer Aceh untuk menghajar Portugis di Malaka. Sekitar empat ratus kapal perang, dengan satu kapal induk Cakra Dunia diberangkatkan dengan prajurit-prajurit terbaik dan persenjataan modern yang terbaik pula. Pertempuran akbar pun berkecamuk di Malaka. Meski sempat unggul di awal-awal baku-hantam, untuk kesekian kalinya Portugis masih mampu bertahan dari gempuran prajurit-prajurit Aceh yang militan.

Konon, kegagalan ekspedisi Aceh kala itu disebabkan oleh datangnya bantuan pasukan Portugis dari Goa dalam jumlah cukup besar[24]. Mungkin ada pula faktor lain, tapi yang pasti Tuhan masih membiarkan orang-orang Portugis berkuasa di Malaka hingga beberapa tahun kemudian.

Bagaimanapun, perjuangan Aceh melawan Portugis selama lebih seabad merupakan catatan keberanian yang luar biasa. Di samping itu, Syekh Nuruddin Ar Riniri kelak juga menegaskan dalam Bustanussalatin bahwa perjuangan sultan-sultan Aceh Darussalam dalam mengganyang Portugis merupakan jihad fi sabilillah[25]. Meski demikian, kita juga perlu ingat: Santo Francis Xavier juga menegaskan bahwa “petualangan Portugis di dunia Timur merupakan tugas suci yang telah diberikan inspirasi oleh Tuhan[26]. Yeah, begitulah, kita sedang berbicara tentang perang suci yang berbasiskan keyakinan agama. Dan konflik ini tak terlepas pula dari dahsyatnya perang salib antara Islam dan Kristen pada masa-masa yang belum terlalu jauh berlalu sebelumnya.

***

Pada 1641, Portugis yang telah seabad lebih di Malaka akhirnya dipaksa cabut oleh bangsa Eropa lain, yakni Belanda. Kau tahu, pada masa-masa itu di Eropa sedang bergolak pula perang tiga puluh tahun (1618–1648) antara Katolik dan Protestan[27]. Portugis merupakan penganut Katolik yang teguh, sementara Belanda merupakan pemeluk Protestan yang kemudian menjadi penyebar agama baru ini di bumi Nusantara. Apakah serangan Belanda terhadap Portugis di Malaka (dan di daerah-daerah lain) berhubungan dengan kecamuk di kampung halaman mereka sana kala itu? Entahlah. Yang jelas, Belanda akan menjadi rival baru bagi Aceh dalam perang suci selanjutnya. Kau tahu, perang melawan musuh yang bisa dengan gampang menghabisi musuh bebuyutan kita merupakan perang yang berkali-kali lipat lebih berat.

Nah, itu cerita lain. Kita akan membicarakannya pada kesempatan lain pula.


[1] Iswara N Raditya. 2019. Sejarah Kejatuhan Pusat Perang Salib Konstatinopel. Tirto.id.

[2] Portugis (sebagaimana juga Spanyol dan Italia) merupakan penganut Katolik, sementara Protestan baru muncul pada 1517 di Jerman atas prakarsa Martin Luther

[3] M. C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hlm. 61

[4] Nibras Nada Nailufar. 2020. Perjanjian Tordesillas, Ketika Spanyol dan Portugis Membagi Dunia. Kompas.com.

[5] Michael H. Hart. 2019. 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Jakarta: Noura Books. Hlm. 53

[6] Ibid. Hlm. 442

[7] Amirul Hadi. 2010. Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 4–5

[8] Ibid. Hlm. 8–11

[9] Ibid. Hlm. 61–62

[10] Ibid. Hlm. 38

[11] Daerah Calang sekarang.

[12] Amirul Hadi. 2008. Aceh: Sejarah …. Hlm. 21

[13] Ibid. Hlm. 38–41

[14] Ibid. 56

[15] Ibid. Hlm. 41 & 43

[16] F. Mendes Pinto. 1989. The Travels of Mendes Pinto. Chicago: University of Chicago Press. Hlm. 19–22

[17] Anthony Reid. 2011. Menuju Sejarah Sumatra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 79 & 82

[18] Amirul Hadi. 2008. Aceh: Sejarah …. Hlm. 43–44

[19] Ibid. Hlm. 46

[20] Denys Lombard. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1603–1636). Jakarta: Gramedia. Hlm. 66–67

[21] Ibid. Hlm. 107

[22] Ibid. Hlm. 141

[23] Amirul Hadi. 2008. Aceh: Sejarah …. Hlm. 42–43

[24] Denys Lombard. Kerajaan Aceh …. Hlm. 141

[25] Amirul Hadi. 2008. Aceh: Sejarah …. Hlm. 61

[26] Ibid. Hlm. 41

[27] Rahman Asmardika. 2017. Historipedia: Secarik Kertas dari Westphalia Akhiri Perang 30 Tahun. Okezone. com

Tinggalkan balasan!